Dilarang Termangu Di Kelas | Cerpen Andi Wikono



Setelah menegur lembut muridnya yang berjulukan Markiso, Pak Pandiko kembali mengalirkan arus ilmu pengetahuannya yang sempat menggedor-gedor dinding ekspresi alasannya ialah sejenak berhenti. Maka diterangkanlah materi ihwal perkembangan awal suatu tumbuhan, yaitu tahap pembelahan sel, morfogenesis, dan diferensiasi seluler. Secara ilmiah, ketat, dan sistematis, Pak Pandiko menandakan tiga tahap perkembangan awal tumbuhan tersebut kepada para murid-muridnya.

PAK Pandiko bahwasanya paham betul jikalau murid-murid tak mengerti apa yang ia jelaskan. Terutama alasannya ialah banyak istilah ilmiah yang sengaja ia ucapkan. Kediaman dan anggukan murid-muridnya ialah kamuflase ketidakpahaman. Namun, berdasarkan Pak Pandiko, dunia memang sedang berada pada puncak peradaban, di mana cara berpikir insan di dalamnya senantiasa ilmiah. “Ini harus dipertahankembangkan,” pikir Pak Pandiko. Manusia harus objektif. Begitulah landasan berpikir Pak Pandiko. Landasan ini pula yang ia pegang dalam menuangkan materi di kelas. Soal ketidakpahaman murid-muridnya, bagi Pak Pandiko, hanyalah sebuah proses yang diyakini akan berujung pada terciptanya manusia­manusia logos, insan yang selalu berpikir dengan nalar, insan yang berpikir objektif.

“Markiso?”

Pak Pandiko terpaksa kembali berhenti bicara soal materi. Ia melihat, Markiso tak memperhatikannya untuk kedua kalinya.

Markiso gelagapan, menciptakan kacamatanya berubah letak. Ia sadar jikalau tadi dirinya melongo lagi.

“Apa yang kau lihat di papan tulis itu?” tanya Pak Pandiko.

Markiso membenarkan letak kacamatanya. Lalu menatap Pak Pandiko.

“Apa kau punya masalah?” tanya Pak Pandiko sekali lagi.

Markiso hanya membisu dan menggeleng.

“Lalu kenapa kau melongo terus?”

Markiso termenung. Tadi dirinya sempat membayangkan jikalau di atas papan tulis, gambar burung garuda itu benar-benar hidup. Burung itu melintas­ melintas di udara. Ia turun menukik mendekati muka sungai yang airnya jernih. Di permukaan air sungai itu sesekali melintas aneka macam jenis capung. Di tepi sungai, ada batu. Dia atas kerikil lembab itu ada banyak kupu-kupu warna kuning. Di pinggir sungai, ada orang memancing. Itu bukanlah corat-coret wacana materi pelajaran belaka, tetapi lebih menyerupai sulur-sulur akar tanaman. Ia lihat kemudian, warna akarnya berubah agak putih kecokelatan. Sesekali, di sela-sela akar itu ada ikan kecil menyerupai ikan gupi dan ikan-ikan berwarna perak yang menyerupai acang-acang. Markiso sukar memberitahu itu semua pemandangan itu kepada Pak Pandiko. Ia takut jadi materi olok-olok. Akan dianggap aneh.

“Markiso, saya bertanya pada kamu; kenapa kau melongo terus?”

Markiso gelagapan. Mulutnya tergagap. Markiso gugup. Manik-manik keringat tumbuh di keningnya.

“Jawab, Markiso. Kenapa?”

Terasa betul menyerupai ada gembok yang mengunci ekspresi Markiso. Sementara itu, Pak Pandiko berkali-kali bertanya, berharap dirinya mengucapkan sesuatu. Tetapi memang apa pula yang akan dikatakan dirinya. Markiso tak tahu apa yang akan ia ucapkan.

“Maaf, Pak,” hasilnya Markiso berkata.

“Ya, Bapak tahu. Tapi kenapa kau melamun?”

Tentu Markiso makin galau hendak menjawab apa. Dan karenanya, Markiso hanya sanggup bilang:

“Maaf, Pak. Saya tak akan mengulangi.”

Melihat mata muridnya itu, Pak Pandiko merasa trenyuh. Matanya polos. Meski di sisi lain dirinya cukup sakit hati jikalau tidak diperhatikan oleh Markiso, kesabarannya lebih tebal. Oleh alasannya ialah itu, ia hanya menyarankan Markiso untuk memperhatikan pelajaran lagi.

“Tapi ingat, jangan kau ulangi. Kamu akan jadi anak ketinggalan zaman jikalau tidak memerhatikan pelajaran,” kata Pak Pandiko kepada Markiso.

“Iya Pak.”

Markiso kembali mencopot kacamatanya. Dibersihkannya lagi potongan lensa itu dengan ujung lengan bajunya yang putih, dan alasannya ialah putih, debu pada lensa membuatnya belepotan warna abu-abu. Debu dari jalan raya di akrab kelas telah menciptakan pandangannya kabur, pikir Markiso.

Materi wacana tumbuh kembang tumbuhan pun terus diterangkan Pak Pandiko dengan lancar. Pak Pandiko mulai menandakan pula jenis-jenis tumbuhan air dan tumbuhan yang hidup di tempat tropis. Informasi terkait usia aneka macam jenis tanaman, pemanfaatan-pemanfaatan insan terhadapnya, binatang apa saja yang tergantung pada tumbuhan tersebut, efek sebuah tumbuhan terhadap kondisi alam dan manusia, dan lain-lain. Dan, untuk ketiga kalinya…

“Markiso!!!” bunyi Pak Pandiko menggelegar.

Markiso segera digelandang secara garang oleh Pak Pandiko. Markiso memelas meminta maaf. Murid­ murid melongo melihat insiden itu. Murid-murid di kelas lain bersorobok di balik beling jendela.

“Markiso!” sengat Pak Pandiko di ruang perpustakaan yang sepi, “Saya harus sesabar apalagi! Hah?! Kamu sama sekali kurang adab! Sudah saya bilang, dihentikan melongo di kelas! Kamu masih saja melamun! Tidak sopan!”

Pak Pandiko memberondongi Markiso dengan kata-kata penuh kesal. Sementara Markiso hanya menenggelamkan mukanya pada kedua lulutnya yang gemetar. Perasaan galau menyergapnya. Ia sungguh tak mengerti mengapa imajinasi-imajinasi didalam kepalanya begitu liar. Ia merasa, imajinasi tersebut tiba tiba-tiba, kemudian dengan cepat dan tanpa disadari telah membawanya pada dunia lain, dunia yang bertolak belakang dengan impian Pak Pandiko.

Setelah dirasa semprotannya cukup menciptakan jera Markiso, Pak Pandiko hasilnya menghukum muridnya yang suka mengabaikan pelajaran itu dengan tugas. Tugasnya ialah membawa tanaman.

“Kalau tidak didalam air, ya diatas air, jikalau tidak ada, ya tanaman basah saja yang hidup di sekitar sungai. Paham?”

Markiso mengangguk pelan.

Tak usang sesudah itu, Pak Pandiko pun lekas menuju kelasnya. Dengan perasaan yang masih menyisakan asap kesal.

Mata Pak Pandiko memandang sekitar sekolah. Dunia dirasakannya telah berubah begitu cepat. Dulu, sekolahnya dikelilingi alam yang indah dengan hawa sejuk. Hamparan sawah yang hijau, selalu menyenangkan perjalanan pulang dan perginya, membuatnya hening dan sabar dalam mengajar. Tetapi sekarang, yang menyelimuti sekolahnya ialah gedung-gedung tinggi dan jalan-jalan aspal yang menguapkan hawa panas serta gatal.

Terpekur sejenak akan kenangan masa lalu, hasilnya menciptakan Pak Pandiko berbalik arah. Pak Pandiko merasa, sikapnya terhadap Markiso terlalu berlebihan. Barangkali Markiso ialah korban dari perasaannya yang sedang tak keruan.

“Nak,” sapa Pak Pandiko lembut kepada Markiso, “Loh, loh, loh, kenapa menangis…?” Pak Pandiko kaget alasannya ialah Markiso memeluknya tiba-tiba.

“Tugasnya susah, Paaaak. Di akrab rumahku yang gres kini hanya ada selokan! Airnya hitam. Banyak sampah. Bau,” rengek Markiso sambil menepuk dada gurunya itu, “Jangan itu. Ganti saja. Ganti saja, Pak. Aku mohon…”

Tergeruslah hati Pak Pandiko. Ia sekali lagi tersadar jikalau pembelajaran kontekstualnya, dimana ia sering membawa muridnya ke alam bebas, juga ikut berubah. Pembelajaran menjadi menyempit serta menuntut modal; jikalau harus wisata pendidikan, sekolah membawa muridnya ke kebun binatang, ke museum, ke ruangan tertutup di mana ruang antariksa buatan sanggup dinikmati, ke taman buatan, dan jikalau berguru di kelas, paling sering melihat-lihat buku.

Dan, bagi Pak Pandiko, kiprah Markiso semacam itu di zaman sekarang, cukup berat dirasakan. Barangkali pula, kata hati Pak Pandiko, mungkin alasan mengapa Markiso sering melongo ialah alasannya ialah ia rindu rumahnya yang dulu, yang akrab dengan sungai, tempat ia biasa membantu orangtuanya mencari ikan dan kijing, tempat ia mandi bersama teman-temannya. Tetapi, jalan tol terpaksa menciptakan mereka pergi dari tempat yang sudah bebuyutan dihuni itu. Begitulah kabar dikala pertama kali sepasang ibu dan bapak menitipkan Markiso kepadanya. Lagi-lagi, Pak Pandiko menyadari, jikalau lingkungan keluarga pun tak luput dari perubahan.

“Kumohon jangan kiprah itu, Pak! Kumohon!” Pak Pandiko memeluk lebih erat Markiso.

“Tidak, Nak. Tidak akan.” *

Artikel Terkait

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel