Telur Aneka Rasa | Cerpen Umi Rahayu
“Pak Bahrul, sanggup minta tolong membetulkan laptop saya?”
Bahrul mengangguk-angguk. Dia memperhatikan laptop guru muda yang kini duduk di sampingnya. Wangi parfum cokelat masuk ke hidung Bahrul yang besar.
Wanda memang selalu tepat di mata Bahrul. Cantik, muda, wangi. Meski tak banyak murid yang suka, alasannya yaitu Wanda dikenal terlalu disiplin.
Dengan gesit Bahrul memperbaiki peranti lunak laptop Wanda. Guru muda itu hanya melihat, alasannya yaitu tak paham apa yang dilakukan Bahrul.
“Ini, sudah selesai. Saya tambahkan software gres ya.”
Wanda mengangguk-angguk. Ia menaikkan kacamata yang berbingkai merah.
“Bapak mau sarapan telur?”
Mata Bahrul mengikuti telunjuk Wanda. Laki-laki berkepala setengah botak itu menelan ludah. Dia tak tahu harus menjawab apa.
“Praktik.” Akhirnya sepatah kata itulah yang keluar dari mulutnya.
“Praktik? Kelas komputer kini pakai telur?”
“Oh, bukan! Kelas biologi.”
“Oh.”
Wanda pun pamit pergi.
Lima belas menit yang Bahrul tunggu sudah berkurang lima menit. Bahrul segera merapikan peralatan dan materi untuk praktik. Dadanya berdebar.
Dalam perjalanan menuju kelas paling ujung, pikiran Bahrul tidak fokus. Dia sudah merasa buntu ketika menggantikan guru biologi yang cuti hamil dua bulan lalu. Lembar kerja siswa tak mungkin lagi beliau gunakan sebagai dalih untuk memperlihatkan tugas. Semua sudah penuh. Praktik mengukur tanaman pun sudah menemui selesai penelitian. Kali ini, Bahrul ingin mengulur waktu dengan pelajaran praktik.
“Kau yakin?” tanya Sobiron, sahabatnya yang juga guru komputer.
“Habis mau kuberi materi apalagi?”
“Kalau eksperimenmu gagal?”
“Eksperimenku tak pernah gagal.”
“Terserah kaulah.”
Sobiron kembali asyik mengutak-atik komputer yang rusak. Komputer itu sudah tiga kali rusak. Dia sudah memprotes Kepala Sekolah, tetapi percuma.
“Lama-lama saya jadi tukang servis,” gumam Sobiron.
Bahrul tak merespons. Dia masih tersinggung atas ucapan kawan kerjanya barusan. Percakapan itu agak mengusik pikiran Bahrul pagi ini. Meski sudah mencoba dan berhasil, Bahrul masih ragu. Karena, sesungguhnya, beliau tak pernah benar-benar mencoba. Bahrul hanya mencoba-coba. Jika dengan sebutir telur pernah berhasil, beliau tak pernah berani menjamin keberhasilan pada telur-telur berikutnya.
Angin Jumat pagi semilir. Bahrul terlambat hampir sepuluh menit. Dia agak kaget ketika murid-murid di laboratorium biologi sudah menyiapkan semua peralatan. Telur, alat suntik, dan perasa makanan. Bahrul menyiapkan bor dan pemanas listrik.
Tanpa disuruh, murid-murid jurusan marketing sudah berkumpul sesuai dengan kelompok masing-masing. Bahrul makin grogi. Dia menghela napas panjang sebelum menyapa para siswa.
“Baik, pagi ini ada yang tidak membawa telur, alat suntik, atau perasa makanan?” Bahrul berbasa-basi.
Semua murid menjawab tidak. Seharusnya Bahrul paham. Empat meja persegi di depannya sudah lengkap dengan segala peralatan dan materi yang mereka butuhkan. Untuk mengulur waktu, Bahrul menjelaskan sedikit instruksi. Padahal, ahad kemudian beliau sudah menjelaskan. Apalagi nanti beliau tentu bakal berkeliling ke setiap meja untuk menjelaskan lebih detail kepada setiap kelompok.
Waktu seakan-akan melambat. Perasaan Bahrul tercekam kesunyian di laboratorium itu. Benda-benda itu seakan-akan berteriak dan memaki-maki. Kerangka badan patung insan di pojok ruangan terasa memelototi. Bahrul bergidik ngeri. Neraca-neraca juga ibarat sedang menimbang-nimbang keyakinan Bahrul.
Di sekolah Bahrul, laboratorium biologi juga dipakai sebagai laboratorium kimia. Bahkan terkadang dipakai sebagai kelas biasa, tidak sekhusus di sekolah menengah atas.
Bahrul memulai kelas praktik dengan memperlihatkan contoh. Dia mengebor telur, kemudian menyuntikkan perasa makanan. Rasa cokelat.
“Saya ingin telur ini mempunyai rasa cokelat. Kalian sanggup mencoba hingga di sini dulu. Satu kelompok cukup tiga telur. Jika kesulitan, silakan bertanya. Jika cukup, silakan mencoba.”
Antusiasme murid cukup besar. Bahrul berdehem, kemudian keluar. Udara di luar lebih sejuk. Kepeningan Bahrul terusir udara segar.
“Jadi eksperimen, Pak?” Suara lembut Wanda mengusik Bahrul. Guru muda itu mendekat. Kepalanya melongok ke jendela laboratorium. “Sepertinya belum dewasa antusias sekali ya?”
Tidak ada yang lebih baik selain mengangguk dan tersenyum.
“Saya ada ide, Pak. Kalau telur aneka rasa ini jadi, belum dewasa marketing sanggup menghadap saya. Akan saya buatkan usaha. Kaprikornus di kelas ini mereka tidak hanya sekadar praktik,” ujar Wanda dengan wajah berseri-seri. Guru kewiraswastaan itu memang selalu berbinar ketika membicarakan bisnis.
Wajah Bahrul mengerut, meski berkali-kali ia mencoba menyeterika dengan senyuman.
“Ini sanggup jadi merk di sekolah kita. Guru ilmu komputer membuatkan eksperimen telur aneka rasa. Usaha roti sobek sanggup kalah lo, Pak.”
Gigi Wanda terlihat kinclong.
“Ya sudah, saya lanjut ke minimarket. Pukul sepuluh saya ada kelas di jurusan automotif.”
Tubuh tinggi semampai Wanda meninggalkan Bahrul yang makin mengerut. Tak lama, Jihan, ketua kelas marketing, keluar. Dia mengabarkan semua telur sudah disuntik.
“Baik. Setelah semua telur disuntik, mari kita rebus.”
Tangan Bahrul mengambil telur yang sudah beliau suntik dengan perasa cokelat. Semua murid secara serampak meletakkan telur masing-masing.
Kekhawatiran Bahrul menjadi-jadi. Dia belum siap menanggung malu. Malu pada Sobiron, pada Wanda, dan pada murid-murid di kelas. Apalagi ketika membayangkan telurnya yaitu satu-satunya telur yang tak memperlihatkan hasil, sementara semua murid berhasil. Sobiron niscaya tertawa tergelak-gelak. Wanda pun tak lagi memuji dia.
Lalu murid-murid? Ah, tiga puluh dua murid di depannya itu akan melipatgandakan mulut. Berita ketidakberhasilan itu akan hingga ke mana-mana. Apalagi jikalau ada murid yang bersahabat dengan guru lain atau guru di sekolah lain atau mempunyai kekasih di sekolah lain. Reputasi hebat komputer berjulukan Bahrul Nawawi bakal jatuh alasannya yaitu sebutir telur yang gagal berasa cokelat. Dia tak lagi dipercaya hanya alasannya yaitu sebutir telur. Bahrul akan mati menanggung malu. Mulut Sobiron apalagi, tak sanggup berhenti tertawa dan menyalahkan, kenapa dulu tak mendengar perkataannya.
Entah sudah berapa usang Bahrul termenung di kelas. Di depan murid-murid yang semenjak tadi riuh mengobrol. Bahrul melirik arloji. Sudah setengah jam. Dia berjalan ke setiap meja.
“Lo, telurnya sudah matang?” Nada kaget Bahrul menciptakan kelas tiba-tiba hening. “Kok tidak bilang semenjak tadi?”
“Listrik mati, Pak,” jawab Jeni.
“Tadi saya ingin memberi tahu, tetapi tampaknya Bapak sedang tidak sanggup diganggu,” siswa pria di samping Jeni bicara.
Bahrul hanya sanggup ber-oh dan manggut-manggut. Tiba-tiba ada asupan energi merasuk ke badan Bahrul. Dia kembali bergairah.
“Baik. Karena listrik mati dan waktu hampir habis, kalian boleh kemas-kemas. Urusan telur, agar saya tanggung.”
Terdengar lenguhan panjang. Namun tak sedikit siswa bersorak senang. Bahrul ingin melompat-lompat. Dengan penuh percaya diri beliau akan menemui Wanda dan menyampaikan eksperimennya gagal alasannya yaitu listrik mati. Dia pun mengemasi perlatan dan materi yang tersisa.
Lima belas menit kemudian, Bahrul menuju ruang Wanda di minimarket bawah tangga. Guru muda itu sedang bersantai di kursi, menghadap meja berisi tumpukan lembar kerja siswa.
“Bagaimana, Pak?”
“Gagal,” sahut Bahrul bangun di depan meja Wanda.
“Kok bisa?”
“Listrik mati.”
“Oh, jangan khawatir. Kita rebus di pantry saja yuk.”
Bibir Bahrul kembali lengket. Dia tak sanggup berbuat apa-apa, selain mengangguk dan berjalan. Wajahnya kembali kusut. Wanda tampak lebih berbinar. Jika hingga gagal, Bahrul tidak tahu harus menyalahkan apalagi.
Di pantry tidak ada orang. Wanda dengan hati-hati menuang air ke dalam panci. Dia meletakkan telur-telur setengah matang itu.
“Kita perlu waktu beberapa menit lagi.”
Wanda dan Bahrul menunggu di bangku bersahabat kompor. Namun sebelum mereka duduk, api di kompor mati. Dengan langkah cepat Wanda menuju ke kompor. Dia menghidupkan kompor. Namun tidak menyala.
“Pak, gas habis,” ucap Wanda.
“Wah, sayang sekali,” ucap Bahrul. Padahal, dalam hati beliau berjingkrak kegirangan. (*)
Umi Rahayu, mahasiswa Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Univesitas Negeri Semarang. Cerpen gadis kelahiran Banjarnegara, 8 September 1996, ini dimuat dalam antologi bersama Sukinah (2017), Rumput di Mata Suryati (2017), dan Perempuan yang Ingin Membeli Masa Lalu (2017).