Kota Mati Dan Pembunuhnya


Seorang cowok berjalan, sempoyongan menuju suatu kota mati. Tidak ada apa pun yang ia bawa kecuali tas plistik berisi beberapa lembar baju dan satu buah buku. Di kejauhan, ada titik kecil bergerak-gerak dan tertangkap oleh bola mata keruh si cowok yang agaknya belum makan semenjak dua hari lalu. Melihat itu, semangatnya berkobar dan keputusan pun diambil: pergi ke sana dan mencari pertolongan.

Tentu saja menuju titik kecil yang dipisahkan jarak beberapa ratus meter tidaklah semudah yang dulu cowok itu lakukan ketika situasi masih normal. Perang merenggut banyak hal, termasuk situasi sesederhana berjalan kaki menuju rumah makan cepat saji. Dulu rumah makan daerah biasa ia pergi mencari nafkah masih lebih jauh dari jarak yang sekarang harus ditempuhnya demi bantuan.

Berjuang sedemikian rupa, dengan sisa tenaga yang ada, si cowok tampak kecewa ketika tiba di daerah tujuannya, yang ternyata hanyalah sebukit sampah. Titik kecil tadi berasal dari sepotong cermin yang dimain-mainkan oleh bocah kurus kering yang sama tidak berdayanya dengan dirinya. Bocah itu berbaring begitu saja di atas berhelai-helai kardus bekas wadah mi instan, susu formula, dan segala macam benda rumah tangga yang pastinya telah bertahun-tahun tidak lagi diproduksi.

Kalau tidak salah ingat, dua belas tahun kemudian terakhir kali cowok itu pergi bekerja ke salah satu rumah makan cepat saji, yang dalam sehari-hari ia hanya bertemu dengan para pelanggan dan mesin kasir dan tak ada seorang pun yang peduli padanya. Bahkan tidak bagi pengunjung yang terlihat paling kesepian dan merana menyerupai dirinya.

Tentu si cowok masih ingat bagaimana kemudian ia hengkang dari daerah situ; bagaimana seseorang membujuknya ikut berjuang demi tujuan yang terlihat utopis dan bahkan sinting; demi sebuah keinginan yang ia sendiri bahkan tak terlalu paham betapa keinginan macam itu dimulai dari kepala siapa. Yang ia tahu yaitu ucapan orang yang membujuknya, yang berpenampilan begitu meyakinkan, wacana masa depan yang akan gemilang kalau tujuan mereka tercapai.

“Hidupmu tidak akan semenyedihkan ini. Kamu akan dicintai banyak wanita!”

Begitulah yang kerap ia dengar.

Maka, cowok itu berangkat. Pergi meninggalkan segala-galanya, yang tak terlalu berarti. Pergi meninggalkan kamar kos yang busuk, meja kasir kelabu, para pelanggan yang tidak tahu diri dan tidak tahu perasaan, atasan yang tak peduli soal keberadaannya, rekan-rekan yang saling sikut demi kepentingan-kepentingan. Apa pun ia tinggalkan di belakang dan pergi begitu saja bersama lelaki asing yang tempo hari tiba ke rumah makan tersebut demi memesan secangkir kopi dengan wajah yang bersahabat. Pada dikala itu, untuk pertama kali si cowok mengira ia mendapat orang yang benar-benar menganggapnya teman.

Tentu saja, tanpa keluarga dan tanpa banyak teman, ia pergi nyaris tanpa beban. Di daerah yang dirahasiakan, seseorang yang merekrutnya, yang telah dianggapnya jadi sahabat sendiri tadi, membawanya kepada orang-orang yang sama. Orang-orang dengan hidup yang tidak menciptakan mereka puas. Orang-orang yang ingin berubah tetapi tidak berdaya dan tidak mengerti apa yang harus diperbuat atau bahkan tidak mau tahu harus berbuat apa demi mengubah apa pun yang perlu diubah.

Si cowok sendiri sadar ia kerap kali mengangankan sesuatu yang tidak mungkin demi hidupnya sendiri. Sesuatu semacam permainan sulap dengan kelinci dan topi sebagai properti. Sesuatu yang tiba begitu saja tanpa dijelaskan hubungan sebab-akibat yang panjang. Dan orang-orang gres di sekitamya pun demikian. Dengan motivasi yang sama persis, mereka digiring ke bangku-bangku kursus dengan guru-guru yang luar biasa keji di mata cowok itu, alasannya mereka diajari membunuh siapa pun yang tak memiliki tujuan sama dengan mereka. Pada awalnya si cowok berusaha menyangkal kondisi ini; semuanya begitu gila baginya, tetapi keberadaan sahabatnya, yang mengajaknya pergi ke daerah gres ini, membuatnya luluh. Tak butuh waktu usang baginya dan orang-orang gres lainnya untuk segera menjadi murid-murid andalan di sekolah gila tersebut.

Entahlah, tahun-tahun yang berlalu sehabis itu tidak terlalu dikenang oleh cowok ini. Dia hanya mengerti pada fase itu ada banyak final hidup dan darah dan hal-hal yang sekarang membuatnya menyesal. Tentu, dikala itu, ia tidak menyesal. Dia gembira dan tak jarang malah saling berlomba-lomba dengan sobat seperjuangannya untuk membunuh lebih banyak orang, bahkan meski secara logika, para korban mereka tidak benar-benar bersalah.

“Semua ini demi tujuan mulia. Demi keinginan usang kita yang harus menang di atas segalanya!” begitu selalu keyakinan yang didengar si cowok sehingga ia kembali pergi ke medan perang. Pergi ke arena yang dibangun oleh golongannya sendiri dan menebas sebanyak mungkin nyawa di sana.

Tidak terhitung berapa banyak daerah yang mereka tuju, tetapi pada jadinya ia dan teman-teman seperjuangannya kembali ke kampung halaman, ketika politik di sana sedang bergejolak. Orang-orang haus kuasa yang bacin hatinya, yang di samping pundak mereka bertengger setan-setan terkutuk, membawa golongannya dan terjadilah perang itu. Perang besar yang pada hari ini justru meluluhlantakkan segala sesuatu yang tersisa dari masa lalunya.

Memang, si cowok sangat membenci masa lalunya. Dia tidak pernah berharap ada di bumi ini hanya untuk memandangi orang-orang berpacaran sedang menikmati waktu indah mereka di meja-meja makan, atau hanya untuk menatapi orang-orang kaya-raya sanggup membeli atau membuang apa pun sebanyak yang mereka mau. Tetapi, tidak sanggup dimungkiri betapa ia rindu kampung halamannya. Betapa penjelajahan bersama para rekan seperjuangan tadi membuatnya terkadang ingin pulang, namun tidak pernah sanggup benar-benar mengucapkan itu pada siapa pun. Jauh di lubuk hatinya terjadi pergolakan besar dan pada jadinya pergolakan itu pecah setelah perang saudara di kampung asal-muasalnya meledak.

Kota-kota modern dengan segera hancur menjadi kota mati. Orang-orang yang tak berdosa tewas sia-sia. Anak-anak kehilangan orang tua. Mereka yang membawa mimpi dan keinginan untuk kehidupan masing-masing harus menjadi gila lantaran segalanya telah amblas ditelan bom dan peluru. Dan si cowok terperinci tahu betapa semua ini tak lain tak bukan yaitu akhir dari apa yang golongannya perbuat.

Pada suatu hari setelah segalanya kian memburuk, si cowok bertanya pada sosok yang ia jadikan sahabat, yang dahulu membawanya terlibat dalam urusan biadab ini, “Kenapa kita bunuh dan hancurkan orang-orang yang bahkan tidak merusak kehidupan orang-orang lain? Kenapa kita habisi mereka, padahal kita tahu mereka tidak pernah memerangi kita?”

Jawaban yang ia terima lagi- lagi sama: “Karena mereka berbeda!”

Sejak itu, si cowok pergi. Dia meninggalkan golongan peneror yang dikala ini terperinci di matanya terlihat sesat. Dia menyesal dan malu, tapi waktu tidak sanggup diputar kembali.

Lesatan ingatan-ingatan itu tak terasa menciptakan air matanya menetes. Semua yang ada di hadapannya sekarang tentu yaitu hasil perbuatannya, tak peduli betapa dirinya tidak lebih dari setitik kecil di antara banyaknya orang-orang sesat macam dirinya yang tidak ada angin tidak ada hujan berangasan membunuh siapa pun demi tujuan utopia.

Bocah itu, yang memegang cermin tadi, tidak berbicara apa pun meski si pemuda, yang sekarang tak lagi besar lengan berkuasa melangkah, merangkak padanya dan menjawil-jawil pipinya. Si cowok mengira bocah tersebut mungkin sudah akan dijemput maut; tatapan matanya begitu lain dan kosong dan hanya Tuhan yang tahu apa saja yang bersemayam di balik tempurung kepala kecil hitam kelam itu.

Hanya Tuhan yang tahu….(*)


Ken Hanggara lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di banyak sekali media. Buku terbarunya Museum Anomali (Unsa Press, 2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), dan novel Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018).

Artikel Terkait

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel