Sarung Untuk Bapak | Cerpen Arie Fajar Rofian


Pesawat yang Rusli tumpangi mengudara, melesat dengan kecepatan yang sama menyerupai degup jantungnya. Ini ialah kepulangan pertama Rusli sehabis dua Idulfitri berturut-turut dilewatinya di negeri orang. Bukan Rusli tidak rindu akan kampung halaman, hanya kewajibannya sebagai buruh pabrik di Korea tidak sanggup ditinggalkan begitu saja alasannya satu-dua alasan yang sukar ia jelaskan. Maka, kepulangan ini disambutnya antusias yang bercampur gugup.

Tangan Rusli saling mengusap-usap, kemudian ditempelkan ke pipinya yang terasa dingin. Di perhatikannya keadaan sekeliling, mengamati wajah para penumpang yang sebagian merupakan orang Indonesia yang seprofesi dengannya. Wajah-wajah yang memendam kerindunan, wajah-wajah yang menyadari makna kata pulang.

Sesekali ia melirik ke jendela, entah menatap barisan awan putih atau sekadar mendapati pantulan dirinya yang tampak samar-samar. Terkadang jendela yang sama juga merefleksikan kelebat bayangan masa lalu. Helaan napas panjang mengawali ritual Rusli akan kenangan-kenangan yang terlintas.

Rusli menerka-nerka bagaimana reaksi warga kampung mengenai kepulangannya. Masih menempel di ingatan Rusli bahwa keputusannya meninggalkan kampung halaman tiga tahun kemudian demi merantau ke luar negeri berbuah cibiran orang-orang. Dalam pikiran warga kampung, TKI selalu identik dengan babu atau jongos, profesi rendahan yang sanggup mencoreng nama baik kampung itu.

Pikiran warga kampung tidak salah, kenyataan berkata demikian. TKI memang tak jauh-jauh dari pekerjaan bernafsu macam jongos. Tapi, juga tak ada yang salah hanya alasannya menjadi seorang TKI. Toh, itu merupakan pekerjaan halal dan tidak merugikan siapa-siapa, jauh lebih baik ketimbang menganggur dan menjadi parasit bagi keluarga.

Rusli bukan tidak tahu, banyak teman-teman seusianya yang pergi ke kota mencari penghidupan layak dengan cara-cara yang tidak baik. Ada yang berprofesi sebagai preman pasar berkedok keamanan, pencopet di terminal, bahkan tukang minta-minta di lampu merah yang berpura-pura pincang atau buta.

Hanya saja, Rusli tak mau membela diri dengan membongkar kejelekan orang lain, terlebih jikalau itu melibatkan teman-temannya sendiri. Adalah Bapak, sosok yang meyakinkan Rusli semoga selalu berbesar hati.

“Tak usah membongkar keburukan orang lain semoga kau terlihat lebih baik di mata warga kampung. Seburuk apa pun kau di mata orang lain alasannya sebuah pilihan yang sudah diputuskan, bagi keluarga, kau ialah yang terbaik,” kata Bapak bijak diiringi wajah teduhnya.

Rusli mengangguk takzim. Beruntung ia sanggup mempunyai sosok menyerupai Bapak dalam hidupnya.

Dalam sejarah, Rusli merupakan orang pertama di kampungnya yang berprofesi sebegai TKI. Warga kampung sempat dibentuk khawatir, takut seandainya di kemudian hari banyak perjaka yang mengikuti jejak Rusli; pergi jauh meninggalkan kampung halaman hanya demi bekerja sebagai jongos.

Lebih dari itu, perilaku antipati warga kampung terhadap profesi tersebut juga dilatarbelakangi oleh maraknya gosip mengenai TKI yang disiksa majikan dan berujung kematian.

Lagipula, kalau sekadar jadi jongos, mengapa harus ke luar negeri. Padahal, di kota masih banyak lowongan pekerjaan bernafsu yang tersedia. Entah sebagai pembantu, tukang kebun, atau porter bandara. Begitulah cibiran yang terus terngiang-ngiang di indera pendengaran Rusli, hingga sekarang.

Meski kenyataannya lebih banyak perjaka kampung yang menentukan jadi preman, copet, dan tukang minta-minta, pikir Rusli.

“Jauh-jauh ke Korea cuma mau jadi jongos.”

“Kamu itu dampak buruk buat anak muda lainnya. Gimana kalau nanti semua perjaka di kampung ini mau jadi TKI demi rupiah yang tidak seberapa?”

“Mending di kampung, ngangon kambing!”

“Rus, Rus, ke Korea itu liburan. Ini kok jadi TKI. Kalau memang terpaksa, lebih baik jadi TKI di Arab, sekalian kau naik haji.”

“Cari mati kamu, Rus. Makara TKI itu taruhannya nyawa lho.”

Dua tahun kepergian Rusli, kerja kerasnya menunjukkan hasil. Rusli rutin mengirimi uang ke orang tuanya. Nominal yang lebih dari cukup jikalau hanya dipakai biaya hidup sehari-hari. Sisanya dipakai untuk aneka macam hal; merenovasi rumah, biaya sekolah adik wanita Rusli, bahkan membeli dua buah sepeda motor.

Rumah gubuk milik keluarga Rusli di kampung tinggal kenangan. Rumah yang sebelumnya didominasi tripleks dan bilik bambu berganti bata merah yang lebih kokoh, beratap genteng yang lebih bagus, dan berhalaman luas yang difungsikan sebagai kebun. Tak ada lagi rutinitas meletakkan panci dan bejana di lantai kamar atau ruangan lain alasannya atap yang bocor kala hujan deras.

Siapa yang tak iri atas semua pencapaian itu. Maka, cibiran-cibiran gres pun bermunculan, terdengar oleh keluarganya, dan disampaikan lagi pada Rusli dalam bentuk pesan singkat. Hal yang dikhawatirkan warga kampung jadinya terjadi juga, para perjaka mendadak ingin jadi TKI, tetapi tak ada yang menerima restu. Ironi, banyak yang iri pada hasil akhir, tetapi menolak berproses.

Rusli segera menampik suara-suara sumbang di telinganya. Kepulangannya dihentikan diisi kegelisahan menyerupai itu. Mengapa harus repot dengan cibiran orang lain, sementara orang-orang yang mencibir Rusli tidak mempunyai tanggung jawab apa-apa atas kehidupan keluarganya di kampung. Bahkan, sewaktu keluarga Rusli sedang mengalami kesusahan, tak sedikit warga kampung yang menutup mata.

Pria itu hanya ingin pulang dengan tenang, bertemu keluarganya, terlebih Bapak. Bapak yang pernah memagut tangannya ketika hendak berangkat ke Korea. Bapak yang di pagi buta membantu menyiapkan keperluan Rusli. Bapak yang rela menyelipkan tabungan terakhirnya ke saku Rusli sebagai bekal perjalanan. Bapak yang menjadi segala-galanya bagi Rusli.

Jika bukan aib alasannya ego kelelakiannya, Rusli sanggup saja mendekap badan Bapak erat-erat sesaat sebelum keberangkatannya, kemudian menangis sesenggukan. Meninggalkan keluarga dan menyeberangi samudra di usianya yang gres menginjak dua puluh tahun bukanlah masalah mudah. Apalagi mesti hidup tanpa Bapak.

“Kamu sudah dewasa. Dan orang remaja harus menghadapi hidup dengan caranya sendiri, asal tidak merugikan orang lain. Ingat itu, Rusli,” kata Bapak memberi wejangan terakhir. “Baik-baik di negeri orang, Nak. Jangan berbuat yang tidak-tidak sehingga mencoreng nama baik negeri ini.”

“Iya, Bapak. Doakan Rusli selalu berpengaruh di sana.” Mata Rusli berkaca-kaca, tinggal menunggu waktu sebelum air mata tumpah ruah.

“Selalu, Nak. Selalu ada doa di setiap hela napas Bapak untuk kamu.” Bapak menepuk-nepuk bahu Rusli, penuh kebanggaan.

Tangan Rusli melambai kuat-kuat di iringi derai air mata yang tak tertahankan, mengisyaratkan salam perpisahan yang begitu mendalam. Ia tak peduli orang-orang di sekitar memandanginya sambil menahan tawa, bahkan sebagian cekikikan kolam orang gila. Seorang lelaki remaja melaksanakan salam perpisahan menyerupai anak Taman Kanak-kanak ialah tontonan yang mungkin menggelikan, juga tak lumrah.

Bapak bukan sekadar bapak biologis bagi Rusli, tapi lebih dari itu. Pula, bukan sosok absolut yang setiap kemauannya harus dituruti anaknya. Bapak sanggup menjadi teman, sahabat, atau bahkan musuh Rusli di saat-saat tertentu. Misalnya saja masalah shalat Jumat, ibadah rutin pekanan yang kerap mereka laksanakan secara tolong-menolong ketika Rusli masih menganggur.

Menurut Bapak, pakaian wajib shalat Jumat itu terdiri atas peci, baju koko, dan sarung. Akan tetapi, hal itu tidak berlaku bagi Rusli. Rusli lebih suka mengenakan kaus dan celana panjang, tanpa peci. Yang terjadi kemudian, Rusli dan Bapak kerap berdebat sebelum berangkat menuju masjid.

“Peci?” Sebuah peci disodorkan Bapak, berbalas gelengan kepala Rusli. Bapak lantas memelototi Rusli.

“Nanti rambut Rusli sanggup acak-acakan kalau pakai peci,” kilah Rusli, menyibak rambutnya dalam adegan lambat.

Rambut Rusli ketika itu terbilang gondrong. Dan ia tidak mau tatanan rambutnya rusak alasannya mengenakan peci.

“Baju koko?”

“Panas, Pak. Enakan pakai kaus.”

“Dasar anak setan. Pakai baju koko kok kepanasan.”

“Bapaknya siapa dulu.” Rusli cengengesan, dan kepalanya pribadi dipukul memakai peci yang tadi sempat Bapak sodorkan.

“Sarung?” Bapak mulai terdengar kesal.

“Kan sarung di rumah kita cuma satu.”

Bapak mengangguk kesal, sedikit bersungut-sungut, menyadari fakta bahwa mereka hanya mempunyai sebuah sarung di rumah. Disentuh dan diperhatikannya sarung semata wayangnya itu. Lusuh dan warnanya sudah pudar.

Rusli dan Bapak lantas berjalan menuju masjid. Keduanya beriringan, bersebelahan, tetapi tak saling bicara seumpama sahabat yang sedang marahan. Bapak enggan bicara alasannya masih kesal, sementara Rusli bersikap hati-hati, khawatir jikalau nanti salah bicara kemudian kena marah. Sampai di masjid, keduanya mengambil saf berbeda. Bapak berada di saf terdepan, Rusli di saf mana saja asal tidak di sebelah Bapak yang besar kemungkinan membuatnya salah tingkah.

Sampai di sini, kelucuan keduanya belum berakhir. Terlepas siapa pun yang ke luar duluan selesai shalat Jumat, salah seorang di antara mereka niscaya menunggui di depan masjid, memastikan sandal mereka tidak hilang atau tertukar dengan jamaah lain menyerupai yang pernah dialami beberapa waktu lalu. Kemudian, mereka pulang bersama-sama, berbincang dekat sehabis Rusli mencium tangan Bapak sebagai tanda hormat.

Pekan berikutnya, siklus serupa bakal terulang. Debat, tidak bicara, berbeda saf, saling tunggu, kemudian pulang tolong-menolong dan berbincang akrab. Begitulah kekerabatan Rusli dengan Bapak. Kadang panas, kadang dingin, tak sanggup ditebak. Hingga kemudian di shalat Jumat terakhir sebelum keberangkatan Rusli ke Korea, sarung Bapak yang sudah lapuk itu tiba-tiba sobek di kepingan tengah.

Rusli merasa lucu sekaligus miris. Lucu alasannya mendapati Bapak mesti mengenakan celana panjang ke masjid, hal yang seumur hidup hampir tak pernah Bapak lakukan, dan miris alasannya Bapak tak lagi punya sarung yang layak pakai untuk sementara waktu. Ah, kenangan yang berkelebat kian menguatkan impian Rusli semoga sanggup cepat datang di rumah.

Turbulensi menyadarkan Rusli dari lamunan panjang. Ia segera mengencangkan sabuk pengaman, menunduk, lantas memeluk benda yang sedari tadi ada di pangkuannya, sebuah sarung untuk Bapak. Pelukan yang erat, seolah sarung itu sangat berharga dan pantas dijaga dengan bertaruh nyawa.

*****

Harum melati dan kamboja menyerbak di antara keramaian. Langkah Rusli hanya tertuju pada satu tujuan; Bapak yang ia rindukan, Bapak yang ingin ia peluk erat-erat dalam jangka waktu yang lama. Yang Rusli cari-cari kemudian ditemukan, dalam hati ia pun bersorak senang. Rusli bergegas, mendekati Bapak, dan tersuruk di pangkuannya.

Hanya tanah dan aroma yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.

“Rusli sudah pulang, Pak. Pulang dengan tetap menjaga nama baik negeri ini.” Kerinduan Rusli jadinya sanggup tersampaikan.

Mata Rusli mengatup dalam-dalam. Air mata Rusli telah tandas semalam sebelumnya, tak ada yang tersisa. Ia berjanji untuk tidak menangis di depan Bapak. Pertemuannya dengan Bapak terlalu berharga jikalau hanya diisi oleh tangisan. Perlahan, Rusli meletakkan sarung itu di atas kerikil nisan Bapak.

Rusli mengenakan peci, baju koko, beserta sarung. Siang itu ia berangkat shalat Jumat bersama kenangan-kenangan yang Bapak tinggalkan. (*)

Arie Fajar Rofian, pegiat sastra tinggal di Karawang, Jawa Barat.

Artikel Terkait

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel