Rumah Sebelum Tangga | Cerpen Kiki Sulistyo
Ia perhatikan dengan seksama benda-benda lain di kamar ini; lemari kayu yang di atasnya bertumpuk keranjang, dingklik plastik, tas-tas yang ia lupa apa isinya. Rak sepatu dan sebuah guling yang terkulai bagai jenazah serdadu, meja berguru yang rusak karena suatu hari pernah ia gebrak, karpet merah jambu dengan motif animasi produk disney, selembar kasur menguarkan bau yang entah apa namanya,—tak ada seprai, hanya ada bantal-bantal, selimut, kain sarung, dan buku-buku. Tumpukan buku di mana saja, tersusun secara acak, bersama lembar-lembar koran, majalah, makalah, surat, katalog.
Matanya tiba-tiba terasa panas. Dengan telunjuknya, ia raba bibirnya yang kering dan terkelupas. Ia merasa ada penyakit keji sedang memasuki tubuhnya.
Ia tidak mengerti mengapa matanya terasa panas, yang ia rasakan yakni tekanan, menciptakan sesak rongga dada, seolah-olah setiap benda di kamar ini telah melontarkan bobotnya. Cairan bening membentuk selaput di matanya, semakin banyak dan tak tertampung lagi hingga meluap. Di luar terdengar bunyi kanak-kanak, dan bau amoniak diuapkan matahari ke udara. Tak ada toilet di rumah ini, setiap malam kalau ingin membuang urine, penghuni rumah—termasuk dirinya—akan melakukannya di sepetak halaman depan, di bawah pohon kelapa yang tumbuh miring, condong ke jalanan.
Ia terkejut ketika tiba-tiba bunyi langkah kaki memasuki kamar. Itu putrinya, 12 tahun, tumbuh dalam jeratan disleksia, gres saja pulang sekolah. Dihempaskannya tas ke lantai semen, wajahnya kering, menyerupai batang pohon di tengah kemarau panjang. Gadis kecil itu menatapnya, buru-buru ia membuka mulutnya, akal-akalan menguap, semoga putrinya tak menyangka kalau ia gres saja menangis. “Ngantuk, Pak?” kata putrinya itu. “Iya, makan dulu sana,” jawabnya segera mengalihkan perhatian. Putrinya membuka sepatu, pakaian seragam, dan melemparkannya ke keranjang. Ia perhatikan gadis itu sebelum ia bergerak ke ruang depan dan mencicipi bagaimana waktu telah jauh meninggalkannya. Ia hampir-hampir tidak ingat lagi bagaimana putrinya itu tumbuh. Hanya sedikit bab saja yang terekam dalam benaknya. Saat-saat ketika tanpa alasannya yakni putrinya terkena serangan kejang berkali-kali, serangan yang melemahkan bagian-bagian otaknya dan membuatnya susah sekali melafalkan kata.
Ia berupaya menjangkau detail-detail ingatan ihwal putrinya, tapi kenangan itu terasa menjauh ke wilayah tak tertempuh. Sama samarnya ketika ia berusaha—sebaliknya—membayangkan masa depan putrinya itu. Hanya saja upaya mengenang masa kemudian ia lakukan dengan sekuat bisa, sementara dalam membayangkan masa depan ia lakukan dengan perasaan cemas. Ya, ia cemas membayangkan masa depan putrinya, ia gentar oleh kenyataan bahwa dunia kian angker baginya.
Sesungguhnya putrinya itu berkembang dengan baik. Meskipun tidak menyerupai anak pada umumnya, yang menghabiskan waktu dengan bermain bersama bawah umur seusianya. Putrinya tidak pernah menjadi sosok penting dalam permainan apapun. Ia menyerupai tidak sanggup melaksanakan apa-apa. Putrinya terlalu lemah, selalu di pihak yang kalah, bahkan sebelum permainan dimulai. Tapi putrinya itu menyerupai telah dibekali keinginan untuk bertingkah laris baik. Ia selalu minta izin kalau mau melaksanakan apa saja. Bahkan untuk hal-hal remeh menyerupai mandi, makan, tidur, atau menonton tivi.
Ia sendiri gres saja pulang, sesudah hampir satu bulan berada di kota, membantu satu kelompok sandiwara meluncurkan buku dan mementaskan lakon ihwal kehidupan sehari-hari tiga perjaka di masa-masa reformasi. Ia mengurus izin tempat, mengatur publikasi, menghubungi teman-temannya yang bersedia membantu, serta mengundang sejumlah tokoh seni di kota untuk hadir dalam rangkaian program kelompok sandiwara itu. Ia menghabiskan banyak waktu, tapi karena ia selalu garang dengan kegiatan semacam itu, waktu menjadi semacam kesenangan yang mendebarkan. Itulah dunianya, dimana terbit perasaan yang meluap-luap, melihat sebuah buku dibahas, orang-orang bertanya, teks-teks dalam buku diseret ke atas panggung jadi kejadian pertunjukan yang hanya berlangsung sekali. Itulah dunianya, dunia yang berjarak dengan rumah. Dunia yang tiba-tiba menjadi aneh begitu ia pulang ke rumah.
Ia memang pernah bermukim di kota. Bersama wanita yang kemudian menjadi istrinya. Menyewa sebuah kamar sempit dan hidup dari tulisan-tulisannya. Ia sudah berhenti dari pekerjaannya sebagai pegawai di sebuah toko kaset ketika putrinya menginjak usia dua tahun. Satu-satunya yang menciptakan ia melaksanakan hal itu yakni perasaan bosan yang tak kepalang. Selama bertahun-tahun bekerja, berangkat pagi dan pulang ketika matahari hampir tenggelam. Ia mencicipi dirinya menguap, pekerjaan itu telah menyiksanya, menjauhkannya dari eksistensinya. Ia kerap terdiam dalam perjalanan pulang, hingga beberapa kali penumpang bus mini yang hendak turun harus menegurnya karena kakinya menghalangi jalan.
Keputusannya untuk berhenti bekerja tidak menerima penentangan berarti dari istrinya. Bukan karena istrinya pasrah saja, tetapi karena ia arif meyakinkan istrinya bahwa pilihannya yakni hal yang baik. Namun menyerupai yang sudah diduga, kesusahan mencari ongkos hidup perlahan-lahan mulai merayapi dinding kamar sewa. Setiap hari kepalanya terasa sesak, pertanyaan dan impian bagai palu dan kerikil yang terus berbenturan. Ia menjual sebagian buku-bukunya untuk bayar sewa kamar dan biaya hidup sehari-hari. Saat itu, meskipun sudah usang menulis, belum ada orang yang mengenalnya. Tulisan-tulisannya ditolak hampir semua redaktur. Ia hampir-hampir putus asa, dan berkesimpulan bahwa ia telah menentukan jalan yang salah. Tetapi pada akhirnya, ia tetap teguh, ia menentukan hancur di jalan yang dipilihnya daripada harus kembali.
Setelah upaya terus-menerus, namanya mulai dikenal. Semenjak tulisannya yang membahas satu program baca puisi terbit di sebuah majalah kebudayaan bergengsi. Bagai seekor siput yang berjalan lambat tetapi tiba-tiba saja sudah ada di titik tertentu, ia sanggup menghadirkan dirinya di antara jajaran orang yang dikenal di bidang penulisan. Banyak orang kemudian memperhatikannya, dan ia bahagia karenanya. Diam-diam ia besar hati pada dirinya. Tetapi apa yang telah ia katakan pada istrinya tidak terbukti. Mereka tetap hidup pas-pasan.
Dengan segera kedua dunia itu terpisah semakin jauh, dan dirinya berubah menjadi jembatan karet yang harus siap melar hingga sejauh-jauhnya.
Itulah kompensasi yang mesti dibayarnya, semenjak ia mengerti bahwa dunia di dalam rumahnya berbeda jauh dengan dunianya sendiri. Ia tidak sanggup berada di rumah lama-lama, ia sanggup bau karenanya. Ia bukan dirinya yang dulu, yang berangkat pagi dari rumah dan pulang petang kembali ke rumah. Sekarang ia harus mengisi dirinya terus menerus, berupaya memelihara habitatnya, semoga ia terus hidup. Jika ia terus hidup, dunia di dalam rumahnya juga terus hidup. Karena itu ia putuskan untuk pindah, tidak lagi menyewa kamar di kota. Ia memboyong keluarganya ke dusun asal istrinya, dan mendirikan rumah kecil di atas tanah pinjaman. Rumah itu disusun dari batako murah. Atapnya dari asbes kelas dua. Terdiri dari hanya dua ruangan; satu ruangan berfungsi sebagai dapur dan satu ruangan lagi sebagai kamar tidur. Tidak ada kawasan untuk bangunan lain, ini hanya tanah pinjaman.
Ia bebas meninggalkan rumah berhari-hari, menginap di rumah kawan-kawannya di kota. Mengurus acara-acara sastra, mengelola komunitas non-profit yang menguras tenaga serta pikiran dan tidak mendatangkan laba materi. Gerakannya di kota dan cara hidupnya menciptakan ia dituduh terlalu obsesif. Dunianya membesar, sementara dunia dalam rumahnya terasa kian mengecil. Di kamar tidur ini mereka tidur berempat, sesudah istrinya melahirkan anak kedua mereka, seorang bayi laki-laki.
Di kamar tidur ini pula ia kini berdiri, dengan mata basah. Ia merasa letih. Letih atas cara hidup yang dipilihnya, ulang-alik dari dua dunia yang menyerupai tak punya hubungan. Bahkan untuk hancur di jalan yang telah dipilihnya ternyata bukan kasus mudah. Ketika ia pejamkan mata, sebuah tangga yang demikian tinggi hingga ujungnya tidak nampak, terpampang di hadapannya. Ia ingin menaiki tangga itu, tapi seutas bunyi mengusiknya. Ia usap lagi matanya ketika istrinya masuk dan bertanya pada putrinya, “Mana bapakmu?” “Tidur,” jawab putrinya, rupanya putrinya menyangka ia sudah tidur. Buru-buru ia rebahkan tubuhnya di kasur, akal-akalan tidur, sejenak ia lihat ponselnya berkedip-kedip, sebuah pesan masuk, “Kapan kita kumpul lagi?”
Ia pejamkan mata, tangga itu tak ada lagi di sana. (*)
Kiki Sulistyo lahir di Kota Ampenan, Lombok, 16 Januari 1978. Menulis puisi dan cerpen. Kumpulan puisinya antara lain, Penangkar Bekisar, masuk dalam long list Kusala Sastra Khatulistiwa 2015.