Kambing Yang Jatuh Dari Langit | Cerpen Anas S Malo


GEMA takbir tahun kemudian masih tersisa dalam benakku. Ya, mengapa waktu cepat sekali berputar? Aku takut, kalau ajal lebih dulu melakukan tugasnya, mencabut nyawa Mak sebelum ia sanggup berkurban.

Hampir seminggu menjelang Hari Raya Kurban, Mak terbaring di ranjang. Tubuhnya kurus kering, sesekali batuk menciptakan bergetar seluruh tubuhnya. Tangannya menahan dadanya sendiri tampak amat sakit. Dari mulutnya, mengeluarkan darah. Aku bergegas mendekat, membawa botol kapsul yang masih beberapa biji dan air minum. Aku memijat pundaknya.

“Minum dulu obatnya Mak,” ucapku. Aku menyongsong Mak, kemudian memperlihatkan segelas air putih dan kapsul berwarna merah dan putih. Ia menelan obat itu. Mak merasa lega sejenak. Ia melempar senyum kepadaku. Mak menatap ke balik kelambu jendela. Dilihatnya pohon beringin di samping rumah. Tatapannya kosong. Aku sanggup melihatnya. Wajahnya sayu. Sesekali batuk kecil. Ia berdiri dari ranjang, bersusah payah untuk berdiri dengan segenap tenaganya, berjalan gontai menuju jendela.

Mak kembali tersenyum. Senyumnya masam selalu meneduhkan, menggambarkan sebuah rasa syukur yang tak terhitung. Di sela-sela senyumnya, ia mengucapkan, Hamdalah beberapa kali. “Kenapa Mak senyum?” tanyaku.

“Tidak ada apa-apa, Mak hanya bersyukur masih diperkenankan untuk hidup hingga pada hari menjelang Hari Raya Kurban. Mak juga bersyukur punya anak pria sepertimu, alasannya yakni di luar sana, jarang anak masih sibuk merawat orangtuanya. Terima kasih, Nak.” Suara Mak lirih, kembali tersenyum lembut.

Hampir satu windu Mak diurapi dengan penyakit TBC. Penyakitnya tak kunjung hilang dari tumbuhnya. Idul Adha tahun kemudian Mak sudah tidak sanggup tiba ke masjid. Tahun ini, kalau melihat kondisi Mak yang semakin memperhatikan, kemungkinan besar ia tidak sanggup kembali berjamaah Salat Id, mengumandangkan takbir di masjid. Hanya sanggup melihat dari jendela lama para tetangga berangkat ke masjid, dan hanya sanggup melihat dari kejauhan beberapa warga menuntun kambing untuk diserahkan ke panitia kurban. Kambing saling mengembik. Mak tidak sanggup menyaksikan kemeriahan Hari Raya Kurban. Mak tidak sanggup menyaksikan binatang itu disembelih.

Setiap Hari Raya Kurban, panitia membagikan daging kurban pada warga. Mak selalu mendapat bagian. Ia menyuruh adik perempuanku untuk memasaknya. Biasanya adikku memasak daging itu menjadi dua bagian, dimasak kuah dan dijadikan abon. Mak selalu menyuruh adikku untuk membagikan dengan tetangga terdekat, meski sudah ada jatah masing-masing. Di luar Hari Raya Kurban, Mak tetap membagikan makanan ke tetangga, ketika ada program selamatan atau syukuran.

“Kenapa Mak selalu membagi-bagikan makanan kepada tetangga?” ucap adikku yang paling bungsu.

“Berbagi kepada orang lain itu tak akan menciptakan kita kekurangan, yang ada hanyalah berkah. Tidak mungkin kebahagiaan itu tercipta kalau kita tidak membagikan kepada orang lain,” ucap Mak.

“Mak masih ingat betul apa yang dikatakan Kyai Gofur beberapa tahun silam, ketika ada pengajian khitanan anak tetangga. Kyai Gofur menyampaikan kalau sedekah yang kita berikan kepada orang lain, kalau diniatkan untuk sesuatu hajat, Insya Allah akan dikabulkan. Selain itu, kalau kita mengharap untuk kepentingan akhirat, kita juga akan mendapatkannya,” lanjut Mak.

Mak sudah lama menginginkan untuk sanggup berkurban di Hari Raya Kurban dan berangkat haji. Impian itu masih tetap kukuh dalam benaknya, tetapi harapan itu belum terpenuhi. Setelah Bapak meninggal, Mak menjadi tulang punggung dan sehabis Mak sering jatuh sakit, akulah yang menjadi tulang punggung dari dua adikku dan Mak, sedangkan saya hanya kuli bangun dan penulis dongeng pendek.

Beberapa kali, saya menyisihkan uang untuk biaya kawin tetapi selalu ada kebutuhan mendadak. Seminggu yang kemudian untuk menebus obat Mak. Selain itu, adikku bungsu waktunya masuk sekolah. Dengan sangat terpaksa saya memecah celenganku.

*****

Tahun ini, kesehatan Mak semakin menyusut. Tubuhnya semakin tampak sayu, tubuhnya semakin renta. Dalam seminggu sudah tiga kali periksa ke puskesmas tetap saja tak ada pada perubahan. Ia sering melamun, ibarat ada yang dipikirkan. Tatapannya dalam menuju jendela yang terbuka. Tempias sinar mentari menembus dinding kayu yang berlubang.

Aku sudah berjanji akan membelikan kambing kurban untuk Mak. Aku mulai menabung sedikit demi sedikit. Hasil kerja serabutan kusisihkan. Dari mulai hasil dari menjadi kuli, tukang pijat hingga jadi penulis dongeng pendek. Tetapi belum cukup untuk membeli kambing kurban, sedangkan Hari Raya Kurban tinggal beberapa hari lagi. Aku bekerja siang malam untuk menutupi kekurangan membeli kambing kurban. Biasanya siang saya bekerja sebagai kuli bangunan, sedangkan kalau malam, saya membuka jasa pijat. Kalau pun tidak ada yang membutuhkan jasa pijat, biasanya saya menulis dongeng pendek.

Kutengok dari balik pintu, Mak masih terbaring mengenakan mukena dengan mata terpejam menggenggam tasbih berwarna hitam. Aku merasa kasihan dengan Mak, diusianya yang menginjak hampir 66 tahun, melihat saya masih membujang. Padahal teman-teman sebayaku hampir semua sudah berkeluarga dan punya pekerjaan tetap. Sebagai anak sulung, seharusnya, saya menjadi pujian bagi Mak dan kedua adikku.

Mak punya dua harapan yang hingga ketika ini belum terwujud, yaitu berangkat ke tanah suci dan berkurban di Hari Raya Idul Adha. Setidaknya untuk harapan yang kedua saya berusaha mewujudkannya. Aku memberanikan diri untuk pergi ke pasar kambing dengan uang terbatas. Dari daerah demi daerah saya datangi, mengelilingi pasar kambing, tetapi saya hanya dijadikan materi tertawaan. Menjadi materi olok-olokan para makelar kambing. Memang untuk mencari kambing yang sudah layak untuk dijadikan sebagai binatang kurban sangat sulit dengan hanya uang 600 ribu.

Aku selalu berharap ada penjual kambing yang berbaik hati memperlihatkan kambingnya dengan uang 600 ribu. Tetapi, tampaknya sangat sulit menemukan orang ibarat itu. Hampir di semua daerah saya datangi dan ibarat itu adanya, penjual kambing selalu menertawakanku.

“Uang 600 ribu mau membeli kambing kurban? Memangnya kambing Mbahmu?” ucap penjual kambing.

Aku di ambang putus asa. Aku hanya sanggup menundukkan kepala, duduk di depan tenda yang berisi berpuluh-puluh ekor kambing. Aku bangkit, melangkah pulang. Aku berjalan terbayang wajah Mak. “Apa yang harus saya lakukan dengan uang Rp 600 ribu?” gumamku.

“Jika saya menabung kembali uang ini, apakah saya sanggup menahan biar tidak dibentuk kebutuhan yang lain? Apakah Mak masih hidup kalau harus menunggu Hari Raya Kurban tahun berikutnya,” pikirku. Mungkin membelikan kambing kurban untuk Mak yakni undangan yang masuk logika daripada undangan memberangkatkan haji Mak.

Sepanjang jalan, saya melawati tenda-tenda kambing. Suara-suara riuh embikan kambing menciptakan wajah Mak semakin jelas. Aku tidak tahu, balasan yang harus saya katakan kalau seandainya ia bertanya ketika saya pulang? Dengan terpaksa, saya pulang dengan wajah kusut, lelah, lelah badan, lelah pikir.

Kulihat, Mak menuntun kambing di halaman rumah. Kambing itu gemuk dan besar. Terlihat sangat prima. Mak terlihat tidak ibarat orang yang sakit, bahkan ia memberi makan kambing itu. Wajah Mak sumringah. Aku bergegas menuju ke arah Mak.

“Kambingnya gemuk sekali,” ucap Mak.

“Kambing siapa itu, Mak?” tanyaku. Mak terdiam sejenak, ibarat tidak percaya saya menanyakan hal itu.

“Bukankah tadi kamu yang bilang kalau kamu yang membeli kambing di pasar? Lalu kamu ingin, Mak menuntun kambing ini keluar sehabis Mak salat Zuhur? Kau membelinya dengan harga 1,4 juta, bukankah ibarat itu?” tanya Mak terheran. Aku tercenung, seolah tak percaya.

“Tidak, Mak. Tadi saya gagal mendapat kambing kurban. Semua makelar kambing menertawakanku lantaran uangnya tidak cukup. Aku sempat bingung, kalau Mak menanyakan kambing yang akan dipakai untuk kurban, sedangkan saya hanya punya uang 600 ribu,” jawabku gugup.

“Siapa lelaki yang memperlihatkan kambing itu, Mak?” lanjutku, tak percaya.

“Lelaki itu persis denganmu. Mak tidak berbohong. Mak masih sadar ketika kamu masuk ke dalam rumah sambil menuntun kambing ini. Mak tidak mengigau,” jawab Mak memastikan.

“Ternyata Allah telah memperlihatkan kebesarannya dengan mengirimkan kambing ini untuk Mak,” tutur Mak, air matanya berkaca-kaca, kemudian sujud syukur.

*****

Takbir berkumandang. Aku dan Mak berangkat ke masjid. Tanganku menuntun kambing yang akan diserahkan ke panitia kurban. Sesekali kambing itu mengembik. Para warga sudah masuk ke dalam masjid, sebagian ada yang di serambi. Pelaksanaan Salat Id berjalan dengan khusyuk. Setelah Salat Id usai, beberapa warga duduk bersila di serambi. Panitia kurban berkumpul di teras masjid. Panitia kurban sibuk menjegal sapi, sedangkan panitia yang lain sibuk menyembelih kambing. Kulihat Mak dari serambi melihat kambing terakhir disembelih. Itu kambing Mak. Wajah Mak berseri-seri. (*)


Anas S Malo aktif di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY) dan sejumlah karyanya telah diterbitkan di media massa.

Artikel Terkait

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel