Gelar | Cerpen Mashdar Zainal
MENURUTKU, gelar dan nama ialah dua hal yang tak boleh dipisah-pisahkan. Seperti badan dan pakaian, sebuah nama akan telanjang tanpa gelar. Itulah mengapa saya sangat mengutuk orang-orang—terutama mahasiswaku—yang luput mencantumkan gelar pada namaku. Sebagai seorang dosen senior, saya telah menerapkan beberapa pantangan bagi seluruh mahasiswa yang mengikuti perkuliahanku. Salah satu di antaranya ialah mengenai gelar itu sendiri.
Mereka—para mahasiswaku—yang berulang kali salah menyebutkan nama berikut gelarku, kujamin akan bernasib buruk. Seperti yang sudah kukatakan, gelar dan nama ialah sesuatu yang sakral bagiku, jadi tak boleh diotak-atik oleh siapa pun.
Sebenarnya, untuk mengantisipasi hal itu, saya selalu berbaik hati. Pada setiap awal semester, di perkuliahan, saya selalu berpanjang lebar memperkenalkan diri. Para mahasiswa yang belum pernah mengikuti perkuliahanku, mereka akan mendengarkan semua ceritaku dengan khidmat dan sesekali manggut-manggut. Jabatanku di kampus ialah pembantu rektor satu, sekaligus guru besar. Sudah berapa dosen di kampus ini yang dulunya bekas mahasiswaku? Toh, mereka semua menghormatiku.
Tak perlu ditebak, pastinya gelarku cukup mentereng. Setiap awal semester, pada program perkenalan dengan mahasiswa baru, saya selalu menuliskan nama lengkapku besar-besar di jantung papan tulis. Aku selalu menuliskannya begini: Prof Dr H M Kibari MA.
Bila para mahasiswa yang kuajak bicara mengernyitkan dahi, dengan semangat saya akan menjelaskan pada mereka, bahwa kata prof, dari namaku itu berarti profesor, yakni spesialis dalam suatu bidang, bidangku tentu kebahasaan. Untuk meyakinkan mereka, saya selalu menyebutkan prestasi-prestasi akademik dan non-akademik yang telah kukantongi. Sudah bertebaran pula buku-buku barat yang saya terjemahkan ke dalam bahasa ibu. Rasanya tak ada yang kurang dengan prestasiku.
Adapun mengenai aksara Dr, dari namaku ialah kependekan dari kata doktor yang saya peroleh dari S3-ku yang kedua, di Jakarta. Tak pernah ketinggalan pula saya menjelaskan perihal aksara H, yang bertengger pada namaku. Huruf H di sana tentu saja kependekan dari kata haji, itu alasannya ialah memang sudah berkali-kali saya ke Makkah. Dan untuk aksara M, saya takkan menjelaskan panjang lebar alasannya ialah M di sana ialah kependekan dari nama depanku, Muhammad.
Dan yang terakhir, aksara MA, master of art, merupakan buah tangan dari S2-ku dari negeri yang punya ibu Menara Eifel, Prancis. Hebat bukan?
Tak ada yang perlu diragukan, rasanya gelar itu cukup sepadan dengan kemampuan akademik yang kumiliki. Mungkin bisa dibilang saya ini seorang multitalent. Mulai dari kecerdasan matematis, bahasa, kinestetik, hingga musikal, saya menguasainya. Tak banyak orang tahu bahwa rahasia saya ini berbakat menggesek biola, itulah yang kukatakan sebagai kecerdasan musikal. Bukannya saya sombong, alasannya ialah sombong itu ialah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain. Aku tidak begitu, justru saya mengagungkan kebenaran, semua tentangku memang benar adanya, bukan mengada-ada. Aku juga tak pernah memandang rendah orang lain, mungkin orang lain saja yang harus mengakui bahwa saya memang ada di atas mereka, dalam banyak hal.
Pada final semester menyerupai ini biasanya saya akan lebih sibuk dari biasanya. Banyak sekali agenda-agenda kampus yang harus rampung sebelum rapat wisuda digelar nanti. Belum lagi urusan konsultasi para mahasiswa yang bebal itu. Beberapa kali mereka tiba ke rumah, mengemis-ngemis biar saya sanggup mendapatkan konsultasinya kemudian mengasese skripsinya yang amburadul itu.
Seminggu terakhir ini, sudah terhitung tiga mahasiswa yang terpaksa saya depak untuk mengulang semester depan. Aku sudah terbiasa dengan wajah-wajah kecewa mereka.
Awal pekan lalu, seorang perempuan berkunjung ke rumah. Setelah kuhitung-hitung, saya yakin, itu kedatangannya yang ketujuh. Sepertinya ia lebih terpelajar mengobral alasan daripada menekuni kiprah akhirnya. Kali ini ia tiba malam-malam dengan segepok kertas di tanganya. Aku menyesal sekali, istriku mempersilakannya masuk. Terpaksa saya meladeninya.
“Apa kita sudah buat janji sebelumnya?” ujarku tanpa basa-basi.
“Maaf Pak, saya tadi tidak sempat, tadi seharian penuh saya menuntaskan serpihan terakhir ini. Dan, waktu saya ke kampus bapak tidak ada.” Dalihnya enteng.
“Walah… itu alasan kau saja, wong sedari pagi saya di kampus kok! Urusan kampus ya selesaikan di kampus. Lha, mengapa kau berani menemui saya tanpa menciptakan janji terlebih dahulu. Sudah…, sebaiknya kau pulang saja, saya mau istirahat….” Tukasku santai.
“Tapi Pak, ahad depan sudah ujian. Izinkan saya bicara sebentar dengan bapak. Saya mau minta pertimbangan-pertimbangan lagi dari bapak supaya semuanya clear dan lusa saya sudah bisa daftar ujian skripsi.” Ia merajuk, membuatku semakin muak.
“Entah besok ujian, entah ahad depan ujian, itu urusan kamu. Pertanyaannya, selama satu semester ini kau ngapain aja? Bukannya dead line yang kuberikan sudah kedaluwarsa?”
“Sungguh, Pak…! Ada urusan penting yang harus saya utamakan.”
“Lebih penting dari skripsimu?” tandasku.
Wanita itu tak bergeming, tapi matanya mengilat menyerupai kaca.
“Sudah, terserah draf itu mau kau apakan. Yang terperinci malam ini saya mau istirahat. Badan saya rasanya remuk semua. Maaf.” Ucapku singkat, kemudian beringsut meninggalkannya yang tergugu di ruang tamu. Entah dengan cara apa ia enyah, lagi-lagi saya takkan peduli. Aku benar-benar muak dengan mahasiswa model begitu.
Mahasiswa kedua yang tidak kugubris kedatangannya juga seorang wanita. Ia mengaku tak punya banyak waktu untuk menyentuh skripsinya alasannya ialah ia repot mengurus balitanya. Bagiku, itu risiko yang harus ia tanggung. Maka, baginya tak ada lagi toleransi. Aku hanya menyarankan padanya supaya ia pandai-pandai membagi waktu.
Yang ketiga ialah seorang perjaka kumal. Dia seorang penggerak organisasi ekstra kampus. Bertubi-tubi ia mengemukakan alasan dengan bahasa yang diplomatis dan dibuat-buat. Dipikirnya itu akan mengubah nasibnya, sama sekali tidak. Bahkan, terang-terangan saya memberinya dua pilihan, skripsi atau organisasi. Aku menyuruhnya pulang dan tiba kembali semester depan dengan pilihan yang tepat.
Setelah para mahasiswa error itu, malam ini tiba lagi seorang perjaka dengan potongan alim. Kalau tidak salah ia ialah seorang anggota takmir masjid kampus. Entah, saya lupa namanya siapa. Sebenarnya ia itu rajin, tapi untuk soal skripsi ia tak beda jauh dengan mahasiswa kebanyakan. Dari matanya saya masih menangkap kemuakkannya terhadapku. Mungkin ia teringat insiden beberapa bulan kemudian dikala saya menegurnya alasannya ialah kesalahan fatal menyebut namaku tanpa memakaikan bajunya, gelarnya. Pada khutbah Jumat waktu itu saya mendapat jadwal khatib dan ia sebagai bilal. Sebelum saya naik ke mimbar, ia menyebutkan namaku begini: “Dan pada Jumat kali ini, khutbah Jumat akan diisi oleh Bapak Muhammad Kibari.”
Bukankah seharusnya ia menyebut namaku begini: “Dan pada Jumat kali ini, khutbah Jumat akan diisi oleh Prof Dr HM Kibari, MA.”
Iya kan? Seharusnya begitu, kan? Untung saja posisiku waktu itu sebagai khatib, jikalau tidak niscaya saya sudah melabraknya. Tapi sudahlah, saya sudah melupakan insiden itu dan memaafkannya. Dan, malam ini saya mendapatkan konsultasinya yang terakhir, tentu sehabis ia menciptakan janji denganku.
“Maaf Pak, ini hasil revisi saya yang terakhir,” ucapnya sambil menyerahkan bendel skripsinya yang tebal. Dengan malas saya meraihnya, kemudian membolak-balik halaman itu dengan saksama.
“Apa ini? Sudah mau diwisuda ngetik saja belum becus. Lihat itu! Apa pantes itu dibaca orang.” Pekikku sehabis mencoret beberapa kata yang salah redaksi.
“Maaf Pak, mungkin saya memang kurang teliti. Iya, akan segera saya perbaiki.” balasnya. Belum selesai ia bicara saya sudah menemukan lagi kesalahannya yang lebih fatal.
“Ini apa lagi. Rupanya kau benar-benar tak tahu siapa nama dosen pembimbingmu sendiri. Ini lihat!” Tanganku mengacung pada tulisan: “Dosen Pembimbing: Prof H Kibari, MA.”
“Ini doktornya mana, terus M, Muhammadnya mana? Sudah, sudah, ini bawa lagi skripsimu. Besok saya tunggu di kampus, jam sepuluh. Ingat! Itu yang terakhir kali. Kalau kau masih salah-salah lagi, saya sarankan kau ujian semester depan saja! Kamu berguru ngetik dulu sambil menghafalkan gelar-gelar saya.” Emosiku meledak. Setelah sepatah dua patah kata yang terbata, ia memohon diri dengan wajah menyerupai terbakar.
Esoknya perjaka itu menemuiku di kantor, ia kembali dengan print out yang baru, tapi dasar penyakit, ia menciptakan kesalahan lagi dengan menghilangkan tanda baca titik pada ujung kata Prof dan Dr. Tanpa berpikir panjang saya menyuruhkannya menuliskan tanda titik itu secara manual, dengan pena yang digenggamnya. Setelah kurasa beres saya segera mengasesenya, saya tak ingin lama-lama berhadapan dengannya, bisa-bisa darah tinggiku kumat.
Usai sidang skripsi, saya bisa bernapas lega. Hal yang paling sulit bagiku selama berpuluh-puluh tahun jadi dosen ialah dikala menjadi penguji skripsi. Aku selalu dihadapkan pada dua pilihan yang menyebalkan: yakni memelihara kebodohan para mahasiswa itu atau mempermalukan mereka. Namun, saya lebih sering mengambil pilihan yang pertama: memelihara kebodohan mereka dengan dua kata: kau lulus.
Biasanya, sehabis nilai keluar, para mahasiswa bimbinganku yang puas dengan nilainya akan mendatangiku dengan ucapan terima kasih berikut tandanya. Minggu ini sudah terhitung lima tanda mata yang saya terima, mulai dari karangan bunga, kemeja, arloji, hiasan dinding, bahkan hingga sepatu made in Italy.
Dan, malam ini saya mendapatkan lagi sebuah kiriman paket dalam kardus besar tanpa nama pengirim. Aku tersenyum-senyum saja menerimanya. Dari beratnya, saya yakin isinya bukan barang biasa.
“Dapat lagi, Bu!” kataku sambil memamerkan paket kotak itu pada istriku.
“Wah, tampaknya berat sekali. Kira-kira isinya apa ya, Pak?” tanya istriku.
“Yah, pastinya benda berharga, Bu. Mahasiswaku jikalau memberi hadiah memang tak tanggung-tanggung.” Balasku girang.
Istriku tersenyum, “Cepet buka, Pak! Saya jadi ndak sabar pingin ngeliat isinya apa.”
“Iya, iya, saya buka. Sabar. Tapi tolong, ibu bikinin teh dulu buat bapak.”
“Iya, ibu bikinin. Tenang saja. Tunggu sebentar ya, Pak,” ungkapnya sambil beranjak ke dapur.
Istriku niscaya akan terkagum-kagum melihat kado istimewa dari mahasiswaku kali ini. Bagaimana tidak istimewa, bungkusnya saja dari kertas emas berkilauan dengan pita cokelat muda, masih dihiasi bunga-bunga rumput kering pula, artistik sekali. Dan untuk lebih memberi sensasi kejutan, pengirim kado ini niscaya sengaja menciptakan saya ingin tau dengan tidak mencantumkan siapa nama pengirimnya.
Maka, dengan tidak sabar saya membuka kardus itu. Satu per satu kulucuti pita dan plester yang rapat membalut kardus itu. Kubuka kertas emas mengilat itu pelan-pelan biar tidak hingga sobek. Aku benar-benar sudah tidak sabar untuk melihat isinya. Mulai kusingkap kardus itu dengan hati dag-dig-dug penasaran. Setelah kubuka kardus itu saya tercekat, kaget bukan main. Dua papan kerikil nisan dari marmer terbujur di sana. Pada salah satu kerikil nisan itu terukir goresan pena yang sangat indah, berseni. Tulisan itu begini:
Alm Prof Dr H M Kibari, MA.
Jidatku terasa dihantan pendulum satu ton dikala kusadari apa yang gres saja kubaca. Kepalaku mulai terasa pening. Bersama dengan kerikil nisan itu, terselip pula selembar kertas dengan goresan pena tangan yang cukup rapi, kubaca goresan pena itu perlahan:
Bapak Prof Dr H M Kibari, MA. yang ter(gila) hormat. Mohon maaf sebelumnya.
Ini saya kirimkan kenang-kenangan berharga buat Anda. Batu mahal berukir gelar pujian Anda. Jadi, kelak Anda tidak usah repot-repot membayar orang untuk mengukir gelar Anda pada kerikil itu.
Oh ya, saya juga telah menuliskan satu lagi Gelar bagi Anda: Almarhum. Tentu Anda senang, gelar Anda bertambah satu lagi. Gelar itu akan benar-benar Anda dapatkan, jadi Anda tak usah khawatir. Mohon disimpan baik-baik hadiah dari saya ini. Anda boleh memajangnya di ruang tamu atau di kamar tidur Anda, supaya Anda selalu bisa melihatnya. Semoga bermanfaat.
Salam
Mahasiswamu.
Usai membacanya kepalaku berdenyut-denyut tak keruan. Wajah-wajah kecewa itu berkelebat satu per satu menggelayuti dinding kepalaku. Aku menyerupai menemukan maksud indah yang enggan kuterima kebenarannya. Tanganku masih gemetar menimang kerikil kuburan itu. Aku tak mau siapa pun tahu akan hal ini. Sebelum istriku melihatnya, secepat kilat kumasukkan kembali kerikil itu ke dalam kardus kemudian membungkusnya kembali rapat-rapat.
“Wah, isinya apa, Pak? Ibu mau ngeliat?” tutur istriku dengan secangkir teh yang masih bergoyang di tangannya.
“Ah, tak perlu, Bu. Ini cuma hiasan kerikil berukir biasa.” Balasku kecut. Sesuatu yang tidak lezat mulai menggeliat di kepalaku kemudian meletup-letup di palung dadaku. (*)
Mereka—para mahasiswaku—yang berulang kali salah menyebutkan nama berikut gelarku, kujamin akan bernasib buruk. Seperti yang sudah kukatakan, gelar dan nama ialah sesuatu yang sakral bagiku, jadi tak boleh diotak-atik oleh siapa pun.
Sebenarnya, untuk mengantisipasi hal itu, saya selalu berbaik hati. Pada setiap awal semester, di perkuliahan, saya selalu berpanjang lebar memperkenalkan diri. Para mahasiswa yang belum pernah mengikuti perkuliahanku, mereka akan mendengarkan semua ceritaku dengan khidmat dan sesekali manggut-manggut. Jabatanku di kampus ialah pembantu rektor satu, sekaligus guru besar. Sudah berapa dosen di kampus ini yang dulunya bekas mahasiswaku? Toh, mereka semua menghormatiku.
Tak perlu ditebak, pastinya gelarku cukup mentereng. Setiap awal semester, pada program perkenalan dengan mahasiswa baru, saya selalu menuliskan nama lengkapku besar-besar di jantung papan tulis. Aku selalu menuliskannya begini: Prof Dr H M Kibari MA.
Bila para mahasiswa yang kuajak bicara mengernyitkan dahi, dengan semangat saya akan menjelaskan pada mereka, bahwa kata prof, dari namaku itu berarti profesor, yakni spesialis dalam suatu bidang, bidangku tentu kebahasaan. Untuk meyakinkan mereka, saya selalu menyebutkan prestasi-prestasi akademik dan non-akademik yang telah kukantongi. Sudah bertebaran pula buku-buku barat yang saya terjemahkan ke dalam bahasa ibu. Rasanya tak ada yang kurang dengan prestasiku.
Adapun mengenai aksara Dr, dari namaku ialah kependekan dari kata doktor yang saya peroleh dari S3-ku yang kedua, di Jakarta. Tak pernah ketinggalan pula saya menjelaskan perihal aksara H, yang bertengger pada namaku. Huruf H di sana tentu saja kependekan dari kata haji, itu alasannya ialah memang sudah berkali-kali saya ke Makkah. Dan untuk aksara M, saya takkan menjelaskan panjang lebar alasannya ialah M di sana ialah kependekan dari nama depanku, Muhammad.
Dan yang terakhir, aksara MA, master of art, merupakan buah tangan dari S2-ku dari negeri yang punya ibu Menara Eifel, Prancis. Hebat bukan?
Tak ada yang perlu diragukan, rasanya gelar itu cukup sepadan dengan kemampuan akademik yang kumiliki. Mungkin bisa dibilang saya ini seorang multitalent. Mulai dari kecerdasan matematis, bahasa, kinestetik, hingga musikal, saya menguasainya. Tak banyak orang tahu bahwa rahasia saya ini berbakat menggesek biola, itulah yang kukatakan sebagai kecerdasan musikal. Bukannya saya sombong, alasannya ialah sombong itu ialah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain. Aku tidak begitu, justru saya mengagungkan kebenaran, semua tentangku memang benar adanya, bukan mengada-ada. Aku juga tak pernah memandang rendah orang lain, mungkin orang lain saja yang harus mengakui bahwa saya memang ada di atas mereka, dalam banyak hal.
*****
Pada final semester menyerupai ini biasanya saya akan lebih sibuk dari biasanya. Banyak sekali agenda-agenda kampus yang harus rampung sebelum rapat wisuda digelar nanti. Belum lagi urusan konsultasi para mahasiswa yang bebal itu. Beberapa kali mereka tiba ke rumah, mengemis-ngemis biar saya sanggup mendapatkan konsultasinya kemudian mengasese skripsinya yang amburadul itu.
Seminggu terakhir ini, sudah terhitung tiga mahasiswa yang terpaksa saya depak untuk mengulang semester depan. Aku sudah terbiasa dengan wajah-wajah kecewa mereka.
Awal pekan lalu, seorang perempuan berkunjung ke rumah. Setelah kuhitung-hitung, saya yakin, itu kedatangannya yang ketujuh. Sepertinya ia lebih terpelajar mengobral alasan daripada menekuni kiprah akhirnya. Kali ini ia tiba malam-malam dengan segepok kertas di tanganya. Aku menyesal sekali, istriku mempersilakannya masuk. Terpaksa saya meladeninya.
“Apa kita sudah buat janji sebelumnya?” ujarku tanpa basa-basi.
“Maaf Pak, saya tadi tidak sempat, tadi seharian penuh saya menuntaskan serpihan terakhir ini. Dan, waktu saya ke kampus bapak tidak ada.” Dalihnya enteng.
“Walah… itu alasan kau saja, wong sedari pagi saya di kampus kok! Urusan kampus ya selesaikan di kampus. Lha, mengapa kau berani menemui saya tanpa menciptakan janji terlebih dahulu. Sudah…, sebaiknya kau pulang saja, saya mau istirahat….” Tukasku santai.
“Tapi Pak, ahad depan sudah ujian. Izinkan saya bicara sebentar dengan bapak. Saya mau minta pertimbangan-pertimbangan lagi dari bapak supaya semuanya clear dan lusa saya sudah bisa daftar ujian skripsi.” Ia merajuk, membuatku semakin muak.
“Entah besok ujian, entah ahad depan ujian, itu urusan kamu. Pertanyaannya, selama satu semester ini kau ngapain aja? Bukannya dead line yang kuberikan sudah kedaluwarsa?”
“Sungguh, Pak…! Ada urusan penting yang harus saya utamakan.”
“Lebih penting dari skripsimu?” tandasku.
Wanita itu tak bergeming, tapi matanya mengilat menyerupai kaca.
“Sudah, terserah draf itu mau kau apakan. Yang terperinci malam ini saya mau istirahat. Badan saya rasanya remuk semua. Maaf.” Ucapku singkat, kemudian beringsut meninggalkannya yang tergugu di ruang tamu. Entah dengan cara apa ia enyah, lagi-lagi saya takkan peduli. Aku benar-benar muak dengan mahasiswa model begitu.
Mahasiswa kedua yang tidak kugubris kedatangannya juga seorang wanita. Ia mengaku tak punya banyak waktu untuk menyentuh skripsinya alasannya ialah ia repot mengurus balitanya. Bagiku, itu risiko yang harus ia tanggung. Maka, baginya tak ada lagi toleransi. Aku hanya menyarankan padanya supaya ia pandai-pandai membagi waktu.
Yang ketiga ialah seorang perjaka kumal. Dia seorang penggerak organisasi ekstra kampus. Bertubi-tubi ia mengemukakan alasan dengan bahasa yang diplomatis dan dibuat-buat. Dipikirnya itu akan mengubah nasibnya, sama sekali tidak. Bahkan, terang-terangan saya memberinya dua pilihan, skripsi atau organisasi. Aku menyuruhnya pulang dan tiba kembali semester depan dengan pilihan yang tepat.
Setelah para mahasiswa error itu, malam ini tiba lagi seorang perjaka dengan potongan alim. Kalau tidak salah ia ialah seorang anggota takmir masjid kampus. Entah, saya lupa namanya siapa. Sebenarnya ia itu rajin, tapi untuk soal skripsi ia tak beda jauh dengan mahasiswa kebanyakan. Dari matanya saya masih menangkap kemuakkannya terhadapku. Mungkin ia teringat insiden beberapa bulan kemudian dikala saya menegurnya alasannya ialah kesalahan fatal menyebut namaku tanpa memakaikan bajunya, gelarnya. Pada khutbah Jumat waktu itu saya mendapat jadwal khatib dan ia sebagai bilal. Sebelum saya naik ke mimbar, ia menyebutkan namaku begini: “Dan pada Jumat kali ini, khutbah Jumat akan diisi oleh Bapak Muhammad Kibari.”
Bukankah seharusnya ia menyebut namaku begini: “Dan pada Jumat kali ini, khutbah Jumat akan diisi oleh Prof Dr HM Kibari, MA.”
Iya kan? Seharusnya begitu, kan? Untung saja posisiku waktu itu sebagai khatib, jikalau tidak niscaya saya sudah melabraknya. Tapi sudahlah, saya sudah melupakan insiden itu dan memaafkannya. Dan, malam ini saya mendapatkan konsultasinya yang terakhir, tentu sehabis ia menciptakan janji denganku.
“Maaf Pak, ini hasil revisi saya yang terakhir,” ucapnya sambil menyerahkan bendel skripsinya yang tebal. Dengan malas saya meraihnya, kemudian membolak-balik halaman itu dengan saksama.
“Apa ini? Sudah mau diwisuda ngetik saja belum becus. Lihat itu! Apa pantes itu dibaca orang.” Pekikku sehabis mencoret beberapa kata yang salah redaksi.
“Maaf Pak, mungkin saya memang kurang teliti. Iya, akan segera saya perbaiki.” balasnya. Belum selesai ia bicara saya sudah menemukan lagi kesalahannya yang lebih fatal.
“Ini apa lagi. Rupanya kau benar-benar tak tahu siapa nama dosen pembimbingmu sendiri. Ini lihat!” Tanganku mengacung pada tulisan: “Dosen Pembimbing: Prof H Kibari, MA.”
“Ini doktornya mana, terus M, Muhammadnya mana? Sudah, sudah, ini bawa lagi skripsimu. Besok saya tunggu di kampus, jam sepuluh. Ingat! Itu yang terakhir kali. Kalau kau masih salah-salah lagi, saya sarankan kau ujian semester depan saja! Kamu berguru ngetik dulu sambil menghafalkan gelar-gelar saya.” Emosiku meledak. Setelah sepatah dua patah kata yang terbata, ia memohon diri dengan wajah menyerupai terbakar.
Esoknya perjaka itu menemuiku di kantor, ia kembali dengan print out yang baru, tapi dasar penyakit, ia menciptakan kesalahan lagi dengan menghilangkan tanda baca titik pada ujung kata Prof dan Dr. Tanpa berpikir panjang saya menyuruhkannya menuliskan tanda titik itu secara manual, dengan pena yang digenggamnya. Setelah kurasa beres saya segera mengasesenya, saya tak ingin lama-lama berhadapan dengannya, bisa-bisa darah tinggiku kumat.
*****
Usai sidang skripsi, saya bisa bernapas lega. Hal yang paling sulit bagiku selama berpuluh-puluh tahun jadi dosen ialah dikala menjadi penguji skripsi. Aku selalu dihadapkan pada dua pilihan yang menyebalkan: yakni memelihara kebodohan para mahasiswa itu atau mempermalukan mereka. Namun, saya lebih sering mengambil pilihan yang pertama: memelihara kebodohan mereka dengan dua kata: kau lulus.
Biasanya, sehabis nilai keluar, para mahasiswa bimbinganku yang puas dengan nilainya akan mendatangiku dengan ucapan terima kasih berikut tandanya. Minggu ini sudah terhitung lima tanda mata yang saya terima, mulai dari karangan bunga, kemeja, arloji, hiasan dinding, bahkan hingga sepatu made in Italy.
Dan, malam ini saya mendapatkan lagi sebuah kiriman paket dalam kardus besar tanpa nama pengirim. Aku tersenyum-senyum saja menerimanya. Dari beratnya, saya yakin isinya bukan barang biasa.
“Dapat lagi, Bu!” kataku sambil memamerkan paket kotak itu pada istriku.
“Wah, tampaknya berat sekali. Kira-kira isinya apa ya, Pak?” tanya istriku.
“Yah, pastinya benda berharga, Bu. Mahasiswaku jikalau memberi hadiah memang tak tanggung-tanggung.” Balasku girang.
Istriku tersenyum, “Cepet buka, Pak! Saya jadi ndak sabar pingin ngeliat isinya apa.”
“Iya, iya, saya buka. Sabar. Tapi tolong, ibu bikinin teh dulu buat bapak.”
“Iya, ibu bikinin. Tenang saja. Tunggu sebentar ya, Pak,” ungkapnya sambil beranjak ke dapur.
Istriku niscaya akan terkagum-kagum melihat kado istimewa dari mahasiswaku kali ini. Bagaimana tidak istimewa, bungkusnya saja dari kertas emas berkilauan dengan pita cokelat muda, masih dihiasi bunga-bunga rumput kering pula, artistik sekali. Dan untuk lebih memberi sensasi kejutan, pengirim kado ini niscaya sengaja menciptakan saya ingin tau dengan tidak mencantumkan siapa nama pengirimnya.
Maka, dengan tidak sabar saya membuka kardus itu. Satu per satu kulucuti pita dan plester yang rapat membalut kardus itu. Kubuka kertas emas mengilat itu pelan-pelan biar tidak hingga sobek. Aku benar-benar sudah tidak sabar untuk melihat isinya. Mulai kusingkap kardus itu dengan hati dag-dig-dug penasaran. Setelah kubuka kardus itu saya tercekat, kaget bukan main. Dua papan kerikil nisan dari marmer terbujur di sana. Pada salah satu kerikil nisan itu terukir goresan pena yang sangat indah, berseni. Tulisan itu begini:
Alm Prof Dr H M Kibari, MA.
Jidatku terasa dihantan pendulum satu ton dikala kusadari apa yang gres saja kubaca. Kepalaku mulai terasa pening. Bersama dengan kerikil nisan itu, terselip pula selembar kertas dengan goresan pena tangan yang cukup rapi, kubaca goresan pena itu perlahan:
Bapak Prof Dr H M Kibari, MA. yang ter(gila) hormat. Mohon maaf sebelumnya.
Ini saya kirimkan kenang-kenangan berharga buat Anda. Batu mahal berukir gelar pujian Anda. Jadi, kelak Anda tidak usah repot-repot membayar orang untuk mengukir gelar Anda pada kerikil itu.
Oh ya, saya juga telah menuliskan satu lagi Gelar bagi Anda: Almarhum. Tentu Anda senang, gelar Anda bertambah satu lagi. Gelar itu akan benar-benar Anda dapatkan, jadi Anda tak usah khawatir. Mohon disimpan baik-baik hadiah dari saya ini. Anda boleh memajangnya di ruang tamu atau di kamar tidur Anda, supaya Anda selalu bisa melihatnya. Semoga bermanfaat.
Salam
Mahasiswamu.
Usai membacanya kepalaku berdenyut-denyut tak keruan. Wajah-wajah kecewa itu berkelebat satu per satu menggelayuti dinding kepalaku. Aku menyerupai menemukan maksud indah yang enggan kuterima kebenarannya. Tanganku masih gemetar menimang kerikil kuburan itu. Aku tak mau siapa pun tahu akan hal ini. Sebelum istriku melihatnya, secepat kilat kumasukkan kembali kerikil itu ke dalam kardus kemudian membungkusnya kembali rapat-rapat.
“Wah, isinya apa, Pak? Ibu mau ngeliat?” tutur istriku dengan secangkir teh yang masih bergoyang di tangannya.
“Ah, tak perlu, Bu. Ini cuma hiasan kerikil berukir biasa.” Balasku kecut. Sesuatu yang tidak lezat mulai menggeliat di kepalaku kemudian meletup-letup di palung dadaku. (*)