Riwayat Cermin | Cerpen Irul S Budianto
Bagi Benu, ajakan Surti menyerupai itu dianggap wajar, sederhana, dan tidak neko-neko. Selain di rumahnya belum ada cermin untuk berkaca atau dandan setiap harinya, jikalau membeli barang itu tentunya tidak harus mengeluarkan uang banyak. Permintaan istrinya itu niscaya dapat dipenuhi.
Karena itu, untuk memenuhi ajakan istrinya itu pagi-pagi Benu sudah berangkat ke kota untuk membeli sebuah cermin. Di sepanjang perjalanan pulang sambil membawa cermin yang diboncengkan dengan sepeda motor tua, hati Benu tiba-tiba mencicipi kebahagiaan luar biasa sebab dapat memenuhi impian istrinya yang gres sekali ini dilontarkan sehabis dinikahi.
Cermin dengan ukuran cukup besar itu kemudian dipasang di dalam kamar. Setiap hari cermin itu digunakan untuk berkaca dan dandan Benu sewaktu akan berangkat kerja atau program lainnya. Begitu pula dengan Surti, merasa amat senang sebab kini dapat dandan di depan cermin sebagaimana yang diinginkan.
*****
Beberapa pekan kemudian, sehabis di rumah itu terpampang sebuah cermin, perubahan pun terjadi. Surti, yang sebelumnya jarang dandan, kini berubah total. Hampir setiap hari beliau sering berlama-mana di depan cermin. Melihat perubahan pada diri istrinya itu, Benu pun bertanya-tanya sendiri.
“Sur, boleh saya tanya?” ucap Benu suatu malam ketika akan tidur.
“Mau tanya apa, Mas?”
“Tapi, komitmen dihentikan murka ya.”
Surti hanya menganggukkan kepalanya.
“Aku melihat perubahan yang terjadi pada dirimu. Sebelum rumah ini ada cermin kau jarang dandan, tetapi kini tidak demikian. Kamu sering berlama-lama berada di depan cermin.”
Surti tersenyum tipis. Benu ditatap lekat-lekat. “Mengapa duduk kasus menyerupai itu kau tanyakan, Mas? Jika setiap hari saya sering di depan cermin dan dandan mestinya Mas merasa senang. Bisa memandang istrinya yang kelihatan bersih, segar, dan tambah cantik. Mestinya begitu.”
Benu hanya diam.
“Mas, kini saya yang ganti bertanya. Apa Mas merasa cemburu jikalau kini saya sering berada di depan cermin? Tidak mungkin saya melaksanakan hal yang tidak semestinya. Percayalah, Mas, cintaku hanya untuk kamu. Sumpah!”
Benu kini menarik napas panjang.
“Bukan itu maksudku,” ucapnya kemudian terdengar agak berat.
“Kalau bukan itu, apa yang menimbulkan Mas bertanya menyerupai itu?”
“Aku hanya merasa heran dengan perubahan yang ada pada dirimu.”
“Mas, setiap kali saya berada di depan cermin dan dandan bergotong-royong ini hanya untuk Mas. Maksudku, supaya Mas semakin sayang dan cinta padaku. Seperti waktu pacaran dulu,” ucap Surti kemudian memeluk Benu erat-erat.
Pembicaraan antara keduanya berhenti hingga di situ. Benu dan Surti kemudian tidur. Merangkai mimpi-mimpinya.
*****
Perubahan di rumah itu ternyata tidak sebatas itu saja. Ada perubahan lain yang terjadi pada diri Surti yang mau tidak mau menciptakan Benu semakin tidak mengerti dan bingung.
Suatu hari Surti bercerita kepada Benu jikalau setiap kali berada di depan cermin, berdasarkan penglihatannya, wajahnya terlihat semakin cantik. Cantik sekali. Seperti bidadari dari kahyangan.
Tidak hanya itu. Setiap kali melihat cermin itu, ketika itu pula muncul bayangan menyerupai kalung, gelang, cincin, dan barang-barang berharga lainnya. Mendengar penuturan Surti menyerupai itu tentu saja menjadikan Benu seketika kaget bukan kepalang. Tidak masuk akal, pikirnya.
“Benar, Mas, setiap kali saya bangun di depan cermin itu tiba-tiba bayangan barang-barang itu selalu muncul. Tampak terang di depan mata. Jika Mas tidak percaya dapat dibuktikan sendiri,” ucap Surti meyakinkan.
“Itu terang tidak masuk akal,” Benu bersikukuh dan tetap tidak percaya dengan omongan istrinya.
Karena rasa penasarannya yang meletup-letup Benu pun risikonya ingin menandakan omongan istrinya. Pelan-pelan kakinya diangkat mendekati cermin yang ada di kamarnya. Setelah bangun sempurna di depan cermin, dengan tatapan mata yang tajam, cermin itu pun diamati dengan saksama. Tetapi sehabis diperhatikan beberapa ketika lamanya bayangan yang terlihat hanya bayangannya sendiri. Bayangan seorang buruh pabrik dengan upah yang tidak begitu besar dalam setiap pekannya.
“Mana bayangan barang-barang menyerupai kalung, gelang, dan lainnya yang kau katakan itu? Aku tidak melihatnya.”
“Masak sih, Mas. Setiap kali saya bangun di depan cermin itu bayangan barang-barang itu niscaya muncul.”
“Kenyataannya saya yang kini berada di depan cermin tidak melihat barang-barang yang kau sebutkan itu.”
Karena Benu tetap tidak percaya dengan bayangan barang-barang itu, Surti risikonya mendekati Benu yang masih berada di depan cermin. Setelah keduanya bangun berjajar di depan cermin, Surti pun kemudian tersenyum dan menyampaikan kalau barang-barang yang disebutkan itu terpampang terang di depan matanya. Sementara Benu yang juga melihat cermin tetap tidak dapat melihat barang-barang itu. Bayangan yang terlihat hanya Surti dan dirinya.
Kejadian di depan cermin itu mau tidak mau menjadikan perdebatan yang tiada habisnya. Bahkan hari-hari berikutnya perdebatan antara Benu dan istrinya semakin menjadi-jadi. Untuk mencari jalan keluar risikonya Benu memutuskan akan mengajak Surti periksa mata ke dokter seorang hebat mata. Dengan hasil investigasi itu nantinya akan diketahui mata siapa yang bergotong-royong tidak normal.
*****
“Menurut hasil pemeriksaan, mata Pak Benu dan istri normal. Sehat,” kata dokter seorang hebat mata, sehabis melaksanakan pemeriksaan.
Mendengar perkataan dokter itu hati Benu pun menjadi lega. Tetapi tidak demikian dengan Surti. Ia tetap bersikukuh dengan penglihatannya yang telah dialami.
“Sungguh, Dok, setiap kali saya bangun di depan cermin di kamar saya, bayangan menyerupai kalung, gelang, dan lainnya itu selalu muncul. Tampak terang sekali.”
“Tetapi mata Ibu normal.”
“Ini kenyataan yang saya alami, Dok. Saya tidak berbohong.”
“Tetapi dari hasil investigasi secara ilmiah ilmu kedokteran, mata Ibu tidak ada gangguan.”
“Itu kan berdasarkan ilmu kedokteran. Tetapi mata saya yang melihat itu kenyataannya……”
Belum hingga Surti melanjutkan perkataannya Benu cepat-cepat mengajak istrinya pulang. Sementara dokter yang kini sendirian di ruang praktiknya itu masih amat ingin tau dengan pasien yang gres saja ditangani. Baru kali ini ia mendapat pasien dengan kasus mata menyerupai itu.
Meski matanya dinyatakan normal oleh dokter yang hebat di bidangnya, kenyataannya tidak menciptakan hati Benu merasa tenang. Sebab dalam kesehariannya istrinya selalu terus mengajak berdebat perihal penglihatannya di depan cermin. Kenyataan itu pun menjadikan Benu semakin resah sendiri.
Tidak ingin larut dalam perdebatan yang menimbulkan keluarganya tidak harmonis, suatu hari tiba-tiba Benu mengambil dingklik kayu dan kemudian dilemparkan dengan sekuat tenaga ke arah cermin. Cermin itu pun hancur berkeping-keping. Sementara istrinya yang melihat dari kejauhan hanya dapat membisu dan tidak dapat berkata-kata lagi.
Irul S Budianto lahir di Boyolali, 22 Juli. Selain cerpen juga menulis puisi dan esai sastra-budaya. Kini tinggal di Boyolali, Jawa Tengah