Penjual Banyolan | Cerpen Mashdar Zainal
Pada kondisi demikian, keluarga dan sesama teman tak sanggup saling mendukung, alih-alih menghibur. Sebab mereka sama-sama dirundung kesedihan. Karena alasan wabah kesedihan itulah, pelawak kita menentukan untuk membuka lapak gres dengan dagangan baru: lelucon-lelucon.
Konon, banyolan yaitu obat mujarab untuk menghilangkan kesedihan, meski cuma sejenak. Berjualan banyolan tak butuh banyak modal. Cukup mengandalkan bualan, perbendaharaan kata lucu, juga bahan-bahan berupa kisah-kisah yang memungkinkan untuk diplesetkan. Dan Komedian Kita cukup andal dalam hal-hal tersebut.
Jadi, saat kebanyakan orang berjualan yang macam-macam. Komedian kita menentukan untuk berjualan lelucon. Harganya murah. Beli satu banyolan sanggup bonus satu lelucon. Lelucon itu sanggup beraneka bentuk dan rupanya, tema dan pesannya. Mulai dari banyolan politik, fisik, hingga banyolan berbau RA-SA. Tapi, untuk yang terakhir itu pelawak kita harus ekstra hati-hati. Sebab, RA-SA yaitu wilayah sensitif yang sejatinya kurang lucu untuk dijadikan materi lelucon. Tapi begitulah, tidak sedikit dari para pelanggan pelawak kita yang suka dengan banyolan satu itu.
“Lelucon, lelucon, murah, murah… Kalau tidak lucu uang kembali, jikalau sukses terhibur boleh kembali lagi…” pekik pelawak kita di tengah keriuhan lapak.
Orang-orang mengerumuninya. Mulai dari belum dewasa hingga orang-orang renta. Para gadis yang patah hati suka membeli banyolan yang berisi perihal ketololan lelaki. Para istri yang jengkel pada suami pun suka membeli banyolan jenis itu. Orang-orang renta yang lelah dengan kelakuan anaknya sangat suka dengan banyolan anak jaman now.
Sedangkan para pejabat, biasanya suka titip beli banyolan politik. Tapi, jikalau kebetulan banyolan politik yang dibeli itu menyerempet kisahnya, tak segan-segan ia melabrak pelawak kita, menyuruhnya hati-hati jikalau meramu lelucon. Mendapat dampratan semacam itu, pelawak kita tak pernah gentar, ia hanya membalas dengan santai sambil cengengesan, “Itu cuma lelucon, Bapak. Jadi, jikalau ada yang tersinggung, jangan-jangan itu beneran. Hahaha…”
*****
Komedian Kita orangnya humoris. Memang begitulah seharusnya syarat utama menjadi seorang penjual lelucon. Bahkan, penjual apa pun memang seharusnya humoris. Calon pembeli lebih suka disuguhi senyum dan tawa ketimbang muka kecut.
Biasanya pelawak kita meracik lelucon-lelucon yang dijualnya itu tengah malam. Saat, suasana hening. Dengan begitu, pelawak kita sanggup berpikir lebih jernih dalam meramu leluconnya. Sehingga tidak ada banyolan yang kebablasan, terlalu matang, atau bahkan terlalu mentah.
Seiring permasalahan insan yang semakin komplek, yang mengakibatkan kesedihan yang semakin rutin, ditambah lagi animo pilkada yang semakin dekat, juga suasana politik yang kian menghangus, lelucon-lelucon pelawak kita kian laris. Tak pelak, penghasilan pelawak kita dari berjualan banyolan kian menukik. Sampai-sampai, pelawak kita mulai kehabisan materi untuk menciptakan ramuan banyolan yang baru. Sebab, tentu saja, para pembeli tak pernah sudi membeli banyolan yang sama. Hal itu menciptakan Komedian Kita kewalahan. Bahkan, meski harga leluconnya dinaikkan dua hingga tiga kali lipat, para pelanggan yang sudah kadung ketagihan banyolan pelawak kita tak pernah mempermasalahkan.
Seperti malam itu, pelawak kita kedatangan pelanggan seorang istri pejabat, yang memesan banyolan begitu banyak. Belum pernah ada orang memesan banyolan sebanyak itu. Sebab, suaminya yang seorang petinggi sebuah partai tersandung masalah yang tidak mengecewakan menyedihkan, hingga tindak-tanduknya menjadi murung selama berhari-hari. Dibutuhkan banyak banyolan untuk orang ibarat itu.
Maka, malam itu juga, pelawak kita mulai mengumpulkan sisa-sisa materi yang ada. Meramunya dengan lihai, sekena mungkin dengan tema yang diminta. Dan mengirimnya dengan gegas untuk pelanggan istimewa.
Esok harinya, pelawak kita benar-benar kehabisan materi lelucon. Sedangkan ia harus tetap berjualan, semoga pamornya sebagai penjual banyolan tidak mandek hanya gara-gara libur jualan sehari. Untuk meraih kesuksesan, dan kepercayaan dari pelanggan, hal semacam itu harus dipertimbangkan, begitu pikir Komedian Kita.
Maka, untuk tetap sanggup berjualan, pelawak kita mulai berani meraup materi yang sebelumnya jarang ia pakai, yakni lelucon-lelucon beraroma RA-SA. Lelucon itu memang rawan, tapi begitu jadi, akhirnya kadang menakjubkan. Orang bilang, meledak. Bikin hati deg-degan. Seperti bermain taruhan. Lagi pula, berdasarkan pelawak kita, sesekali ambil banyolan beraroma RA-SA tak jadi duduk kasus selama tidak melampaui batas. Maka, yang terjadi terjadilah.
*****
Ketika banyolan itu disuguhkan, ledakan dari kepuasan pelanggan memang muncul. Namun, beberapa waktu kemudian, orang-orang yang tersinggung mulai menghujat dan melabrak pelawak kita secara terang-terangan. Lapak jualan banyolan pelawak kita kukut sudah diporakporandakan para pihak yang tersinggung itu.
Komedian kita minta maaf kesana-kemari, tapi apa boleh buat, pelawak kita lupa, lelucon-lelucon itu muncul dari liang paling mengagumkan di kepala manusia: mulut. Dan banyolan apa pun, jikalau sudah terlompat dari liang itu, tak sanggup dimasukkan kembali. Itu lebih jelek dari muntahan. Bahkan muntahan sanggup ditelan lagi. Tapi, kata-kata? Bagaimana cara menelannya?
Semenjak itu, pelawak kita tetapkan untuk istirahat dulu dari menciptakan lelucon-lelucon. Komedian kita sadar, tak ada yang benar-benar lucu dari banyolan semacam itu. Kalau ia mau, ia sanggup saja meraup materi banyolan yang bahu-membahu tak pernah habis di dunia ini. Sebagaimana ke-sedihan, yang juga tak pernah kukut dari dunia ini. Hanya saja, pelawak kita merasa perlu mencar ilmu lagi, terutama dalam hal membuka dan menutup verbal pada tempatnya.