Ibu Pergi Memancing | Cerpen Mashdar Zainal


Perempuan tak pergi memancing. Mereka pergi ke pasar, berkerumun di arisan, dan kadang merumpi dengan para tetangga. Tapi ibuku tidak. Ibuku pergi ke kali. Menggendong adikku yang hampir dua tahun. Membawa tongkat pancing yang dibuatnya sendiri.

Sebelum hingga ke kali, ibu mampir ke sawah terlebih dahulu untuk mencari cacing-cacing kecil bakal umpan. Cacing-cacing itu ia kumpulkan dengan segumpal lumpur, kemudian ia buntal sedikit renggang dengan selembar daun talas. Aku pergi ke sekolah, dan ibu pergi memancing.

Pada hari pertama ibuku pergi memancing, kawan-kawanku mengobral omong tak henti-henti. Membuat telingaku panas.

“Kulihat ibumu pergi ke kali membawa pancing,” kata yang satu.

“Perempuan kok pergi memancing, sudah besar pula. Aneh!” kata yang lain.

Lalu mereka tertawa bersama-sama. Mereka menertawakan ibuku. Kata mereka, ibuku kurang kerjaan, menyerupai anak kecil. Beberapa mitra yang lain bilang, ibuku menyerupai lelaki. Begitulah, kata mereka, wanita memang tak pergi memancing, apalagi jikalau ia ibu-ibu.

Pada hari pertama ibu pergi memancing itu, saya pulang sekolah dengan dada dongkol. Ingin rasanya kutumpahkan kedongkolan itu ke muka ibu, sesegera mungkin. Sampai di rumah, ibu menyuruhku berganti pakaian, kemudian makan. Tapi saya tak menghiraukan, saya segera melabrak ibu, sambil berseru, “Ibu jangan pernah pergi memancing lagi. Jangan pernah.”

Ibu membalas seruanku dengan tatapan bingung, kemudian geleng-geleng, kembali menyuruhku berganti baju, kemudian makan. Tapi saya tidak menggubris. Aku eksklusif beringsut ke arah meja. Di atas meja makan tanpa dingklik itu, sebakul kecil nasi terhidang, ditemani beberapa ekor ikan badar goreng, daun singkong yang direbus, serta sambal kemangi. Aku makan dengan lahap. Setelah makan, ibu menatapku dan berkata, “Ikan yang kamu makan itu hasil dari ibu pergi memancing.”

Ibu berkata soal memancing, dan itu kembali mengingatkanku pada olok-olokan teman-teman. Dongkol di dadaku kembali.

“Tapi wanita tak boleh memancing, apalagi ibu sudah besar,” tukasku.

“Seandainya ayahmu sanggup pergi memancing, ibu tak akan pergi memancing. Kalau kamu mau tahu, sejujurnya ibu lebih suka memasak dan membersihkan rumah sambil momong adikmu.”

Aku tak menjawab. Tentu saja ayah tak sanggup pergi memancing. Sebab ayah sudah dikuburkan dua tahun silam, dikala usiaku masih delapan tahun. Kaki ayah terlindas mesin pembajak sawah, kemudian bengkak, tak sembuh-sembuh, tak sanggup jalan berbulan-bulan, badannya sering panas-dingin, hingga balasannya sakit parah dan meninggal. Sejak itu, ibu bekerja keras seorang diri, kadang bantu-bantu basuh dan setrika di rumah Bu Haji. Kadang membantu Mak Siti memanen kangkung dan bayam, mengikatnya hingga bertumpuk-tumpuk kemudian membawanya ke pasar dengan naik becak.

Waktu itu adikku masih dalam perut. Hingga adikku lahir, dan ibu tidak bekerja apa pun. Setelah adikku berumur beberapa bulan ibu kembali ke rumah Bu Haji, tapi Bu Haji sudah punya orang gres buat bantu-bantu. Tenaga ibu tak diharapkan lagi. Satu-satunya pekerjaan ibu yaitu membantu Mak Siti berjualan sayur. Bila isu terkini sedang baik, sayur-sayur itu pun akan tumbuh degan baik, sanggup dipanen banyak-banyak, dan ibu juga sanggup mendapat upah yang cukup. Namun, kata ibu, isu terkini suka tiba tak menentu. Hujan kerap turun di isu terkini kemarau. Ladang Mak Siti yang di seberang sungai kerap terendam banjir, dan sayur-mayur tak sanggup dipanen. Dan lantaran itulah, ibu pergi memancing. Kata ibu, dikala sungai surut selepas banjir, ikan-ikan gres diantar Tuhan dari hulu.

“Tapi agak asing ibu-ibu pergi memancing,” saya bersikeras, mempertahankan pendapat teman-temanku.

“Lebih asing lagi, jikalau seorang ibu tidak sanggup memberi makan anak-anaknya,” balas ibu. Lantas ibu mengomeliku panjang-panjang. Kata ibu, di rumah cuma ada beras, itu pun tak hingga satu timba (ibu selalu menyimpan beras dalam timba). Dan semoga, beras itu cukup untuk makan hingga beras gres tiba diupayakan ibu dan dikirim Tuhan.

Pundi ibu melompong, receh pun tak ada, yang artinya tak ada pula duit buat membeli tahu tempe, atau sekadar kerupuk. Ibu tak mau mengemis ke para tetangga. Apa-apa yang dimakan anak-anaknya, menjadi darah dan daging anak-anaknya, harus sesuatu yang higienis dan murni dari keringat ibu sendiri.

Ibu sanggup memetik daun singkong di pekarangan belakang, menyayur pepaya muda, atau menciptakan botok kembang pisang. Tapi ibu juga mau sekali-kali anak-anaknya makan makanan anyir yang terang gizinya dan menyenangkan di lidah.

“Sambil meramban daun singkong di belakang rumah, ibu melamun, ibu melihat kali di kejauhan, dan ibu gres sadar, Tuhan menyuruh ibu pergi ke kali untuk mencari lauk yang pantas buat kalian.”

Hari itu, ibu menggeledah sisa-sisa senar kail milikku—yang pernah kupakai memancing. Jelang petang, sambil menggendong adik, ibu menyisik buluh dan menciptakan gagang pancing. Pagi harinya, dikala saya hendak pergi ke sekolah, ibu telah siap pergi ke kali. Ibu pergi memancing.

Mendengar klarifikasi ibu, kedongkolan di dadaku mereda. Apa yang salah dengan ibu memancing? Aku memakan lahap ikan hasil tangkapan ibu, dan saya menyuruh ibuku berhenti memancing, kupikir itu kurang adil. Kata ibu, Tuhan menyuruh ibu pergi ke kali, mencari lauk-pauk yang pantas untuk anak-anaknya. Tuhan saja tak melarang ibu pergi memancing. Mengapa saya melarangnya.

Kini, sesudah puluhan tahun berlalu, saya melihat seorang perempuan, paruh baya, menggendong bayi di punggungnya. Duduk di tepi kali. Menatap senar kail yang tak bergeming. Aku tahu kisahnya. Perempuan itu ibuku. Puluhan tahun lalu.

*****

Artikel Terkait

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel