Tambang Bisul | Cerpen Hary B. Kori'un
“Apa yang terjadi, Tuan?” tanya salah satu anak.
Tuan Tukang Koba itu menghela napas dalam-dalam. Beberapa ketika beliau terdiam, pandangannya tajam, tetapi kosong tanpa arah. Seperti menyimpan sesuatu.
“Semua rig itu mengeluarkan jerawat dan dialirkan ke semua pipa yang bermuara ke penampungan di tepi maritim itu…”
“Minyak tanah?” tanya seorang anak lainnya.
“Kan tambang minyak memang mengeluarkan minyak tanah, Tuan?” kata anak yang lain lagi.
Tuan Tukang Koba kembali menghela napas dalam-dalam. Selain pandangannya tetap kosong ke arah entah, kali ini giginya juga bergemerutuk. “Nanah!”
“Nanah???” hampir serentak bawah umur di sanggar dongeng itu berucap.
“Kok bisa, Tuan? Bukankah dalam buku pelajaran sekolah kami tambang minyak tanah seharusnya mengeluarkan minyak tanah, tambang kerikil bara mengeluarkan kerikil bara, tambang timah mengeluarkan timah…”
“Dengarkan saya!” terdengar bunyi Tuan Tukang Koba yang ibarat gelegar petir di indera pendengaran bawah umur itu. Seketika mereka terdiam. Ketakutan. Menyadari itu, Tuan Tukang Koba berusaha tersenyum. Berusaha senyumnya dimanis-maniskan…
“Begini…” beliau menghela napas dalam-dalam. “Sebentar lagi saya ceritakan. Tapi kalian tak usah ketakutan, ya. Ayo semuanya senyum…”
*****
Ini dongeng wacana si Mahdi, sekian puluh tahun yang lalu.
Mahdi bukan anak seorang dukun, cenayang, atau semua kata yang sejenis dengan itu. Dia anak Mahruz, yang tinggal tak jauh dari ceruk sungai, tempat hampir 40-an kepala keluarga bermukim di sana. Hampir semuanya bertani atau berkebun. Pohon-pohon getah berejejer tak teratur, yang menjadi sumber mata pencaharian mereka. Setiap pagi hingga sore, mereka menakik getah. Setelah itu, getah yang sudah membeku—mereka menyebutnya ojol—dan terkumpul dibeli oleh seorang tauke yang membawanya ke kota lewat sungai.
Selain itu, ada yang menanami tanah mereka dengan sayur-sayuran. Jika akhirnya banyak, ada pedagang pengumpul dari dusun lain yang tiba dan membelinya untuk dijual ke kota, juga dengan bahtera lewat sungai.
Tidak hanya bertani dan berkebun, ada juga yang setiap hari menentukan mencari ikan di sungai. Mereka memancing ikan-ikan besar yang kemudian juga dibawa ke kota oleh pedagang pengumpul jikalau jumlah yang didapat banyak. Biasanya, pedagang pengumpul itu tiba pagi-pagi ketika para pemancing pulang. Hasil pancingan itu dimasukkan dalam sebuah kotak besar di sebuah perahu. Setelah itu, di atasnya diberi balok-balok es yang memang sudah dipersiapkan oleh si pedagang pengumpul. Ikan lomek, tapah, baung, selais, toman, dan banyak jenisnya lagi berharga mahal di kota, ibarat Duri atau Pekanbaru.
Abah Mahdi, Mahruz, punya kebun getah yang, meskipun tak luas, cukup untuk menghidupi Mahdi dan ibunya, Siti Muftah. Kadang-kadang Mahruz pergi mencari ikan di malam hari. Jika besoknya hari libur sekolah, Mahdi sering diajak. Senang sekali hati Mahdi. Meski tak sanggup banyak, beliau bisa ikut memancing dan yang sering memakan umpannya ialah ikan-ikan penuh duri, ibarat ikan juaro.
“Mata pancingmu harus yang kecil semoga ikan kecil juga yang memakannya. Kalau pakai mata pancing besar, mike nanti tak bisa menahan ikan besar. Bisa-bisa mike tercebur dalam sungai,” kata abahnya, suatu kali.
Mahdi mengiyakan dan senang sekali bisa selalu ikut abahnya memancing meski hanya seminggu sekali. Bahagia sekali anak kelas 4 SD ini. Kadang beberapa teman sebayanya juga diajak abah masing-masing untuk naik bahtera dan ikut memancing di malam hari.
Mahdi ingat ketika itu, semuanya sangat menyenangkan bagi kehidupan beliau dan keluarganya, juga hampir seluruh warga di ceruk sungai itu. Namun, entah kapan mulainya, kebahagiaan itu terenggut darinya.
Awalnya, di sebuah siang yang terik, tiba rombongan orang kota ke kampung mereka. Katanya mereka insinyur, entah mahir geologi atau mahir perminyakan. Mereka mengadakan penelitian di kampung itu. Setelah beberapa hari mereka kembali ke kota. Namun, beberapa pekan sesudah itu, rombongan yang lebih besar, termasuk camat, tiba lagi. Ada beberapa tentara berbaju loreng. Kelihatan ada senjata yang melekat di pinggang mereka.
Mereka menyampaikan kampung di ceruk sungai itu mengandung energi yang diharapkan untuk kesejahteraan masyarakat banyak. Ada minyak di perut kampung itu.
“Sebagai warga negara yang taat kepada pemerintah, maka kita harus maklum. Masyarakat harus pindah alasannya ialah daerah ini akan dikuasai negara untuk kepentingan bersama. Akan dibangun kilang minyak di sini. Nanti pemerintah akan mencarikan tempat gres untuk seluruh warga. Percayalah, pemerintah tak akan menyengsarakan rakyatnya. Pembangunan kilang ini juga dalam rangka memakmurkan rakyat…” begitu kata Pak Camat, yang diamini oleh seluruh rombongan dari kota itu.
Tak ada yang berani melawan. Penduduk kampung yang dikumpulkan di balai dusun itu hanya diam. Tak ada yang berani bicara. Sekali-kali mereka melihat pinggang beberapa tentara yang datang, dan melihat ada yang menyembul di sana.
“Lalu, ke mana si Mahdi dan penduduk kampung itu sesudah tanah mereka dijadikan kilang minyak, Tuan?” tanya salah seorang anak.
Sejenak, Tuan Tukang Kobaitu menghela napas lagi.
*****
MAHDI tak tahu penyebab mengapa kemudian ayahnya ibarat orang linglung. Sudah setahun lebih mereka tinggal di seberang sungai, berseberangan dengan kampungnya yang kini sudah mulai terlihat pipa-pipa angguk dan ratusan pekerja tambang yang hilir-mudik. Mahdi dan keluarganya, juga penduduk kampung lainnya, harus membuka lahan baru, hutan baru, menjadi perkampungan. Mereka diberi uang ganti rugi oleh pemerintah atau perusahaan minyak itu untuk jadi modal hingga mereka berdikari lagi.
Awalnya, mereka memang bisa hidup tidak mengecewakan lezat ketika uangnya masih ada. Namun itu hanya dalam hitungan beberapa bulan. Setelah itu, mereka resah alasannya ialah tak mempunyai kebun karet. Hasil menanam sayur-sayuran cukup untuk dimakan sendiri. Mereka memang masih mencari ikan di sungai, namun akhirnya juga tak seberapa. Lama-lama, banyak penduduk di kampung gres itu yang menghilang. Katanya mereka banyak yang keluar, pergi entah ke mana.
Mahruz dan keluarganya tetap bertahan di kampung itu bersama sekitar lima atau enam kepala keluarga lainnya. Namun, suatu hari, Mahdi tak melihat emaknya berada di rumah. Dia tanyakan ke abahnya. Hanya gelengan kepala yang didapatkannya. Besoknya, beliau bertanya lagi, kali ini gelengan kepala berkali-kali yang didapatkannya dari abahnya. Beberapa hari kemudian, ketika beliau tanya lagi, abahnya sudah ibarat orang linglung. Tak menggeleng, tatapannya kosong ke arah yang tak terang dengan kepala teleng. Dia tanya ke tetangganya, ada apa dengan abahnya. Mereka menjawab kalau abahnya sudah hilang ingatan.
“Emakmu kepincut dengan pegawai tambang di seberang sana. Emakmu tak tahan hidup susah ibarat kita ini…” kata tetangganya.
Mahdi menangis meraung-raung mendengar itu. Dia kemudian berlari ke arah dermaga kecil, melepas bahtera kecil dari tambatannya, dan mengayuh bahtera itu ke seberang. Sesampai di seberang, beliau berlari lagi ke arah para pekerja tambang yang hampir semuanya belepotan minyak dan oli berwarna hitam yang melekat di baju kerja mereka yang berwarna jingga.
“Mana emakku? Mana emakku? Di mana kalian sembunyikan emakku?”
Suara lengkingan Mahdi menciptakan para pekerja tambang itu berhenti sejenak, namun mereka tetap melanjutkan pekerjaannya alasannya ialah mata bor sedang menghujam ke perut bumi dan tak bisa ditinggalkan hanya untuk mengurus anak kecil yang sedang mencari emaknya.
“Di mana kalian sembunyikan emakku? Di mana emakku? Kalian apakan emakku?”
Mahdi kemudian meneriakkan hal yang sama ke para pekerja lainnya di kelompok yang lain. Namun tak ada yang menggubrisnya. Lama-lama beliau letih dan terduduk sambil menangis tersedu-sedu menyebut emaknya. Tapi, tetap tak ada yang menggubrisnya.
Dalam tangisnya yang mulai pelan alasannya ialah sedu-sedan, terdengar lirih ucapannya… “Kalau kalian tak kembalikan emakku, minyak kalian akan berubah jadi darah dan nanah. Kalian telah menambang darah dan jerawat kami…”
*****
PETIR menyambar-nyambar, langit menjadi hitam, dan hujan turun sangat deras ketika Mahdi beringsut dari tempatnya terduduk sambil bersedu-sedan tadi. Dia berjalan menembus hujan deras yang disertai petir dan angin itu, ke arah sungai. Dia buka tali penambat perahu. Dia kayuh perahunya perlahan ke arah timur, mengikuti aliran air. Para pekerja tambang hanya sejenak menjeling ke arah anak umur sepuluh tahunan itu. Hanya sejenak, kemudian mereka sibuk lagi dengan pekerjaan yang tak bisa ditinggalkannya meski hujan deras mengguyur mereka.
Dalam diamnya, Mahdi tetap mengayuh pelan perahunya yang dibawa arus air yang tak deras itu. Dia tak tahu mau ke mana, tetapi beliau tahu tujuannya. Dia ingin menuju ke titik kegelapan…
*****
WAKTU sirene itu terdengar di indera pendengaran mereka, beberapa lelaki yang sedang istirahat di bedeng-bedeng darurat itu pribadi berlarian ke arah rig. “Ada yang bocor,” kata salah satu dari mereka.
“Iya, ada pipa yang bocor,” kata yang lain.
“Tetapi, kenapa baunya ibarat ini? Bukan basi minyak?” kata seorang yang berbadan agak tinggi dan gempal.
“Iya, ibarat basi jerawat atau darah yang membusuk,” ujar seorang yang gres sampai.
Kemudian, enam lelaki berpakaian lapangan warna jingga itu menyidik pipa, mulai dari beberapa sekrup hingga gerakan pipa angguk yang melambat. Terlihat ada lelehan yang merembes dari sekrup yang mengendur. Terlihat berwarna kuning. Mereka kira itu vaselin pelumas gres yang memang biasanya berwarna kuning. Salah seorang dari mereka mencoleknya dan didekatkan ke hidung. Spontan beliau meringis.
“Nanah! Ini nanah!”
“Nanah???” teriak yang lainnya berbarengan.
“Iya, ini nanah.”
“Rig ini menarik jerawat dari perut bumi?”
“Entahlah. Tapi ini nanah, bukan minyak atau oli…”
Salah seorang dari mereka kemudian berlari ke pipa angguk yang jaraknya sekitar lima puluh meter dari rig sebelumnya. Dia kemudian berteriak. “Di sini juga terlihat rembesan nanah!”
Di semua rig itu, para pekerja berteriak sama bahwa yang dipompa keluar oleh pompa angguk itu bukan minyak, tapi jerawat yang sangat basi baunya dan menciptakan seluruh isi perut mereka nyaris keluar. Namun, lama-lama, meski telah menutup verbal dan hidungnya dengan sapu tangan atau alat epilog lainnya, mereka tetap tak bisa menahan basi bau jerawat yang luar biasa itu masuk ke dalam hidungnya. Hampir semua pekerja tambang itu muntah-muntah…
*****
“DARI mana asal jerawat itu, Tuan? Bukankah seharusnya minyak yang keluar dari pipa angguk itu?”
Tuan Tukang Koba itu melihat wajah bawah umur yang masih polos itu. Kemudian beliau tersenyum. “Entahlah, saya juga tak tahu…”
“Lalu, ke mana Mahdi pergi dengan perahunya itu Tuan? Dan beliau kini di mana? Bagaimana nasibnya?”
Sejenak, Tuan Tukang Koba itu terdiam. Kemudian, “Mahdi pergi berkelana sesuka hatinya hingga kini. Dendamnya membuatnya bekerjasama dengan segala kegelapan. Lidahnya jadi pahit. Apa yang beliau katakan jadi kenyataan. Dia kini pergi dari satu tempat ke tempat lainnya. Dia masuk ke pelosok kampung dan kota-kota, dan di setiap kerumunan orang, beliau berhenti dan membuatkan cerita. Dia jadi tukang cerita… jadi tukang koba…”
“Seperti Tuan?”tanya salah seorang anak.
Sejenak, lelaki itu, Tuan Tukang Koba itu, terdiam. Kemudian, “Iya…” katanya dengan bunyi berat. “Seperti saya, jadi tukang koba…”. (*)
HARY B. KORI’UN ialah wartawan di sebuah media di Pekanbaru, Riau. Sejak 1992, ia berguru menulis cerpen, yang dimuat di beberapa media dan buku antologi bersama ataupun pribadi. Buku kumpulan cerpennya ialah Tunggu Aku di Sungai Duku (2012). Selain menulis cerpen, beliau menulis novel. Novelnya yang sudah terbit berjudul Luka Tanah (2014)