Satu Jam Bersama Dongga | Cerpen Adam Yudhistira
“Saya di sini untuk menolong Anda.”
“Mengapa Anda berpikir saya butuh santunan Anda?” tanya Dongga dingin. Raut wajahnya tak bersahabat.
“Saya percaya Anda mempunyai alasan besar lengan berkuasa membunuh mereka.”
“Seseorang yang terpojok ke satu sudut sanggup melaksanakan sesuatu yang pada keadaan normal tak akan mereka lakukan, Nona.”
“Saya setuju,” kata Rosana mengangguk. “Begitu banyak kemungkinan yang membuat seseorang harus kehilangan sisi kemanusiaannya.”
“Seperti saya?”
Rosana mengedikkan bahu. “Mungkin saja,” jawabnya santai.
Suasana di ruangan pengap itu masih membeku, masih membuat jarak tajam antara Rosana dan Dongga. Gadis itu berusaha meleburkan batas-batas dengan bersikap seakrab mungkin. Tapi batas-batas tegas itu tak mau mencair.
“Apakah berdasarkan Anda, saya bukan manusia?”
“Anda yang paling tahu jawabannya,” jawab Rosana diplomatis.
Rosana tahu bahwa apa yang sedang ia lakukan kini yaitu permainan menantang tamat hidup semata-mata. Berdua dengan seorang pembunuh brutal dalam satu ruangan yaitu hal yang sangat berbahaya. Namun semenjak hari yang berangin dan mendung dikala meliput ke desa Wattimpena satu bulan yang lalu, Rosana tergugah untuk mencari kisah dramatik lain di balik masalah Dongga.
Sejauh ini, Rosana belum menemukan apa pun. Narasumbernya tutup mulut. Nomor ponsel yang ia berikan pada mereka, tak sekalipun berbunyi meskipun ia mengaktifkannya selama 24 jam penuh. Satu-satunya informasi yang ia sanggup hanya satu: Dongga ditahan di penjara ini.
Rosana nekad melanggar kode etik profesinya demi menyuguhkan gosip ekslusif. Tidak ada yang tahu ia tiba ke penjara ini, kecuali seorang petinggi militer yang—namanya—dirahasiakan. Petinggi militer itulah yang memperlihatkan izin khusus semoga Rosana berhasil mewawancari Dongga.
“Mengapa Anda melakukannya?” Rosana menatap wajah Dongga, menjaga intonasi suaranya semoga tak terkesan mengintimidasi.
“Anda pikir saya peduli?” Jemari lelaki itu mengepal dan bergetar. “Perlakukan seseorang menyerupai binatang cukup lama, dan ia akan menjadi binatang sungguhan.”
Rosana tersenyum santai. Ia memberi ruang seluas-luasnya bagi Dongga meluapkan amarahnya. “Kalau tak keberatan, Anda boleh menceritakan semuanya. Orang-orang di luar sana perlu tahu alasan Anda.”
“Para tentara yang melaksanakan perbuatan ini pada sepupuku,” ujar lelaki itu geram. Ia meludah ke samping dengan penuh kesinisan, kemudian melanjutkan, “mereka bukan manusia.”
“Mengapa begitu? Maksud saya, apa yang mereka lakukan sebenarnya?”
“Akan saya ceritakan bila Anda betul-betul ingin tahu.”
Suara berat Dongga yang menjanjikan sesuatu itu membuat badan Rosana menegak antusias, menyerupai seekor gagak yang melihat seonggok daging lezat. Ia menantikan kebenaran lain yang akan diucapkan Dongga. Ini niscaya akan mendongkrak reputasinya dalam menguak sebuah berita. Hal yang dinantinya sekian usang dan butuh usaha panjang untuk mendapatkannya.
“Mereka mengobrak-abrik desa kami dan membawa adikku, Eliana, ke dalam sangkar babi. Dua dari mereka memerkosanya. Mereka memukulinya hingga sekarat.”
“Sungguh biadab,” ucap Rosana memperlihatkan kegeramannya semoga Dongga tahu bahwa ia turut bersimpati. “Saya tak pernah mendengar hal ini dari pihak militer.”
“Bodoh!” cibir Dongga dengan seringai mencela. “Anda pikir mereka akan membuka kejahatan itu?”
“Ya, saya paham,” jawab Rosana mengalah.
“Setelah mendengar kebenaran ini, apakah Anda masih menganggap saya binatang buas, Nona?”
Dongga menatap tajam. Wajah legamnya menyemburatkan gelegak amarah bahkan meski ia hanya berhadapan dengan seorang gadis bertubuh mungil menyerupai Rosana.
Rosana memperlihatkan rasa simpatinya sekali lagi. “Maafkan kata-kata saya tadi. Saya tak bermaksud menghakimi Anda.”
Dongga bengong sejenak, menyerupai menyadari bila ia bicara terlalu banyak. “Anda pernah mengalami insiden menyerupai itu?”
“Tidak, tentu saja tidak.” Rosana menggelengkan kepala kuat-kuat. “Membayangkan situasinya saja sudah cukup membuat saya frustrasi.”
“Mereka mengkremasi rumah-rumah kami dan memaksa kami meninggalkan desa. Kami diusir menyerupai sekawanan babi.”
“Itu mengerikan,” desis Rosana.
Dongga menyeringai. “Itu belum seberapa, Nona,” katanya terkekeh. “Tetanggaku sedang hamil tujuh bulan, mati dan meninggalkan tiga anak. Suaminya juga mati ditembak. Tepat di sini,” lanjut Dongga sambil menunjuk keningnya dengan tenang, seolah apa yang gres ia ceritakan yaitu hal yang biasa saja.
Rosana tak ingin mempercayai pendengarannya. Ia hampir bisa mengendus hal lain yang belum lelaki itu ceritakan kepadanya. “Selain adikmu, apakah keluargamu yang lain baik-baik saja?”
“Ya. Semua masih utuh. Kenapa kamu bertanya menyerupai itu?”
“Aku tak tahu. Hanya ini penting bagiku. Di luar sana, mereka menuduhmu penggalan dari pemberontak.”
Mata Dongga berkilat. Gurat kemarahan tampak terang di garis rahangnya yang mengeras. Rosana belakang layar merasa senang, alasannya yaitu mempunyai peluang untuk memaksa Dongga membuka diri lebih jauh. Semakin banyak yang ia dapatkan, semakin besar pula peluang ia membuat gosip paling sensasional.
Pejabat militer yang—namanya—dirahasiakan itu menitip pesan khusus kepada Rosana untuk mendesak Dongga mengaku sebagai penggalan dari kelompok separatis. Rosana setuju, hanya demi memuaskan ambisinya mewawancarai Dongga. Tapi gunung kemarahan di mata lelaki itu membuatnya takut.
Ia membayangkan kekuatan Dongga. Lengan kekar yang terbelengu borgol itu sanggup meremukkan tubuhnya dengan mudah, layaknya meremas sebongkah keripik yang getas, andai Dongga tahu alasan di sebalik keberadaannya di ruangan ini. Pikiran itu membuatnya ngeri.
“Mungkin lebih baik bila kita tidak meneruskan pembicaraan ini.”
Suara berat Dongga membuyar lamunan Rosana. Ia menyobek-nyobek tisu yang gres ia ambil dari tas kemudian mengepalnya menjadi bola-bola kecil. “Maaf, apakah saya membuat Anda kesal?” tanyanya.
“Tidak. Anda tidak perlu mengorek dongeng ini lebih dalam. Sama sekali tak ada gunanya.”
“Tunggu dulu,” ucap Rosana. “Saya masih belum mengerti beberapa hal.”
“Bagian mana yang belum Anda mengerti?”
Dongga memutar-mutar pergelangan tangannya. Borgol baja itu melingkar kokoh, memberi rasa tentram di hati Rosana. Setidaknya, borgol itu akan menyelamatkannya andaikata lelaki itu muntab dan berpikir untuk menyerangnya.
“Mustahil bagi Anda menghabisi ketiga tentara itu seorang diri.”
“Anda menuduh saya?”
Dongga menaruh tangannya yang terikat borgol ke atas meja. Matanya menyorot tajam.
“Anda lebih dungu dari orang-orang itu, yang mengira saya penggalan dari gerombolan pemberontak. Saya tegaskan. Saya bukan penggalan dari mereka. Dan ya, saya menyesal tidak bergabung dengan mereka.”
“Kenapa?”
“Karena andai saya bergabung dengan mereka, tentu saya bisa membunuh lebih dari tiga.”
Rosana mencicipi denyut ketegangan di bawah telapak tangannya dan kerlip pujian di wajah Dongga. Gadis itu ingin mempercayainya, ingin berpikir bahwa lelaki itu yaitu seorang yang lebih baik dibanding binatang buas. Tapi, Rosana tidak merasakannya.
“Anda tak ingin bebas?” tanya Rosana penasaran.
Dongga menggeleng, kemudian melempar pandangan tajam ke jeruji pemisah di dinding ruangan, menyerupai sedang menduga-duga bahwa di sebaliknya penjaga-penjaga itu sedang memerhatikan mereka.
“Anda lelaki yang baik, Dongga.” Rosana menyapukan gumpalan tisu itu ke kening dan ujung hidungnya. “Saya ingin membantu Anda.”
“Kenapa?”
“Karena keluarga Anda. Mereka niscaya menunggu kepulangan Anda.”
Dongga mendengus. Matanya menggenang. Keinginan itu tentu saja ada, namun lelaki itu sadar sesadar-sadarnya bahwa harapan itu sia-sia. Ucapan Rosana terasa tajam menyilet penggalan dalam tubuhnya. Seperti olok-olok bernada lawakan yang ironis.
“Bagaimana dengan pengacara?”
“Saya sudah menceritakan insiden persisnya, tapi ia tak percaya. Ia bilang, saya tak akan memperoleh apa-apa. Sudahlah, lagi pula apa pentingnya? Saya sudah siap kapanpun mereka mengeksekusi saya.”
Rosana menyandarkan tubuh. Derit bangku besi itu memantul ke seluruh ruangan. Rosana mendadak merasa kelu, menyadari keberadaannya di sana sangat tak berkhasiat bahkan keji. Kejujuran Dongga menggugahnya, menepikan niat jelek yang dibawanya sebelum memasuki ruangan pengap ini.
“Apakah Anda betul-betul ingin menolong saya, Nona?”
Rosana mengangguk lemah.
“Saya punya satu ajakan saja.”
“Apa itu?”
“Tolong kremasi jasad saya. Bawa abunya ke desa saya. Cuma itu.”
“Akan saya usahakan, Dongga.”
Waktu satu jam pun berakhir. Di luar ruangan, penjaga berteriak mengingatkan Rosana. Gadis itu mengulurkan tangan dan menjabat tangan Dongga. Sekilas dilihatnya lelaki itu tersenyum, namun Rosana tak bisa membalasnya. Ketegaran di mata itu meruntuhkan ambisinya.
Satu bulan usai pertemuan rahasia itu, Dongga dieksekusi. Sesuai janjinya, Rosana membawa bubuk lelaki itu ke desa kelahirannya. Dengan cara itulah ia menutup keinginannya menguak kisah Dongga dan menutupi perasaan bersalahnya alasannya yaitu tak bisa melaksanakan apa-apa. Ada kekuatan besar yang tak sanggup dihadapi Rosana dan ia menentukan membisu semoga tak berakhir menyerupai Dongga. (*)
Adam Yudhistira (1985) bermukim di Muara Enim, Sumatera Selatan. Cerita pendek, dongeng anak, esai, puisi dan ulasan buku yang ditulisnya telah tersiar di banyak sekali media massa cetak dan online di Tanah Air. Buku kumpulan cerpen terbarunya Ocehan Semut Merah dan Bangkai Seekor Tawon (Basabasi, 2017).