Si Pengarang Muda | Cerpen Sungging Raga
“Bisakah Anda memasukkan roh penulis ahli dari masa kemudian ke dalam badan saya?”
Sang dukun menatapnya dengan heran, biasanya beliau menerima klien yang ingin dagangannya laris, ingin menang pemilu, ingin naik jabatan, atau ingin merebut istri orang. Baru kali ini ada yang memintanya memasukkan roh penulis. Tetapi, tentu sebagai dukun profesional segala ajakan dihentikan ditolak.
“Bisa saja, Anda mau roh siapa?”
“Knut Hamsun. Peraih Nobel asal Norwegia.”
“Hm, jika begitu tunggu sebentar,” dukun tersebut lantas menghubungi dunia mistik dan minta pada operatornya biar disambungkan dengan Knut Hamsun.
Tak disangka, Knut Hamsun bergembira sekali dikala ada yang menawarkannya untuk kembali menulis meski lewat badan orang lain. Maka, transaksi itu segera terselesaikan. Si pengarang muda pulang dalam keadaan bersemangat. Ia mulai mengurung diri di kamar dan mengetik berhalaman-halaman di layar komputernya.
Tak butuh waktu lama, dikala karya terbarunya ia kirim ke surat kabar terbesar di negeri itu, sang redaktur nyaris pingsan lantaran begitu bagusnya karya tersebut.
“Hamsun yang baru!” sang redaktur berteriak. Karya itu pun segera dimuat dalam waktu singkat.
Karya-karya si pengarang muda mulai bermunculan di banyak sekali surat kabar, ia mulai menerima perhatian pembaca dan kritikus. Hal itu tentu membuatnya bahagia. Jika dahulu ia selalu kecewa, kini setiap tamat pekan ia melihat namanya tercetak di surat kabar atau majalah. Tetapi, roh Hamsun lama-kelamaan menciptakan tubuhnya menderita, alasannya roh tersebut menuntutnya menulis berjam-jam, berhari-hari, hingga lupa makan dan lupa mandi. Sebagaimana riwayat Knut Hamsun semasa hidup dahulu. Rupanya dengan menjadi Hamsun, ia jadi tidak peduli kebersihan dan kesehatan tubuhnya.
Baru satu bulan, pengarang muda kita ini menjadi kurus, pucat, tidak menarik. Ia pun kembali mendatangi dukun.
“Aku ingin ganti roh.”
“Roh siapa kali ini?”
“Yasunari Kawabata.”
Maka, sebagaimana kesuksesan transaksi awal, masuklah roh Kawabata ke tubuhnya. Tulisannya eksklusif berubah drastis, menjadi amat lembut kata-katanya, mengutamakan deskripsi yang halus dalam setiap lembarannya. Para kritikus pun kian takjub.
“Eksperimen gres dari Pengarang Muda, kalimat-kalimatnya kini bening serupa jalinan kristal kata-kata Kawabata.”
Tetapi, tak usang sehabis itu, ia ingin mengganti roh lagi. Sebabnya, ia takut bunuh diri sebagaimana Kawabata yang mati bunuh diri. Setelah Kawabata keluar, masuklah Steinbeck, kemudian Marquez, kemudian Chekhov, kemudian Coetzee, sempat juga Salman Rushdie ingin masuk, tetapi pengarang muda ini tidak mau lantaran alasan ideologis.
Masuknya roh-roh secara bergantian itu menciptakan tulisannya mempunyai bermacam-macam gaya, tak tertebak, tetapi tetap dengan kualitas yang terjaga. Ia selalu bisa menghindari zona nyaman. Di mana ada zona nyaman di situ ia yang pertama kali menyingkir. Ia selalu berada di zona tidak nyaman.
Namanya kian dikenal di media sosial. Status-status Facebook yang ditulisnya mulai banyak menerima jempol dan dibagikan. Ia mulai menulis tips-tips menulis cerita, sesekali berkomentar perihal politik, perihal ideologi, dan juga berkonflik dengan penulis lain. Ia pun mulai kebanjiran pesanan. “Bisakah Anda menulis untuk kolom cerpen bertema keluarga? Bisakah perihal G30S/PKI? Bisakah menulis untuk Idul Fitri? Bisakah menulis cerpen religi? Bisakah menulis cerpen eksperimen? Bisakah ini? Bisakah itu?”
“Bisa! Bisa! Bisa!”
Ia mendapatkan semua permintaan, tubuhnya kini ibarat mesin dongeng pendek. Ia bahkan tak tahu mengapa harus menulis semua dongeng itu. Roh demi roh bergantian merasukinya sesuai dengan kepentingan dongeng yang hendak dibuat. Untuk dongeng keluarga dan cinta ia menggunakan gaya Kawabata, untuk dongeng bertema kritik sosial ia menggunakan gaya Steinbeck atau Dostoevsky, untuk dongeng bertema kemanusiaan ia menggunakan roh Tolstoy dan Chekhov, untuk dongeng yang surealis memusingkan ia meminjam roh Marquez.
Ia mulai diundang seminar, menjadi pemateri lokakarya, diundang khitanan, selamatan, tujuhbelasan. Bahkan paling tingginya ia pernah membacakan dongeng pendeknya di hadapan para undangan makan malam kepresidenan. Presiden yang sesungguhnya tidak peduli dengan dunia sastra apalagi dongeng pendek, pada karenanya harus berpura-pura takjub disebabkan memang si pengarang muda ini tengah menjadi fenomena. Sastrawan muda amat sangat berbakat telah lahir di negara kita.
Sebagai pengaruh domino, ratusan wanita bergegas antre untuk memberikan kekaguman dan impian apakah bisa bertemu dengannya. Duhai, andai pengarang muda ini tidak kenal sedikit moral-moral mendasar, ia niscaya sudah menjadi Florentino Ariza terhadap para wanita itu.
Adapun saldo rekeningnya jangan lagi ditanya. Sudah banjir dengan honor-honor. Para tetangga keheranan, pengarang muda yang kesehariannya tampak ibarat pengangguran kelas kakap ini tiba-tiba bisa membeli kendaraan beroda empat secara tunai, dan juga jalan-jalan ke luar negeri atas nama residensi. Ia diundang ke Vietnam, ke Thailand, ke Myanmar, ke Bangladesh.
Sebagai seorang yang telah diakui sebagai sastra wan muda berbakat, tak sedikit pula yang membencinya. Penulis-penulis yang heran bagaimana ia bisa menulis secanggih itu, setaraf para penulis dunia. Para penulis senior yang mulai terkena post-power syndrome pun turun tangan untuk mencari celah-celah yang bisa dikritik. Namun, karya-karyanya begitu sempurna, nyaris tanpa celah untuk dicela sehingga mau tidak mau mereka mulai berbalik memujinya, atau setidaknya menentukan membisu lantaran mengakui kehebatannya, seakan mengibarkan bendera putih di atas bukit kata-kata.
Dalam waktu kurang dari setahun ia telah mencapai puncak dari segala puncak kesuksesan yang pernah dibayangkan oleh seorang penulis muda. Semua kebanggaan tiba bagaikan angin ekspresi dominan semi yang menyejukkan para kekasih di taman-taman bunga menjelang senja….
Namun tiba-tiba….
(“Namun tiba-tiba” ialah sebuah frasa yang, sebagaimana kata Anton Chekhov, sering kita temukan di dalam dongeng pendek). Namun, tiba-tiba, pada suatu pagi yang kelabu, ia kehilangan kemampuan menulisnya. Bahkan untuk menulis satu paragraf pembuka pun tak bisa. Ia panik, alasannya hari itu ada kesepakatan dua naskah untuk dua penerbit.
Segera ia berangkat ke dukun.
“Ada apa ini, Duk? Kenapa tiba-tiba saya tidak bisa menulis sama sekali?”
Dukun itu tampak sedih. “Saya gres sanggup kabar. Roh-roh itu tidak mau lagi masuk ke tubuhmu.”
“Kenapa?”
“Karena mereka merasa dimanfaatkan.”
“Tapi, bukankah saya sudah membayar? Cepatlah, paksa mereka untuk masuk lagi. Aku punya planning yang sibuk hari ini. Kalau perlu kubayar sepuluh kali lipat!”
Maka, sang dukun pun mencoba menghubungi dunia roh untuk negosiasi. Memang, dalam dunia roh, terjadi percakapan antar para penulis dunia.
“Si kafir tak tahu etika itu ternyata mempermainkan kita,” kata Hamsun.
“Orang busuk ibarat beliau seharusnya tidak dibantu semenjak awalnya,” dukung Steinbeck.
“Kita semua begitu tolol hingga mau menutupi kebodohannya dan memberinya kesuksesan,” kata Jaroslav Hasek.
“Jika beliau hidup lebih dari dua puluh lima tahun, itu sungguh memalukan,” kata Dostoevsky.
“Barangkali ia layak dimakamkan sebelum ekspresi dominan gugur menjatuhkan helai daun pertamanya tahun ini,” kata Kawabata. Adapun Tolstoy dan Chekhov tidak ikut berkomentar lantaran sibuk main catur.
Lalu datanglah JM Coetzee, “Tenang kawan, kita masih bisa memberinya pelajaran. Lihatlah, dukun itu kembali menghubungi kita.” Lalu Coetzee pun pertanda rencananya, dan seluruhnya tersenyum lantas mengangguk setuju.
Sepulang dari dukun, pengarang muda itu kembali bisa menulis dengan lancar. Semua kesepakatan kepada penerbit dan redaktur berhasil diselesaikannya tepat waktu.
Namun, ternyata, karya-karyanya kali ini sangat kental nuansa plagiasi. Mulailah bisik-bisik itu terjadi di forum-forum kecil.
“Cerpennya yang ini ibarat sekali dengan Tolstoy, Tuhan Maha Tahu, Tapi Ia Menunggu. Dia hanya mengubah cuilan akhirnya.”
“Kalau yang ini ibarat sekali dengan JM Coetzee, hanya diganti satuan mata uangnya!”
“Nah. Ini sungguh hanya bongkar pasang novel Lelaki Tua dan Laut-nya Ernest Hemingway!”
Para pembaca dan khalayak sastra mulai heran, karya-karya terbaru pengarang muda itu seluruhnya cenderung plagiat. Tetapi, lantaran namanya telah begitu besar, para kritikus juga sudah telanjur memujinya, ditambah label sastrawan pun telah melekat, maka tak ada seorang pun yang berani menuduhnya plagiat secara terang-terangan.
Bahkan hingga suatu hari pengarang muda itu ditemukan mati dengan cara menenggak sebotol obat penumbuh rambut yang dicampur larutan pembasmi serangga, ia tetap dikenang sebagai sastrawan ahli di negaranya.
Sungging Raga, lahir pada 25 April 1987. Sempat menempuh pendidikan di Universitas Gadjah Mada. Mulai menulis fiksi semenjak 2009. Di antara bukunya yang telah terbit ialah Sarelgaz (Indie Book Corner) dan Reruntuhan Musim Dingin (Diva Press). Sedang menyiapkan buku terbaru berjudul Apeirophobia.