Lelaki Yang Menderita Jikalau Dipuji | Cerpen Ahmad Tohari
Kedua anak Mardanu, yang satu jadi pemilik kios kelontong dan satunya lagi jadi sopir truk semen, juga jadi materi pujian, “Pak Mardanu telah tuntas mengangkat belum dewasa hingga semua jadi orang mandiri.” Malah seekor burung kutilang yang dipelihara Mardanu tak luput jadi materi pujian. “Kalau bukan Pak Mardanu yang memelihara, burung kutilang itu tak akan demikian lincah dan cerewet kicaunya.”
Mardanu tidak mengerti mengapa hanya alasannya yaitu uang pensiun yang utuh, tubuh yang sehat, anak yang mapan, bahkan burung piaraan menciptakan orang sering memujinya. Bukankah itu hal biasa yang semua orang sanggup melakukannya bila mau? Bagi Mardanu, kebanggaan hanya pantas diberikan kepada orang yang telah melaksanakan pekerjaan luar biasa dan berharga dalam kehidupan. Mardanu merasa belum pernah melaksanakan pekerjaan menyerupai itu. Dari semenjak muda hingga menjadi kakek-kakek ia belum berbuat jasa apa pun. Ini yang membuatnya menderita alasannya yaitu kebanggaan itu menyerupai menyindir-nyindirnya.
Enam puluh tahun yang kemudian dikala bersekolah, dinding ruang kelasnya digantungi gambar para pahlawan. Juga para tokoh bangsa. Tentu saja mereka telah melaksanakan sesuatu yang luar biasa bagi bangsanya. Mardanu juga tahu dari dongeng orang-orang, pamannya sendiri yaitu seorang pejuang yang gugur di medan perang kemerdekaan. Orang-orang sering memuji mendiang paman. Cerita perihal sang paman kemudian dikembangkan sendiri oleh Mardanu menjadi bayangan kepahlawanan; seorang pejuang muda dengan bedil bersangkur, ikat kepala pita merah-putih, maju dengan gagah menyerang musuh, kemudian roboh ke tanah dan gugur sambil memeluk bumi pertiwi.
Mardanu amat terkesan oleh kisah kepahlawanan itu. Maka Mardanu kemudian mendaftarkan diri masuk tentara pada usia sembilan belas. Ijazahnya hanya SMP, dan ia diterima sebagai prajurit tamtama. Kegembiraannya meluap-luap dikala ia terpilih dan menerima kiprah sebagai penembak artileri pertahanan udara. Dia berdebar-debar dan melelehkan air mata dikala untuk kali pertama dilatih menembakkan senjatanya. Sepuluh peluru besar akan menghambur ke langit dalam waktu satu detik. “Pesawat musuh niscaya akan meledak kemudian rontok bila terkena tembakan senjata yang andal ini,” selalu demikian yang dibayangkan Mardanu.
Bayangan itu sering terbawa ke alam mimpi. Suatu malam dalam tidurnya Mardanu menerima perintah siaga tempur. Persiapan hanya setengah menit. Pesawat musuh akan tiba dari utara. Mardanu melompat dan meraih senjata artilerinya. Tangannya berkeringat, jarinya lekat pada tuas pelatuk. Matanya menatap tajam ke langit utara. Terdengar derum pesawat yang segera muncul sambil menabur tentara payung. Mardanu menarik tuas pelatuk dan ratusan peluru menghambur ke angkasa dalam hitungan detik. Ya Tuhan, pesawat musuh itu mendadak oleng dan mengeluarkan api. Terbakar. Menukik dan terus menukik. Tentara payung masih berloncatan dari perut pesawat dan Mardanu mengarahkan tembakannya ke sana.
Ya Tuhan, tiga parasut yang sudah mengembang mendadak kuncup lagi kena terjangan peluru Mardanu. Tiga prajurit musuh meluncur bebas jatuh ke bumi. Tubuh mereka niscaya akan luluh-lantak begitu terbanting ke tanah. Mardanu hampir bersorak namun tertahan oleh kedatangan pesawat musuh yang kedua. Mardanu memberondongnya lagi. Kena. Namun pesawat itu sempat menembakkan peluru kendali yang meledak hanya tiga meter di sampingnya. Tubuh Mardanu terlempar ke udara oleh kekuatan ledak peluru itu dan jatuh ke lantai kamar tidur sambil mencengkeram bantal.
Ketika tersadar Mardanu kecewa berat; mengapa pertempuran andal itu hanya ada dalam mimpi. Andaikata itu tragedi nyata, maka ia telah melaksanakan pekerjaan besar dan luar biasa. Bila demikian Mardanu mau dipuji, mau juga mendapatkan penghargaan. Meski demikian, Mardanu selalu mengenang dan mengawetkan mimpi itu dalam ingatannya. Apalagi hingga Mardanu dipindahtugaskan ke bidang manajemen teritorial lima tahun kemudian, perang dan serangan udara musuh tidak pernah terjadi.
Pekerjaan manajemen yaitu hal biasa yang begitu datar dan tak ada nilai istimewanya. Untung Mardanu hanya empat tahun menjalankan kiprah itu, kemudian tanpa terasa masa persiapan pensiun datang. Mardanu menerima kiprah gres menjadi anggota Komando Rayon Militer di kecamatannya. Di desa daerah ia tinggal, Mardanu juga bertugas menjadi Bintara Pembina Desa. Selama menjalani kiprah teritorial ini pun Mardanu tidak pernah menemukan kesempatan melaksanakan sesuatu yang penting dan bermakna hingga ia pada umur lima puluh tahun.
