Sepotong Tulang Dengan Daging Kering Yang Melekat Disisinya | Cerpen Supartika


Kau tahu? Waktu itu, anak itu masih sangat kecil. Belum bisa bilang mama papa, dan seharusnya gres bisa bilang “abaabaaba” walaupun sepanjang saya di sana ia tak pernah mengeluarkan bunyi atau lebih tepatnya suaranya tak mau keluar. Jika kamu berada disana waktu itu, maka kamu akan menemukan ia yang kurus kering dan mengap-mengap dipangkuan ibunya tanpa ada bunyi yang keluar sedikit pun dari mulutnya.

Ya, ibunya dengan pandangan mata sayu duduk diatas kerikil disamping pintu masuk gubuknya yang nyaris tak berbentuk daerah tinggal insan sambil memangku anak itu. Dinding gubuk yang terbuat dari bambu yang dibelah telah berlubang di sana-sini. Bahkan dari lubang dinding gubuknya itu, bisa masuk dengan bebas seekor anjing gemuk. Ia yang seharusnya waktu itu berbobot empat kilo lebih sebagaimana anak normal seumurannya, namun ia mungkin hanya mempunyai bobot sekilo kurang. Dan mungkin lebih ringan dari berat anak anjing yang gres lahir kemarin. Dengan kulit kehitaman, tangannya layu, bola mata yang seakan keluar dari daerah semestinya, tubuh yang bagaikan tulang terbungkus kulit, dan kebesaran kepala. Apalagi bisa berjalan atau berlari, untuk duduk atau merangkak saja ia tak akan bisa. Aku yakin ia tak akan mampu. Tak bertenaga.

Sesekali kulihat ibunya melihat mata anaknya yang keruh dan kemerahan. Tangan ibunya yang juga sangat kurus mengelus rambut anaknya yang tipis kemerahan sebelum jadinya pandangan itu diarahkan ke sekelilingnya, dan melihat pohon-pohon yang hanya tinggal batang menghitam, tanah gersang, dan hawa panas yang luar biasa, serta di kejauhan terlihat kurang jelas asap yang mungkin ditimbulkan oleh batang pohon yang terbakar terik matahari.

Di samping ibunya, ada segelas kecil air yang warnanya tak bening lagi. Air itu sangat keruh. Lebih keruh dari air selokan yang naik ke jalan setiap banjir datang. Mulut anak itu terus saja mengap-mengap menyerupai ingin menyampaikan sesuatu tetapi tak ada bunyi yang keluar yang dibarengi dengan sedikit gerakan tangan ataupun kaki tanpa tenaga. Setiap mengap-mengap, dari mulutnya meleler air liur yang kemudian diusap oleh ibunya dengan tangan dan selanjutnya diusapkan di bajunya.

Sesekali saya juga melihat ibunya mengambil air di sampingnya. Meninggikan letak kepala anaknya kemudian mendekatkan bibir gelas itu ke ekspresi anaknya dan menyuapinya perlahan-lahan, mungkin takut jikalau anaknya hingga tersedak. Seteguk air, menciptakan ia tak mengap-mengap lagi untuk beberapa detik. Kadang-kadang tangan kurus kering ibunya juga mengambil air itu, kemudian diteguknya satu tegukan untuk ditaruh kembali di sampingnya. Terdengar bunyi “glek” ketika seteguk air itu melewati kerongkongan ibunya.

Ketika matahari sedikit condong ke barat, dari kejauhan, tampak seorang lelaki berjalan dengan tergesa-gesa mendekati gubuk itu, dengan tubuh gontai dan langkah kaki tak teratur. Setelah mendekat terlihatlah muka lelaki itu sangat kotor dengan kumis dan janggut yang tumbuh lebat tak pernah dirawat, rambut panjang acak-acakan dan penuh daki, tubuhnya kurus kering dan ceking dengan kulit menghitam terbakar matahari. Lelaki itu hanya mengenakan celana kolor robek dan kumal serta kebesaran sehingga harus diikat pada bab pinggangnya dengan tali dan beralan tanpa memakai ganjal kaki.

Di depan wanita yang memangku anaknya, lelaki itu berdiri dan mengambil sesuatu yang diselipkan pada tali kolor di pinggangnya.

“Hanya ini yang saya dapatkan hari ini.”

Lelaki itu menyodorkan sepotong tulang yang mungkin itu tulang kaki domba yang sudah mati beberapa ahad yang kemudian alasannya yakni di tulang itu masih melekat sedikit sisa daging yang mengering.

“Aku meminta pada seseorang yang saya temui di jalan. Banyak juga orang lain yang meminta bab padanya. Ada yang meminta tulang rusuknya, ada yang mematahkan kaki depannya, sampai-sampai ia hanya pulang dengan kepalanya saja. Untungnya saya sanggup bagian.”

Ibu anak itu mengambil tulang yang disodorkan padanya dan menaruhnya di atas gelas yang airnya tinggal seperempat.

“Daging kering yang masih melekat itu untuk anak kita. Nanti saya haluskan dengan batu,” sambung lelaki itu sambil mengusap keringat di mukanya dengan tangannya.

Dari percakapan mereka tahulah saya bahwa mereka suami istri.

“Dari kemarin, ia hanya saya beri air saja.”

“Kemarin saya berjalan hingga daerah yang jauh dan tidak mendapat apa pun.”

“Aku berharap kemarin kamu tiba membawa sesuatu, setidaknya untuk anak kita. Ternyata kamu tiba hari ini dengan sepotong tulang.”

Lelaki itu berjongkok di depan wanita yang memangku anak atau lebih tepatnya istrinya, kemudian mengelus rambut anaknya yang mulutnya masih mengap-mengap.

“Aku harap besok ada keajaiban untuk kita.”

“Aku juga berharap demikian.”

“Mungkin kita harus lebih banyak berdoa.”

“Doa kita tak pernah didengar.” Ucapan istrinya terdengar sinis.

Lelaki itu bangkit sesudah mengelus rambut anaknya dan melihat mulutnya yang terus mengap-mengap dan mengambil tulang yang diletakkan di atas gelas oleh istrinya.

“Setelah halus, campurlah dengan air supaya anak kita bisa menelannya dengan mudah,” pesan istrinya sebelum lelaki itu beranjak ke belakang gubuknya untuk menghaluskan daging kering yang melekat di tulang itu.

Tanpa menanggapi, lelaki itu melangkah ke belakang gubuknya membawa tulang itu. Sesaat kemudian terdengar bunyi dua kerikil beradu dari belakang gubuknya.

Istri lelaki itu atau ibu dari anak itu beranjak dari daerah duduknya mencoba untuk menidurkan anaknya sambil menunggu lelaki itu selesai menghaluskan sisa daging kering yang melekat pada tulang. Ia menggoyang-goyangkan tubuh anaknya dan berharap anak itu bisa terlelap. Namun ekspresi anak itu tetap saja mengap-mengap dan matanya yang keruh dan merah tak mau terpejam.

Ibu anak itu sedikit berjongkok, kemudian mengambil air yang masih tersisa seperempat gelas kecil. Dengan hati-hati ia mengangkat kepala anaknya lebih tinggi kemudian mendekatkan gelas itu ke mulutnya. Dan kamu tahu? Air yang diminumkan oleh ibunya ke anak itu tak mau ditelan anak itu. Airnya kembali keluar berleleran bercampur dengan air liurnya. Ibunya dengan sedikit cekatan membalikkan posisi tubuh anaknya sehingga mulutnya menghadap ke bawah. Kemudian ia mendekatkan gelas itu di depan ekspresi anak itu sehingga airnya kembali jatuh ke gelas.

Beberapa kali, ibu anak itu kembali menyuapi anaknya dengan air. Namun, tetap saja air itu tak ditelan oleh anak itu walaupun hanya setetes. Seperti sebelum nya, air itu berleleran keluar mulutnya bercampur air liurya. Gelas yang berisi air itu kemudian ditaruhnya kembali di atas kerikil tempatnya duduk tadi. Kembali ia menggoyang-goyangkan tubuh anaknya sambil menepuk halus pantat anaknya yang hanya tersisa tulang terbungkus kulit dan berharap anaknya bisa terlelap. Sementara di belakang gubuk, bunyi dua kerikil yang beradu masih saja terdengar.

“Apakah sudah halus?” Dengan bunyi lemah ibu anak itu atau istri lelaki itu bertanya pada lelaki itu.

“Tunggulah sebentar lagi. Sekalian saya haluskan juga tulangnya.”

Ibu anak itu duduk kembali di atas kerikil sesudah memindahkan gelas yang tadi diletakkannya di atas kerikil ke samping batu. Sementara ekspresi anak itu terus saja mengap-mengap. Kadang-kadang terlihat tangannya menggeliat lemah.

“Tunggulah sebentar. Tunggu ayahmu selesai menghaluskan tulang,” bisik wanita itu di bersahabat indera pendengaran anaknya sambil mengelus rambut anaknya.

Anak itu tak mengangguk atau menggeleng, namun tetap saja mengap-mengap dengan air liur yang berleleran semakin banyak. Kali ini ibunya tak mengusap lagi air liur anaknya dan membiarkannya berleleran hingga mengenai bajunya. Sambil masih tetap menggoyang-goyangkan dan menepuk halus pantat anaknya, ia menyandarkan kepalanya di dinding gubuk. Dari mulutnya terdengar kurang jelas nyanyian yang mungkin dulu sering dinyanyikan orangtuanya ketika menidurkannya.

“Tunggu lagi sebentar, tinggal mencampurnya dengan air,” lelaki itu lewat di sampingnya dengan membawa tempurung kelapa yang berisi debu putih yang berasal dari tulang yang sudah dihaluskan dan menuju ke dalam gubuk. Terdengar bunyi dasar gentong, daerah air, ketika lelaki itu menyendok air.

“Tak ada air yang tersisa di sini!”

“Pakailah sisa air ini.”

Lelaki itu keluar gubuk dan mengambil sisa air dalam gelas yang disodorkan istrinya. Lelaki itu menuangkan semua sisa air itu ke dalam tempurung kelapa yang berisi tulang yang telah menjadi bubuk.

“Air ini tidak cukup.”

“Sudahlah, tidak ada sisa air lagi.”

Dengan pasrah lelaki itu menaruh gelas ke dalam gubuk dan keluar sambil mengaduk tulang yang sudah menjadi debu dan dicampur sedikit air dengan telunjuknya. Sekilas terlihat menyerupai campuran tepung alasannya yakni tulang itu benar-benar dihancurkan hingga halus dengan batu, dan lebih tepatnya menyerupai campuran tepung kekurangan air. Setelah dirasa rata, lelaki itu menghentikan gerakan telunjuknya dan mengangkat telunjuknya dari dalam adonan. Terlihat banyak debu tulang yang melekat di telunjuknya.

“Cicipilah dahulu,” pinta lelaki itu pada istrinya sambil mendekatkan telunjuknya yang berisi debu tulang itu ke ekspresi istrinya.

“Kau saja yang mencicipinya duluan.”

“Aku tahu kamu sangat lapar, kamu sajalah yang mencicipinya duluan. Setelah itu gres untuk anak kita. Aku belakangan saja.”

Aku melihat ada sedikit senyum yang mengembang di bibir istrinya. Ia menjilati telunjuk lelaki itu atau lebih tepatnya suaminya yang berisi debu tulang.

“Bagaimana? Enak?”

Istrinya mengangguk. Lelaki itu tersenyum.

“Bangunkanlah anak kita. Aku rasa ia akan menyukainya, menyerupai juga kamu yang menyukainya.”

Istrinya menoleh ke wajah anaknya dan mendapati anaknya tertidur dengan ekspresi terbuka dan bekas air liurnya telah mengering. Ditepuknya dengan halus pipi anaknya untuk membangunkannya. Anak itu bergeming. Kemudian digoyang-goyangkannya tubuh anak itu. Anak itu juga bergeming. Digoyangkannya dengan lebih keras, anak itu juga tetap bergeming.

Lelaki itu lantas berjongkok di samping istrinya. Didekatkannya telunjuknya ke lubang hidung anaknya. Lelaki itu terdiam, sementara istrinya menunggu apa yang akan dikatakan suaminya sesudah mendekatkan telunjuknya ke lubang hidung anaknya.

Itulah hal yang ingin saya ceritakan padamu dan demi Tuhan penguasa bumi dan langit, sedikit pun tak terpikirkan olehku untuk menolongnya.

Artikel Terkait

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel