Bocah Yang Ingin Melihat Neraka | Cerpen Risda Nur Widia
Dipojokan kawasan pembuangan sampah, terlihat seorang bocah terpekur; menyaksikan arakan truk berwarna kuning yang setiap waktu—setiap saat, menuangkan sampah. Truk-truk itu menyerupai menuangkan air ke dalam gelas. Sampah-sampah pun bertebaran dan sigap diperebutkan oleh para pemulung. Para pemulung itu— di hadapan si bocah—seakan terseret oleh pusaran sampah yang menggunung dan menjijikan. Gancu yang mereka gunakan tampak kelaparan. Tongkat-tongkat berbentuk kail itu cepat merayap memporak-porandakan tumpukan sampah yang menumpuk.
Matahari menyingsing di atas ubun-ubun si bocah. Teriknya menciptakan si bocah letih. Dan alasannya itu si bocah menentukan beristirahat di bawah pohon bersama ayahnya—yang juga seorang pemulung—mengamati acara para pemulung lain di sentra pembuangan sampah kota.
“Kau tak makan?” Tanya ayah si bocah. “Lekas makan! Tidak setiap hari kita sanggup makan telur menyerupai ini.”
Si bocah mengawasi sudut wajah ayahnya yang sendu. Kerut waktu bersemayam di guratan air mukanya. Kulit ayahnya yang legam tampak begitu tua. Dan sosok itu terlihat semakin kumal alasannya balutan kaos partai berlubang yang dikenakan. Setelah mengamati ayahnya, si bocah menggerakkan tangannya ke aras nasi bungkus. Tetapi bocah itu tak lekas menyantap. Ia memikirkan sesuatu.
“Boleh tanya, Pak?”
“Tentang?” Ayahnya menyahut tanpa melirik.
“Sekolah itu menyerupai apa?”
Ayahnya terpekur dengan ekspresi menganga. Pria itu seakan dikagetkan dengan pertanyaan anaknya yang tak biasa. Bahkan tangan si ayah sempat terhenti di udara dan menciptakan nasi yang tergenggam tak jadi masuk ke mulut. Pria itu mengawasi anaknya, syahdan menerawang ke kejauhan dengan matanya yang merah. Pria itu memperhatikan keributan jalanan. Di sana terdengar lengking menyerupai letupan peluh yang bercampur dengan teriakan dari aneka macam kendaraan. Pria itu dari tatapannya—seakan mencari jawaban. Pria itu menghela napas kemudian memandang anaknya.
“Sekolah itu menyerupai neraka,” kata ayahnya kemudian.
“Neraka?”
“Kamu di sana hanya disiksa dengan aneka macam hal yang tidak kau suka.”
“Tetapi mengapa bawah umur yang berangkat sekolah tampak senang.”
“Itu hanya tipuan saja.”
“Tipuan menyerupai apa?”
“Mereka semua dicuci otaknya.”
“Jadi sekolah itu kawasan pembersihan otak, ya?”
“Betul!” Jawab si ayah melihat air muka lugu anaknya. “Sekolah yaitu kawasan mengerikan. Apalagi untuk orang-orang tercela menyerupai kita. Mereka mungkin akan aben kita hidup-hidup.”
“Kenapa kita tercela?”
“Karena kita hanya sampah di negeri ini. Mereka membenci kita alasannya itu dan akan membakarnya.”’
Anak itu memanggut samar. Bocah itu tidak sanggup membayangkan menyerupai apa bila dirinya masuk sekolah. Ia pun bergidik membayangkan bila dibakar menyerupai tumpukan sampah yang setiap sore dilihatnya. Namun, ada sesuatu yang masih mengganjal di benak si bocah. Karena ketika melihat ayahnya bercerita, si bocah menyerupai merasa ada yang dirahasiakan. Bocah itu tak tahu belakang layar apa itu. Pun si bocah tak berusaha mencari tahu. Ia hanya membuka bungkus makanan, lantas menyantapnya seraya mengingat senyum bocah-bocah berseragam yang dilihatnya pagi tadi—sebelum berangkat memulung.
*****
Baca Juga
Bocah itu masih merasa ingin tau dengan yang dimaksud oleh ayahnya ihwal sekolah—tempat yang berdasarkan ayahnya yaitu neraka; kawasan penyiksaan bagi orang-orang terkutuk menyerupai dirinya. Apakah benar sekolah itu yaitu neraka? Tetapi mengapa setiap pagi ketika akan berangkat untuk memulung dirinya selalu mendapati senyum merekah pada wajah bocah-bocah berseragam itu? Seandainya mereka disiksa di sekolah, niscaya hal sebaliknya terjadi. Wajah mereka tak memanggul kebahagian, tetapi kemuraman.
Rasa ingin tau itu membuncah di hati si bocah. Ia pun—pagi itu sebelum berangkat memulung—dengan sengaja membuntuti seorang anak seumuran yang akan berangkat sekolah. Ia ingin menjawab kegelisahannya itu walau hal jelek nanti terjadi. Memang ketika menguntit beberapa kali terbersit perasaan takut membayangkan sekolah. Tetapi untuk sementara ketakutannya ia buang. Menyingkirkan jauh-jauh. Karena pagi itu ia ingin melihat neraka.
*****
Sepanjang perjalanan dikala menguntit, terus saja si bocah dibayangi ihwal neraka yang diceritakan oleh ayahnya kemarin: api yang berkobar aben apa pun dan penyiksaan yang tak mengenal batas. Bocah itu—di benaknya mengabstraksikan tangisan yang menguara memilukan menyerupai derai hujan yang bertampias di atap rumahnya bila angin ribut datang. Sekali lagi badan si bocah bergidik mengartikan kalimat yang dipaparkan ayahnya kemarin.
Namun entah mengapa sepanjang jalan—ia tidak melihat kegelisahan pada garis wajah bocah yang sedang dibuntutinya. Di wajah bocah berseragam itu malah selalu menyembulkan senyum yang renyah: bahagia. Si bocah pemulung tak habis pikir ihwal kebisaan insan zaman kini yang sanggup menikmati siksaan dengan bahagia. Apakah siksaan di zaman kini terasa nikmat? Pikirnya. Si bocah pemulung dengan takzim membuntuti bocah itu hingga hingga di sekolahnya.
Ketika benar-benar sampai, si bocah pemulung terpekur menyaksikan setiap tawa yang berdengung di sudut-sudut sekolah. Di sana bawah umur terlihat bahagia. Mereka berlari-lari riang memainkan sesuatu. Selain itu juga banyak penjual makan yang acap dilihatnya berkeliling dikala memulung. Si bocah pemulung sama sekali tidak melihat neraka yang diceritakan ayahnya; tempat-tempat penyiksaan yang dikerumuni oleh pekik tangis dan kesedihan. Tetapi yang ia lihat yaitu taman bermain yang luas. Lonceng mendadak berdengung. Si bocah pemulung tergeragap.
“Pasti itu tanda dimulainya penyiksaan,” pekiknya samar. Matanya jelalatan mengitari tempat; mencari-cari sosok malaikat yang bertugas untuk menyiksa bocah-bocah itu. Tetapi si bocah pemulung tak menemukan. Ia malah menemukan sosok seorang perempuan berpakaian coklat, mengenakan sepatu hitam, dan tersenyum kepadanya. Ia berpikir: Malaikat itu telalu elok untuk menyiksa anak anak!
Setelah lonceng berbunyi, si bocah pemulung melihat anak anak itu melesat menyerupai anak panah yang dilecut. Anak-anak itu berbaris dengan tertib memasuki sebuah ruangan asing. Si bocah pemulung dengan bergetar memasuki halaman sekolah yang luas. Namun tidak menyerupai yang dibayangkan sebelumnya. Tempat yang ia kira yaitu ruangan penyiksaan bagi anak-anak, tidak ditemukannya. Tempat itu bersih. Bangku, kursi, dan papan tulis tertata rapi. Bocah pemulung itu juga melihat seorang perempuan berseragam coklat yang tak henti-hentinya membersitkan senyum kepada anak-anak.
Di mana letak neraka yang dimaksud oleh ayah? Batinnya. Pada setiap inci pandangannya tak dijumpai penyiksaan kejam. Bahkan dikala melihat di dalam suasana ruang yang ceria, ia merasa iri pada bawah umur yang duduk dengan senang di dingklik dan meja yang higienis itu. Ia ingin duduk di sana; mengacungkan jari; melontarkan pertanyaan menyerupai mereka. Ia melamun menyaksikan semua itu dari jendela. Sampai kemudian seorang bocah menyentaknya.
“Hai lihat ada pemulung di sana!” Seorang bocah menyahut. Seluruh bocah berpaling menatapnya. Si bocah pemulung pun tersipu menyerupai maling. Anak-anak itu tertawa serentak hingga perempuan berseragam coklat menenangkan.
*****
Gopah-gopoh si bocah pemulung keluar dari sekolah tersebut. Sepanjang jalan ia menekuri setiap perkataan ayahnya kemarin; ihwal neraka yang dijumpai bila ke sekolah. Tetapi neraka itu tidak ada di sana dan ia malah berpikir kalau ayahnya berbohong. Ombak masih berkecamuk di dalam benaknya. Ia bagai terombang-ambing di dalam kebingungan. Bocah itu melamun dengan wajah murung menatap langit yang mendung.
“Dari mana saja kau! Seharian kau tidak membantu mencari uang! Mau makan apa kau nanti!” Tegur ayahnya melihat si bocah pemulung gres pulang.
Bocah itu dengan gemetar menatap air muka ayahnya yang berang. Ia kembali mengambil gancu serta karung yang senantiasa menemaninya. Ia beranjak kemudian kembali mengais botol-botol bekas di gunung sampah; mengumpulkannya ke karung goni. Tetapi ia masih merasa ingin tau ihwal neraka yang diceritakan oleh ayahnya kemarin. Ia sama sekali tidak merasa takut dengan neraka itu. Ia malah ingin duduk di ruang pesakitan itu; mendengarkan seorang perempuan berpakaian coklat bercerita ihwal rentetan angka-angka dan ilmu-ilmu lainnya. Ia ingin hidup di dalam neraka itu; menikmati siksaan sembari tertawa-tawa. (*)