Seekor Unta Pada Hari Jum'at | Cerpen Mashdar Zainal



PERKARA mengapa Mahisa selalu tertidur ketika mendengarkan khutbah di hari Jumat, semua bermula dari sebuah dongeng di masa kecil. Cerita dari Wak Jamal. Cerita perihal seekor unta, di hari Jumat. Mahisa ingat betul, bagaimana Wak Jamal bercerita perihal keistimewaan unta dan hari Jumat, di surau redup di sudut kampungnya.

Wak Jamal memang guru ngaji yang sangat pandai, khususnya dalam hal bercerita. Kata Wak Jamal sendiri, semua dongeng yang ia ceritakan bukanlah busa lisan semata, semuanya ia kutip dari kitab kuning dengan aksara arab tanpa harakat yang ia pelajari di pesantren, semasa ia remaja.

Terlampau lekatnya dongeng itu, Mahisa hingga terkenang-kenang akan logat mendongeng Wak Jamal (yang memiring-miringkan leher ke kanan sambil berkedip-kedip). Kalaupun disuruh mempraktikkan cara Wak Jamal bercerita, Mahisa sangat yakin sanggup melakukannya dengan sempurna. Apalagi menceritakan kembali dongeng perihal unta. Seekor unta di hari Jumat.

*****

BEGINILAH Wak Jamal memulai ceritanya, perihal seekor unta di hari Jumat. Sebelum ke inti cerita, Wak Jamal memancing anak ngajinya dengan pertanyaan-pertanyaan runtun serupa pantun.

“Nah, Nak, tahukah kau, bahwa di antara tujuh hari yang ada terdapat satu hari yang sangat istimewa, seistimewa lebaran yang hanya setahun sekali itu. Dan hari itu ialah hari Jumat. Perihal mengapa, alasannya Tuhan mengampuni banyak dosa dari hamba-Nya yang mau berinfak baik pada hari itu. Pada hari itu pula Tuhan meciptakan insan pertama, memasukkannya dalam nirwana dan kemudian mengeluarkannya.

“Masih banyak lagi bahwasanya keistimewaan hari Jumat yang tak cukup saya paparkan satu persatu.

“Nah, Nak, selepas membicarakan hari yang paling istimewa, kini kita akan main tebak-tebakan mengenai binatang yang paling istimewa.

“Nah, Nak, tahukah kamu binatang apa yang sanggup bertahan hidup berhari-hari tanpa makan dan minum.

“Tahukah kamu perihal seekor mamalia yang mempunyai bulu mata sangat sempurna, yang mempunyai bibir bangir tapi tak nyinyir, yang mempunyai dengkul sekeras batang cangkul.

“Oh, tentu saja kalian belum tahu, mendengarnya mungkin, tapi tahu, niscaya belum.”

Kemudian Wak Jamal akan tersenyum simpul (sambil memiring-miringkan kepalanya ke kanan) dan mulai memaparkan keistimewaan sang unta serupa pujian. Wak Jamal tampak bersemangat sekali menjelentrehkan kelebihan-kelebihan binatang itu, seolah ia tengah terlibat asmara dengan binatang itu.

“Nah, Nak, jikalau ada binatang yang sanggup bertahan hidup hingga delapan hari pada suhu lima puluh derajat tanpa makan atau minum, untalah beliaunya (sangking terpesonanya pada unta ia memakai kata ‘beliau’).

“Jikalau ada binatang yang lentik bulu matanya melebihi Cleopatra, dan mempunyai dua lapisan yang saling berkait ibarat perangkap yang melindungi dari angin kencang pasir sehingga butir pasir tak mungkin mampir, binatang istimewa itu ialah si unta.

“Jikalau ada binatang yang mempunyai bibir yang sangat berpengaruh dan ibarat karet, yang memungkinkan mengunyah kaktus ataupun duri yang cukup tajam, unta pulalah binatang satu-satunya.

“Jikalau ada binatang yang lututnya tertutup kepalan yang terbentuk dari kulit sekeras tanduk, sehingga binatang ini betah berlutut di pasir yang panas tanpa khawatir melepuh, si untalah binatangnya.”

Setelah tunai memberikan mukadimahnya, Wak Jamal memulai dongeng yang sesungguhnya. Cerita perihal seekor unta di hari Jumat. Dari sebuah kitab yang pernah ia kaji, Wak Jamal mengisahkan. Bahwa Tuhan punya alasan mengapa Ia menentukan unta sebagai binatang utama, untuk dianugerahkan kepada hamba-Nya yang tiba paling pertama di hari Jumat, pada shalat Jumat. Jadi, setiap hari Jumat, beberapa insan akan berternak unta, dan kemudian memanen kesudahannya di nirwana kelak.

“Mengapa unta? Mengapa bukan macan atau singa? Atau gajah yang besar?” Hatta, Wak Jamal bertanya sendiri, dan kemudian pula menjawabnya sendiri, “karena unta ialah binatang paling mahal di antara yang mahal, binatang paling istimewa di antara yang istimewa. Seolah-olah, Tuhan membuat unta dengan istimewa alasannya memang diperuntukkan khusus untuk orang-orang yang istimewa.

“Tuhan memang Maha Pemurah. Terlampau pemurahnya Ia, sehabis memperlihatkan unta, Ia akan memperlihatkan lembu untuk yang tiba sehabis unta, ia juga masih menyimpan kambing untuk yang tiba berikutnya, sehabis lembu. Setelah kambing pun, Ia masih bermurah hati memperlihatkan ayam untuk yang tiba sehabis kambing. Di bawah ayam pun, ia masih menyisakan telur untuk yang tiba berikutnya….

“Jadi, urutannya yang pertama unta, kemudian lembu, kemudian kambing, kemudian ayam, dan yang paling buntut telur ayam. Dan sehabis telur, tidak disebutkan lagi. Jadi, kesimpulannya, kalian sendiri yang akan memutuskan, menentukan mana, unta, lembu, kambing, ayam, telur ayam, atau mungkin yang keluar dari tempatnya telur ayam tapi bukan telur ayam….”

Wak Jamal memang selalu ibarat itu, menyuruh anak ngajinya untuk berinfak shalih dengan sindiran-sindiran yang cukup sulit dipahami anak kecil.

*****

SEMENJAK mendengar dongeng itu, Mahisa benar-benar ketularan Wak Jamal, terobsesi dengan binatang berjulukan unta. Mahisa tak pernah melihat unta secara langsung, tapi dari cara Wak Jamal bercerita, unta memang binatang yang luar biasa. Kini Mahisa tahu, mengapa Wak Jamal sudi bersusah-susah membersihkan surau pada Jumat pagi dan kemudian menjadi bilal dan muadzin pada Jumat siang. Ya, tak lain dan tak bukan, niscaya alasannya binatang istimewa itu. Dalam kepalanya, Mahisa membayangkan, Wak Jamal sudah menernakkan unta yang jumlahnya ratusan, bahkan mungkin sudah beranak pinak. Mengingat rambut Wak Jamal yang kian rata ditunasi uban, Mahisa mulai berpikir, bahwa kini, tiba saatnya ia mewarisi peternakkan unta Wak Jamal, guru ngajinya.

“Wak, untuk mendapatkan unta, apakah seseorang mesti membersihkan surau dan menjadi muazin pada shalat Jumat?” Suatu ketika Mahisa bertanya.

“Tidak, tidak harus, yang penting kamu tiba paling awal. Lalu duduklah dengan damai di shaf paling depan, di belakang khatib, sambil berzikir, itu saja….”

Mudah sekali, pikir Mahisa. Berarti, Wak Jamal capek-capek membersihkan surau dan menjadi muazin bukan alasannya unta, tapi alasannya sesuatu yang lain, sesuatu yang sepertinya lebih besar dan lebih istimewa dari pada unta. Tapi, apakah itu? Mengapa Wak Jamal tidak menceritakannya. Atau jangan-jangan, sesuatu yang mungkin lebih besar daripada unta itu ialah sebuah belakang layar yang ia simpan sendiri. Supaya ia sanggup memilikinya sendiri.

Mahisa menepiskan pikiran itu jauh-jauh. Wak Jamal pernah mewanti-wanti, berburuk sangka bukanlah alamat bagus. Sudahlah, yang penting, mulai pekan depan, Mahisa bertekad hendak berangkat pagi-pagi ke surau pada hari Jumat. Selepas pulang dari sekolah, ia akan bersegera mandi dan berangkat. Kalau perlu ia akan menyelidiki terlebih dahulu, jam berapa biasanya Wak Jamal datang, semoga ia sanggup mendapatkan unta dan Wak Jamal mendapatkan lembu.

Pada Jumat pertama, Mahisa kalah cepat dari Wak Jamal. Ketika hingga di surau, Mahisa telah mendapati Wak Jamal tengah membaca mushaf di saf paling depan. Wak Jamal tersenyum penuh kemenangan, saya sanggup unta dan kamu sanggup lembu, begitu arti senyumnya. Dalam hati, Mahisa berjanji, Jumat pekan depan, ia akan tiba lebih awal lagi. Jumat itu, Mahisa rela mendapatkan nasib bila ia harus mendapatkan lembu. Lembu tidak terlalu buruk, buktinya, untuk berangkat haji dua tahun silam, bapak dan emak cukup menjual tiga lembu piaraannya. Artinya, lembu ialah binatang istimewa kedua sehabis unta.

*****

PADA Jumat berikutnya, Mahisa tersenyum gembira ketika hingga di surau, ia tak mendapati siapa pun. Serta merta ia duduk di saf paling depan, tepat posisi belakang imam. Beberapa menit berikutnya, Wak Jamal tiba dengan senyum sumeringah. Wak Jamal menepuk pundaknya, “Wah, luar biasa,” serunya. Mahisa terduduk tegap. Bersenyum penuh kemenangan. Saksama ia memerhatikan Wak jamal yang mulai menyalakan speaker, mengecek micropon, dan menggelar sajadah untuk imam.

Satu persatu Mahisa melirik setiap orang yang datang. Aku sanggup unta, batinnya. Wak Jamal sanggup lembu. Bang Ajrul sanggup kambing. Ki Hanan sanggup ayam. Wak Sayid sanggup telur ayam. Mas Toha sanggup entah…. Sambil terus menghitung setiap jamaah yang tiba sesuai dengan urutannya, tiba-tiba kepala Mahisa terasa sangat berat. Matanya juga sangat berat. Bahkan, ketika Wak Jamal mengumandangkan azan dan khatib mulai naik ke mimbar, Mahisa masih berjibaku dengan matanya yang berat. Mahisa terantuk dan hampir ambruk ketika Wak Jamal menepuk pundaknya selepas iqomah, menyadarkannya dari kantuk.

Celaka, ada yang tertidur ketika khatib memberikan khotbah.

*****

PADA Jumat-Jumat berikutnya, Mahisa rutin tiba paling awal. Ia duduk di saf paling depan, belakang khatib. Namun, selalu saja, Mahisa tak kuasa menahan kantuk ketika khatib mulai naik ke mimbar. Kejadian itu berlangsung terus menerus, selama bertahun-tahun, hingga sekarang. Ketika ia mengikuti shalat Jumat dan khatib mulai naik ke mimbar, seolah ada hal mistik yang menyirepnya, membuatnya terkantuk-kantuk hingga tertidur.

Cerita itu sudah berlalu puluhan tahun silam. Wak Jamal pun sudah usang sekali almarhum. Surau kecil daerah ia mengaji dulu, kini sudah diperlebar dan dibangun masjid. Sudah bertahun-tahun Mahisa merantau ke luar kota, meninggalkan kampung halaman. Tapi tetap saja, di mana pun ia mengikuti shalat Jumat, ketika khatib mulai memberikan khotbahnya, kepalanya pun mulai tertunduk, terkantuk-kantuk.

Satu hal pula yang masih lekat dalam ingatannya dari dongeng Wak Jamal. Bahwasannya, mendapatkan unta di hari Jumat bukanlah kasus mudah. Karena, selepas shalat Jumat, akan selalu ada orang-orang (yang tiba paling awal) yang kemudian mengutuki dirinya sendiri, menyesalkan unta mereka yang selalu lepas ketika mereka tertidur mendengarkan khotbah. (*)

Artikel Terkait

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel