Laki-Laki Di Ketiak Istri | Cerpen Zainul Muttaqin
Keberanian Maksan selalu susut menghadapi wanita yang dinikahinya tiga tahun silam. Ia cuma dapat menyimpan pertanyaan itu dalam dadanya, apa saya sudah sedemikian jelek di matamu? Dengan pelan-pelan ia mengunyah, coba menghabiskan sepiring nasi yang dihidangkan istrinya di pagi lembab. Simar akan buru-buru berkacak pinggang di samping Maksan jikalau hingga ada sebutir nasi tertinggal di dalam piring.
Lantas Simar akan berkata lantang hingga sepenjuru gang mendengarnya, “Habiskan kuliner di piringmu. Hidup kita sudah susah. Jangan membuang-buang makanan!” Sorot mata Simar meradang mirip hewan yang mengancam, siap melumat mangsa dalam sekali telan. Jika dipikir-pikir ada benarnya ucapan Simar itu. Tapi, bunyi keras sekaliguas bernafsu dari lisan Simar dirasa kurang baik diucap seorang istri kepada suami.
Maksan menarik napas, mengumpulkan nyali untuk bicara dengan istrinya yang tengah jongkok di depan lisan tungku. Maksan ikut jongkok dan mengajak istrinya bicara, ia menyahut dengan kalimat yang disengaja membelah dada Maksan. Api dari dalam tungku menjilat-jilat, sama persis dengan sorot mata Simar memandang wajah suaminya.
“Sudah untung kau tak kutendang dari rumah ini. Masih bawel kau!” Jantung Maksan mirip akan lepas dari tangkainya ketika itu juga. Ia bangkit, duduk di bangku lapuk lantaran usia. Maksan tidak serta-merta balas memaki istrinya. Lidahnya kelu tiba-tiba. Laki-laki paruh baya itu cuma dapat menelan ludahnya sendiri.
Dari bangku daerah ia duduk, Maksan memperhatikan istrinya memasukkan bumbu-bumbu kuliner ke dalam panci, mengiris-iris bawang, dengan lisan senantiasa mengomel tentang laris suaminya. Maksan mencangkuli dirinya sendiri. Degup jantung Maksan berseiring dengan detak jam di atas dinding.
“Kamu itu masih berlindung di ketiakku!” Simar mencibir. Dahinya berkerut. Dipandanginya wajah Maksan yang tiba-tiba keruh. Laki-laki kurus itu tak kuasa melawan kalimat istrinya, ia cuma dapat mengatakan, “Tapi…” termangu sesaat dan tak dapat melanjutkan kalimat berikutnya. Istrinya pribadi menyambar dengan ucapan, “Tapi Apa?” mata Simar membidik sempurna dua bola mata Maksan, suaminya. Ditekan bunyi Simar, lantang terdengar hingga gendang indera pendengaran Maksan serasa akan pecah mendengar bunyi istrinya membentur dinding rumah.
Sepengetahuan warga, pasangan Maksan-Simar memang kerap bertengkar. Pertengkaran itu dimulai sesudah dua tahun janji nikah mereka berjalan terseok-seok disebabkan Maksan tidak terang apa mata pencahariannya. Cinta yang semula menjadi dasar bagi mereka berjanji sehidup semati tak lagi diingat oleh Simar, utamanya. Perempuan setengah baya itu berulang-ulang, selalu setiap hari minta dicerai oleh Maksan.
Berulang-ulang pula Maksan menegakan, hingga kapan pun tak akan mencerai Simar dengan alasan apa pun. Diingatkan akan janji setia dua tahun lalu, Simar malah makin murka. Laju napasnya keluar masuk cepat dari dada ringkinya yang terasa kian menyempit. Hujan mengguyur di sore yang mulai temaram.
“Makan tuh cinta!” teriak Simar bersamaan dengan tangannya yang memukul meja. Maksan menggeleng. Nyalinya luntur. Ia mengambil napas dalam-dalam, kemudian bersama napas yang ia lepas Simar kembali membanting piring ke lantai.
Terlampau menyayangi istrinya menciptakan Maksan kerap menyerah sampai-sampai lelaki hitam legam itu dibilang berada di ketiak istri oleh kawan-kawannya di pos ronda. Malam ketika bulan timbul karam dalam pelukan awan, Maksan tengah berada di pos ronda. Melepas penat, membuang kerumitan dalam pikirannya oleh omelan istrinya di rumah. Tiga lelaki, mitra Maksan berjaga malam sembari main gaplek.
“Ke mana aja kau? Kok gres muncul?” tanya Kasno, mitra sekaligus tetangga sebelah rumahnya, ketika Maksan tiba tiba-tiba dan pribadi menyandarkan tubuhnya pada tiang pos ronda. Maksan tersenyum. Selebihnya, Kasno tak memperhatikan betul desah tarikan napas Maksan yang berat dan agak goyah.
Setelah kurang lebih tujuh menit, Maksan tiba-tiba mengajukan pertanyaan pada Kasno. Terperanjat kaget Kasno, begitu juga teman-temannya yang lain oleh pertanyaan Maksan. Semua mata tertuju ke arah Maksan. Beberapa jenak, Kasno menghentikan permainan gaple. Menggeser duduknya, mendekati Maksan di pojokan pos ronda.
“Apa perlu kucerai Simar ya, Kas?” Pertanyaan itu yang menciptakan terbelalak mata Kasno. Rupanya, kata Kasno dalam hati, lelaki juga sulit memahami rumitnya isi kepala perempuan.
Kasno memang banyak tahu soal hidup pasangan Maksan-Simar. Kasno termasuk satu-satunya tetangga, sekaligus orang yang dianggap saudara oleh Maksan. Untuk itulah, Maksan kerap minta pesan yang tersirat tentang kecamuk dalam rumah tangganya. Pasti lantaran Maksan meminta saran dari Kasno lantaran pria kuning langsat itu tidak pernah terdengar pertengkarannya, apalagi sekadar cekcok kecil dengan istrinya. Padahal, kata Maksan, Kasno juga pria tidak terang apa mata pencahariannya.
“Bagaimanapun keadaan lelaki,ya tetap ia suami bagi istrinya. Tak boleh istri menempatkan suami dalam ketiaknya,” kata Kasno. Maksan termangu sesaat. Ia kemudian menceritakan laris istrinya dua tahun belakangan.
“Itu lantaran kau sendiri yang terlalu lembek. Tidak tegas. Apa pun keadaanmu, nirwana istri tetap terletak di genggaman suami.” Kasno melanjutkan kata-katanya. Angin dari utara menghunus setiap inci kulit.
“Aku sangat mencintainya. Aku tak mau menyakiti hatinya,” ujar Maksan, suaranya lebih ibarat desis. Terbayang dalam benaknya yang sempit, kata-kata istrinya di suatu siang yang teramat terik, kau itu masih berlindung di ketiakku.
“Tegas bukan keras, ingat itu! Justru sikapmu yang begini mengambarkan kau tak menyayangi istrimu,” ucap Kasno tegas. Ia menepuk pundak Maksan. Kerut-kerut di dahi Maksan menciptakan garis bergelombang, mirip hidup yang terombang-ambing.
“Kenapa begitu?” Tanya Maksan dengan mata melotot bingung.
“Membiarkan istrimu menentangmu bahkan mengumpatimu sama artinya menjerumuskannya ke lubang neraka paling dalam,” Kasno menyalakan sebatang rokok. Mengisapnya dalam-dalam. Asapnya berputar-putar di atas kepala mereka.
“Aku pernah mengingatkannya. Tapi…” tercekat bunyi Maksan. Ia mengatur napasnya yang kian sesak di dadanya yang ringkih. Setelah jarum jam bergeser tiga menit, Maksan bilang, “Tapi beliau bilang, lantaran tidak terang mata pencaharianku, dan merasa dirinya yang paling banyak mengeluarkan uang belanja, untuk itulah ia kerap menempatkanku di ketiaknya,” Maksan menguari cerita, dengan gerimis serupa helai-helai rambut tertampung di ceruk matanya yang curam.
“Bukan berarti kau tak berpenghasilan, bukan?” Pertanyaan Kasno dijawab oleh Maksan dengan anggukan kepala. Matahari mendaki di permukaan langit ketika Maksan meninggalkan pos ronda dan membawa langkahnya ke rumah. Maksan sempat berdiri beberapa jenak di depan pintu. Wajah istrinya berbinar begitu daun pintu itu dikuakkan oleh wanita berkulit kuning langsat itu dari dalam. Ia mengulas senyum pada bibirnya. Tangan kanan Simar membimbing Maksan masuk ke dalam.
Maksan tercenung dan berperasangka macam-macam ketika mengetahui hidangan sarapan pagi terhidang di atas meja. Maksan masih tidak tahu, apakah semua kuliner di atas meja itu dipersiapkan untuknya. Jangan-jangan Simar sedang menunggu kedatangan lelaki lain, lantaran selama ini ia tak pernah berbuat semacam itu. Pikiran jelek itu hendak beranak pinak dalam tempurung kepala Maksan. Tapi, buru-buru ia menyingkirkan sekelebat bayangan jelek itu.
“Apakah ini tidak cukup untuk menebus semua salahku padamu selama ini?” Senyum melengkung dari bibir Simar. Maksan terharu. Simar mengambilkan nasi beserta lauk pauk kesukaan suaminya itu. Maksan mengangguk, sejurus kemudian mencium kening sang istri.
“Bukankah katamu saya lelaki tak berdaya yang berlindung di ketiakmu?” Maksan melontarkan pertanyaan itu sebelum mengunyah kuliner di hadapannya.
“Aku ingin menutup pintu neraka dan pelan-pelan membuka pintu surga,” jawab Simar lirih. Lembut suaranya berujar. Di meja makan itu, pasangan Maksan-Simar kembali dipersatukan sesudah bertahun-tahun pertengkaran sering terngiang di antara keduanya. Tapi, hingga Maksan menyudahi sarapan paginya, ditemani sang istri.
Maksan memendam pertanyaan dalam dadanya, apa lantaran istrinya berubah secepat itu? Hingga jarum jam terus bergeser morat-marit, Maksan membiarkan pertanyaan itu dan membiarkan pula perubahan istrinya tersebut tetap diselimuti misteri.
Pulau Garam, Februari 2017