Tulang Ikan Di Tenggorokan | Cerpen Mashdar Zainal
Di halaman rumah kami yang berpagar beluntas itu, sama-sama menganga dua buah bak yang telah usang kami manfaatkan untuk memelihara ikan. Sebelum pagar hidup itu membatasi rumah kami, Bapak dan Wak Karni ialah saudara sepupu yang cukup karib.
Suatu ketika, mereka bekerja sama hendak membuka sebuah perjuangan peternakan ikan. Bapak dan Wak Karni bergotong-royong menggali tanah di halaman rumah kami. Mereka saling membantu, semua pekerjaan dikerjakan berdua, sampai dalam hitungan pekan, dua buah kubang selebar hampir delapan meter telah menganga dan siap dimanfaatkan. Satu kubang di halaman rumah kami, dan satu kubang lagi di halaman rumah Wak Karni.
Kubang itu pun segera dialiri air dari sungai irigasi yang kebetulan mengalir melintasi halaman depan rumah kami. Bapak dan Wak Karni yang mengurusnya. Benih gurami pun disebarkan di dua bak itu, pada hari yang sama, dengan jumlah yang sama. Tiada hari bagi dua lelaki paruh baya itu kecuali berdua-duaan pada pagi hari, atau pada senja hari, mengelilingi dua bak di halaman rumah sambil mengobrol ringan dan sesekali menabur-naburkan pakan ikan ke antero kolam.
Gurami-gurami yang mereka ternakkan rupanya lebih cepat tumbuh dari yang mereka perkirakan, pada tiga bulan pertama, gurami-gurami itu telah mekar sebesar telapak tangan orang dewasa. Sesekali, Bapak atau pun Wak Karni menyerok satu dua ekor bilamana kami membutuhkan lauk. Tepat dalam jangka waktu delapan bulan, gurami-gurami itu telah melebar sebesar piring dan siap untuk dipanen. Pada panen demam isu pertama itu, Bapak dan Wak Karni mendapat hasil melimpah yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Bahkan hasil berternak gurami itu jauh lebih menguntungkan ketimbang bertanam padi yang masa panennya empat bulan sekali namun kerap dimakan wereng dan tikus itu. Bapak dan Wak Karni membagi hasil laba itu menjadi dua. Dan berencana melanjutkan peternakan yang menguntungkan itu.
*****
HINGGA pada suatu petang, Wak Karni mendatangi rumah kami dan mengajak Bapak membicarakan sesuatu. Tiba-tiba Wak Karni mengutarakan maksudnya untuk menernak gurami secara individu, sendiri-sendiri. Entahlah, alasan apa yang menjadikan Wak Karni mengutarakan keputusan ibarat itu.
“Kita sudah cukup berguru bagaimana berternak gurami, kupikir kita sudah bisa mencobanya sendiri-sendiri. Maksudku, kita akan bisa melihat seberapa kemampuan kita masing-masing, dalam mengurus bak dan ikan-ikan itu. Aku tidak mewaspadai kemampuanmu, saya hanya ingin mencoba kemampuanku sendiri, tidak apa-apa, kan? Kau tidak keberatan, kan?” kata-kata Wak Karni tampak nyanyuk dan terbata.
Bapak hanya berdeham. Tentu ia tak bisa mencegah harapan Wak Karni. Dan alhasil mereka pun berpisah. Beternak gurami sendiri-sendiri. Setelah tetapkan kerjasamanya dengan bapak, Wak Karni melebarkan kolamnya tiga kali lipat, mengingat halaman rumahnya jauh lebih luas ketimbang halaman rumah kami. Wak Karni membayar beberapa orang untuk menggali kubang gres di halaman rumahnya, mengalirinya dengan air yang sama, dan melepaskan benih-benih ikan yang sama pada hari yang sama dan dengan jumlah yang sama per kolamnya.
Waktu pun berjalan, pekan dan bulan seolah berubah menjadi menjadi ikan-ikan kecil yang terus tumbuh dan berenang-renang di dalam bak kami. Bapak dan Wak Karni sudah mulai jarang berdua-duaan lagi. Sesekali mereka masih berpapasan di halaman rumah ketika tengah memberi makan ikan-ikan itu. Mereka semakin sedikit berbicara. Bulan demi bulan pun mengantarkan kami ke masa panen. Ketika ikan-ikan itu dipanen, terjadi suatu yang mengejutkan. Entah musabab apa, gurami-gurami yang dipanen di bak Wak Karni jauh lebih kecil ketimbang gurami-gurami hasil ternakan Bapak. Hasil panen dari satu bak milik Bapak sama dengan hasil panen dua bak milik Wak Karni.
Wak Karni sempat heran dan kemudian kembali mendatangi Bapak untuk menanyakan kira-kira apa yang menciptakan panen guraminya kurang mulus. Tanpa menggurui, Bapak pun menjelentrehkan caranya beternak, caranya memberi pakan, memberi gizi embel-embel untuk ikan-ikan, mengatur fatwa air, dan sebagainya….
Pada demam isu berikutnya benih-benih gurami pun kembali diternakkan, pada waktu yang sama, dengan jumlah yang sama. Anehnya, ketika masa panen tiba, hasil panen dari satu bak milik kami nyaris sama dengan hasil dari tiga bak milik Wak Karni. Wak Karni mengalami panen yang lebih jelek dari demam isu sebelumnya.
Entah mengapa, sejak itu Wak Karni tak pernah lagi mengajak Bapak bicara. Konon, di warung-warung dan di pasar-pasar Wak Karni menebar desas-desus yang menyampaikan bahwa Bapak telah menumpahkan guna-guna ke bak Wak Karni sehingga panennya selalu gagal. Mendengar kabar itu Bapak hanya tersenyum simpul, dan merasa tak perlu menanggapinya. Hingga suatu pagi, ketika bapak hendak memberi makan ikan-ikan di bak kami, Bapak menemukan ratusan gurami yang belum siap panen itu telah membangkai dan mengapung di permukaan bak ibarat cendol. Beberapa gurami yang masih sekarat tampak menggelepar berputar-putar di antara ratusan bangkai lainnya sebelum termangu dan mengapung dengan mata mendelik ibarat layaknya mata ikan.
Bapak yakin sekali, seseorang telah menuang racun ke bak kami. Karena, jikalau air irigasi itu beracun, tentu ikan-ikan di bak Wak Karni mengalami hal yang sama. Betapa mendongkolnya hati Bapak ketika itu sampai ia nyaris menangis. Ratusan ikan itu ialah nyawa, dan mereka melayang sia-sia. Mau tak mau ratusan ikan itupun terbuang tanpa faedah.
“Aku tak tahu, siapa orang yang tega melaksanakan ini, siapa pun itu, saya telah merelakannya, biar Tuhan yang mengurus orang itu. Kedengarannya memang sangat remeh, hanya ikan-ikan, tapi ikan-ikan itu ialah nyawa yang disematkan Tuhan, insan tak bisa melaksanakan itu, maka biar Tuhan saja yang mengurus orang itu,” ujar Bapak dengan mata berkilat-kilat.
Ketika itu, orang-orang tengah berkerumun di tepian bak dengan ratusan bangkai ikan itu, dan Wak Karni juga ada di sana dan ikut mengikrarkan bela sungkawa dengan wajah tertekuk.
Bapak tak pernah menuduh Wak Karni atau siapa pun, tapi entah mengapa, jarak antara Bapak dan Wak Karni terasa semakin jauh. Setelah bencana yang menyesakkan itu, Bapak mengalami kerugian yang cukup besar sampai ia harus mengistiratkan kolamnya. Dan di belakang kami, Wak Karni kembali menebarkan desas-desus amis bahwa bencana matinya ikan-ikan di bak kami ialah eksekusi dari Tuhan untuk kami. Sebagai insan biasa, Bapak pun tak bisa terus menerus menyabarkan hatinya. Satu hal yang sangat tidak disukai Bapak dari Wak Karni adalah, ia terlalu pengecut, ia selalu menutup mulutnya rapat-rapat di hadapan kami, dan kemudian membeo keras-keras di belakang kami.
Karena tak kuasa lagi membentengi kemarahannya, suatu petang, Bapak menemui Wak Karni yang tengah memberi makan ikan-ikan di halaman rumahnya. Terjadilah langgar lisan di antara mereka. Nyaris saja dua lelaki paruh baya itu saling pukul ibarat bocah cilik yang rebutan mainan, kalau saja para tetangga tidak tiba dan memisahkan mereka.
Esok paginya, kami mendapati istri Wak Karni tengah menancapkan ranting-ranting beluntas sebagai pagar pembatas antara rumah kami. Seiring waktu, pagar beluntas itu pun kian merimbun dan menjulang sampai setinggi pinggul orang dewasa. Wak Karni pun masih meneruskan perjuangan berternak guraminya. Dan kami dengar, hasil panenan Wak Karni tak pernah sebagus hasil panenan kami. Sementara itu, Bapak masih mengistirahatkan kolamnya. Hingga suatu hari, pelanggan Bapak tiba dan menunjukkan sumbangan untuk Bapak, supaya Bapak bisa kembali memanfaatkan bak di halaman rumah yang telah usang menganggur itu.
Tepat hari itu, ketika salah satu pelanggan Bapak tiba dan bertamu ke rumah kami, kami mendengar bunyi ramai-ramai dari rumah sebelah, dari rumah Wak Karni. Sesekali kami mendengar tangisan dan jeritan. Sebagai kerabat yang cemas, sekaligus sebagai tetangga yang baik, kami pun berlari tanpa peduli, menerobos pagar beluntas yang menjulang memisahkan rumah kami. Di ruang tengah, di antara kerumunan orang-orang, kami mendapati Wak Karni tengah terbaring dengan bunyi tercekik. Wajahnya memerah dan matanya mendelik.
Kata istrinya, ketika sarapan dengan lauk lalapan gurami, beberapa jam lalu, tulang gurami tersangkut di tenggorokan Wak Karni dan tak sanggup dikeluarkan. Beberapa orang mengusulkan supaya Wak Karni lekas-lekas dibawa ke rumah sakit. Namun, sebelum badan Wak Karni yang lemas itu dibopong ke dalam mobil, Wak Karni telah menghembuskan napas terakhirnya. Istri Wak karni pingsan dan anak-anaknya menjerit tak keruan. Tak seorang pun menganggap itu masuk akal. Bagaimana mungkin setangkai tulang ikan sanggup merenggut nyawa seseorang?
Sementara itu, Bapak hanya bungkam, matanya redup namun berkilat- kilat serupa cermin retak. Mata Wak Karni yang mendelik itu mengingatkan Bapak pada mata ratusan ikan yang mengapung di kolamnya beberapa waktu silam. (*)
Mashdar Zainal, lahir di Madiun 5 juni 1984, suka membaca dan menulis puisi serta prosa, sekarang bermukim di Malang.