Bukan Senin Biasa | Cerpen Annisa Farid
SENIN itu biasa saja, Adi siap upacara dan di saku kanannya, ada tiga lembar uang kepingan lima ribuan. Adi bukan anak orang kaya, bukan anak orang miskin juga. Uang jajannya sehari lima belas ribu rupiah, cukuplah untuk anak kelas dua Sekolah Menengah Pertama yang tiap hari berangkat dan pulang naik angkot.
Dalam sehari, Adi menghabiskan separuh uang jajannya untuk ongkos naik angkot, tiga ribu rupiah untuk pergi, empat ribu rupiah untuk pulang; seribu rupiah lebih mahal sebab jalannya memutar. Separuh uangnya lagi, ia pergunakan untuk makan siang, bila bersisa, jadi jatah celengan ayamnya yang kian memberat.
Jarum jam telah memperlihatkan pukul enam lewat tujuh, Adi menunggu angkot di tepi jalan bersama beberapa bocah SD yang wajahnya cemong dengan bedak “bayi”. Seorang ibu gendut yang membawa tas belanja penuh dengan sayur mayur dan ceker ayam juga terlihat menunggu angkot yang sama. Adi sudah hapal betul wajah-wajah itu, Senin yang sangat biasa—tidak ada bedanya dengan hari lainnya. Adi sesekali merapikan kerah baju dan dasinya. Ingin terlihat keren di hadapan belum dewasa SD cemong itu.
Pukul enam lewat sepuluh, angkot Cimahi-Padalarang yang dinantikan tiba. Bangkunya sudah separuh terisi. Kebanyakan anak sebaya Adi, sama-sama berseragam putih-biru. Tidak perlu dikomando, bocah-bocah cemong itu berebutan masuk ke dalam angkot. Disusul ibu gendut dengan tas besarnya. Adi naik belakangan.
Angkot berwarna oranye itu berjalan perlahan, suaranya menderu-deru, protes dengan beban yang kelewatan. Bapak sopir memutar lagu keroncong sambil sesekali meneriaki orang yang bangun di pinggir jalan, “Plarang, Neng!” dan disambut dengan gelengan kepala.
Senin itu benar-benar biasa saja. Adi seangkot dengan wajah-wajah yang dekat dengan kesehariannya, meskipun tak satupun nama yang ia tahu. Siapa juga yang ingin mengobrol di tengah angkot sesak dengan orang asing?
Adi menghabiskan waktu perjalanan sambil bersenandung kecil. Sampai kesannya gerbang sekolah Adi terlihat di ujung jalan. Dengan sigap Adi merogoh saku kanannya, hendak mengambil lembar lima ribuan pertamanya. Adi kaget bukan main dikala menyadari yang beliau rasakan dalam saku ialah kulit pahanya sendiri. Adi kaget bukan main, “Sejak kapan?!” rutuknya.
Adi mulai panik dan menyusun aneka macam skenario untuk bebas dari jeratan ini.
Skenario pertama: Adi akan memanfaatkan posisinya yang sempurna berada di sebelah pintu. Maka ia akan lompat begitu saja dikala angkot melintas di depan sekolahnya.
Adi akan melompat dengan begitu gesit sehingga tidak ada satu insan pun yang menyadari lompatannya. Kemudian, begitu sepatu hitamnya menginjak tanah, Adi akan berlari menuju kerumunan siswa lainnya dan mengakibatkan Senin itu kembali menyerupai biasa.
“Ah, tidak! Terlalu riskan! Ini Senin pagi, dan terlalu banyak orang di gerbang sekolah! Kalau gagal, seluruh manusia, bahkan satpam dan guru piket akan dengan gampang meringkus dan menghukumku!” bisik Adi dalam hati. Maka ia memikirkan skenario berikutnya.
Skenario kedua: Adi akan melemparkan tetapan ajal pada bocah-bocah SD yang duduk didepannya. Menghentikan pembicaraan ndeso mereka ihwal tokoh kartun yang paling jagoan, dan melancarkan bahaya yang akan menolongnya keluar dari angkot itu. Adi akan meminta masing-masing seribu rupiah pada mereka kemudian membayar angkot menyerupai biasa.
“Duh, mikir apa sih, Di? Mau malak anak SD?! Apa kate ibumu nanti? Bagaimana bila belum dewasa ini melapor pada guru dan orang bau tanah mereka? Kamu lupa belum dewasa ini selalu kautemui diujung gang tiap pagi? Akan sangat gampang bagi mereka untuk melacakmu!” ujar Adi pada dirinya, mengutuk skenario keduanya. Tanpa Adi sadari, gerbang sekolahnya telah terlewat Adi memikirkan skenario ketiganya, yang tampaknya lebih masuk akal.
Skenario ketiga: Adi akan bermanis pada ibu gendut dengan tas belanjanya. Adi akan berceloteh ihwal hujan semalam dan betapa cerah pagi ini, kemudian dikala ibu itu luluh, Adi akan meminta uang pada sang ibu, bilang bahwa saku celananya bolong dan ia hampir terlambat ikut upacara. Ibu itu niscaya akan dengan baik hati memberikannya ongkos angkot.
Sial, sebelum Adi sempat mencoba skenarionya, terdengar bunyi yang tidak ia harapkan.
“Kiri, mang!” seru ibu gendut, Adi terhimpit oleh tas belanjaan si ibu, wajahnya tersapu beberapa helai kangkung. Adi kesal bukan kepalang. Terlebih dikala menyadari sekolahnya telah terlewat cukup jauh.
Tak usang kemudian, tiga bocah cemong itu juga berseru, “kiri!” dan berebutan keluar angkot. Tangan-tengan kecil mereka mengulurkan uang ongkos. Adi kesal sekali! Bahkan anak SD saja mempunyai uang lebih banyak darinya!
Sementara penumpang demi penumpang turun dan menyisakan Adi dan seorang bapak paruh baya di dalam angkot. Sekolahnya sudah terlewat jauh, dan Adi mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk jujur pada bapak di depannya dan meminta barang tiga ribu rupiah untuk ongkos angkotnya.
“Pak,” gres saja bunyi parau itu meluncur dari verbal Adi, si bapak sudah mendahului.
“Kiri!” penumpang terakhir di angkot itu turun, Adi tahu betul sehabis belokan di depan, angkot berwarna oranye terperinci ini akan mencapai titik terakhir di trayeknya.
Pukul tujuh tepat, upacara seharusnya sudah dimulai setengah jam yang kemudian dan belokan terakhir sudah terlihat di depan mata.
Sedangkan Adi? Ia mencicit kaku di daerah yang (ia kira) tidak sanggup dijangkau sopir angkotnya.
Ternyata Senin itu bukan Senin biasa bagi Adi. Hari itu spesial. (*)