*****
Pagi ini Mardanu berada di becak langganannya yang sedang meluncur ke kantor pos. Dia mau ambil uang pensiun. Kosim si kakak becak sudah ubanan, pipinya mulai lekuk ke dalam. Selama mengayuh becak napasnya terdengar megap-megap. Namun menyerupai biasa ia mengajak Mardanu bercakap-cakap.
“Pak Mardanu mah senang ya, tiap bulan tinggal ambil uang banyak di kantor pos,” kata Si Kosim di antara tarikan napasnya yang berat. Ini juga kebanggaan yang terasa membawa beban. Dia jadi ingat selama hidup belum pernah melaksanakan apa-apa; selama jadi tentara belum pemah terlibat perang, bahkan belum juga pernah bekerja sekeras tukang becak di belakangnya. Sementara Kosim pernah bilang, dirinya sudah beruntung bila sehari menerima lima belas ribu rupiah. Beruntung, alasannya yaitu ia sering mengalami dalam sehari tidak mendapatkan serupiah pun.
Masih bersama Kosim, pulang dari kantor pos Mardanu singgah ke pasar untuk membeli pakan burung kutilangnya. Sampai di rumah, Kosim diberinya upah yang menciptakan tukang becak itu tertawa. Kemudian terdengar kicau kutilang di kurungan yang tergantung di kaso emper rumah. Burung itu selalu bertingkah bila didekati majikannya. Mardanu belum menaruh pakan ke wadahnya di sisi kurungan. Dia ingin lebih usang menikmati tingkah burungnya; mencecet, mengibaskan sayap dan merentang ekor sambil melompat-lompat. Mata Mardanu tidak berkedip menatap piaraannya. Namun mendadak ia harus menengok ke bawah alasannya yaitu ada sepasang tangan mungil memegangi kakinya. Itu tangan Manik, cucu wanita yang masih duduk di Taman Kanak-kanak.
“Itu burung apa, Kek?” tanya Manik. Rasa ingin tahu terpancar di wajahnya yang sejati.
“Namanya burung kutilang. Bagus, kan?”
Manik diam. Dia tetap menengadah, matanya terus menatap ke dalam kurungan.
“O, jadi itu burung kutilang, Kek? Aku sudah usang tahu burungnya, tapi gres kini tahu namanya. Kek, saya sanggup nyanyi. Nyanyi burung kutilang.”
“Wah, itu bagus. Baiklah cucuku, cobalah menyanyi, Kakek ingin dengar.”
Manik bangkit diam. Barangkali anak Taman Kanak-kanak itu sedang mengingat cara bagaimana guru mengajarinya menyanyi.
Di pucuk pohon cempaka, burung kutilang bernyanyi… Manik menyanyi sambil menari dan bertepuk-tepuk tangan. Gerakannya lucu dan menggemaskan. Citra dunia belum dewasa yang amat menawan. Mardanu terpesona, dan terpesona. Nyanyian cucu terasa merasuk dan mengendap dalam hatinya. Tangannya gemetar. Manik terus menari dan menyanyi.
Selesai menari dan menyanyi, Mardanu merengkuh Manik, dipeluk dan direngkuh ke dadanya. Ditimang-timang, kemudian diantar ke ibunya di kios seberang jalan. Kembali dari sana Mardanu duduk di dingklik agak dibawah kurungan kutilangnya. Dia usang terdiam. Berkali-kali ditatapnya kutilang dalam kurungan dengan mata redup. Mardanu gelisah. Bangun dan duduk lagi. Bangun, masuk ke rumah dan keluar lagi. Dalam indera pendengaran terulang-ulang bunyi cucunya; Di pucuk pohon cempaka, burung kutilang bernyanyi….
Wajah Mardanu menegang, kemudian mengendur lagi. Lalu perlahan-lahan ia bangkit mendekati kurungan kutilang. Dengan tangan masih gemetar ia membuka pintunya. Kutilang itu menyerupai biasa, bertingkah elok bila didekati oleh pemeliharanya. Tetapi sehabis Mardanu pergi, kutilang itu menjulurkan kepala keluar pintu kurungan yang sudah menganga. Dia menyerupai galau berhadapan dengan udara bebas, tetapi alhasil burung itu terbang ke arah pepohonan.
Ketika Manik tiba lagi ke rumah Mardanu beberapa hari kemudian, ia menemukan kurungan itu sudah kosong.
“Kek, di mana burung kutilang itu?” tanya Manik dengan mata membulat.
“Sudah kakek lepas. Mungkin kini kutilang itu sedang bersama temannya di pepohonan.”
“Kek, kenapa kutilang itu dilepas?” Mata Manik masih membulat.
“Yah, biar kutilang itu sanggup bernyanyi di pucuk pohon cempaka, menyerupai nyanyianmu.”
Mata Manik makin membulat. Bibirnya bergerak-gerak, namun belum ada satu kata pun yang keluar.
“Biar kutilang itu sanggup bernyanyi di pucuk pohon cempaka? Wah, itu luar biasa. Kakek hebat, andal banget. Aku suka Kakek.” Manik melompat-lompat gembira.
Mardanu terkesima oleh kebanggaan cucunya. Itu kebanggaan pertama yang paling lezat didengar dan tidak membuatnya menderita.
Manik kembali berlenggang-lenggok dan bertepuk-tepuk tangan. Dari mulutnya yang mungil terulang nyanyian kegemarannya. Mardanu mengiringi tarian cucunya dengan tepuk tangan berirama. Entahlah, Mardanu merasa amat lega. Plong.