Filosofi Rumah | Cerpen Risda Nur Widia
Mula-mula, ia mencari sebuah tanah. Dengan berkendara motor, ia mengelilingi kota bersama istri yang gres dinikahinya lima bulan. Setelah mengitari tempat-tempat; menyusuri gang-gang sempit; lantas jauh meninggalkan kota, alhasil Tarno menemukan sebuah tanah yang sesuai. Memang, terletak jauh dari kota. Nyaris memasuki perbatasan. Ia pun lekas merundingkan dengan istrinya. Wanita itu sempat menolak alasannya yaitu lokasi yang terlalu jauh. Akan tetapi, hati istrinya melunak ketika tahu bahwa suaminya membutuhkan ketenangan ketika bekerja.
“Baiklah! Aku menyerah demi kamu, sayang!” Tukas istrinya mesra. “Semoga, di kawasan ini kelak kau bisa melahirkan karya-karya yang bagus.”
“Terima kasih, sayang,” ucap Tarno lembut. “Kau memang pengertian!”
Sudah sepuluh tahun memang Tarno bekerja sebagai seorang penulis. Dan, telah banyak ia mencetak buku. Keberhasilannya ini tak lepas dari kejadian-kejadian terbelakang di masa lalu; kesadaran mutlak yang secara tak eksklusif dibawanya ketika membangun rumah ini. Pada masa muda, ketika ia menentukan karier menjadi seorang penulis, ia memutuskan mengembara. Hal itu ia lakukan sehabis terinspirasi sebuah film berjudul: On the Road [1]. Ia ingin melihat dunia eksklusif dengan matanya. Seluruh kejadian kasatmata yang tidak ditutup-tutupi atau digubah, sehingga menjadi yummy dipandang. Ia tidak mau menjadi insan munafik yang hanya berbicara pada hal- hal baik. Karena, ia ingin bicara dengan jujur apa-apa yang terjadi di sekitarnya.
Tarno muda menjadi seorang musafir, tidur di emperan toko, makan ala kadarnya, dan terus melangkah semabari mencatat hal-hal yang terjadi di sekitar. Bahkan, pernah terselip di dalam pikirnya: Ia bagai menjadi salah satu dari empat insan pertama tinggal di bumi. Zaman di mana hanya ada Adam, Hawa, Kain, dan Habil [2]. Sebagai seorang pengembara ia merasa menjadi Habil-Homo Ludens—manusia petualang yang jauh mencari rumah; membuat satu sistem bulat relasi antara alam dan kehidupan.
Terbersit pula di kepalanya: Ia berhak atas segala yang ada di muka bumi ini. [3]
Sepanjang pengembaraan, ia melihat tempat-tempat baru, orang-orang asing, kejadian demi kejadian yang terjadi begitu cepat. Tak terbendung. Tak gampang direkam begitu saja. Ia, sebagai seorang penulis, menafsirkan semua itu sebagai sebuah bentuk ruang artistik yang tak tetap; dinamis; dan sulit dikekalkan. Beberapa kali ketika perjalanan ia merasa depresi; melihat segalanya cepat berlalu; melompat dari satu waktu ke waktu yang lain; bergerak dari satu momentum ke momentum yang lain. Ia berpikir: Manusia sekarang menyerupai tak berumah. Manusia hidup tanpa meninggalkan makna.
Dan, ia tak mau menjadi orang-orang yang dahulu ditemukannya itu. Ia tidak ingin terjebak di dalam ruang-ruang transit yang kabur. Pun, pernah Tarno menyesal mengetahui semua itu. Ia tidak menyangka bahwa sebuah bangunan yang manis tidak melulu sanggup membuat seorang nyaman tinggal di dalamnya. Ikatan batin lepas dari setiap individu dengan yang lain. Maka, alhasil dengan sengaja ia menentukan kawasan yang jauh dari keramaian; hingar-bingar yang sering membuat seorang mabuk untuk larut di dalamnya. Tarno hanya butuh sebuah rumah kecil, sederhana dengan seorang hangat menyambutnya ketika lelah pulang bekerja. Dan, menunggu dengan sabar pada masa renta yang rakus menggerogoti usia.
“Kita akan memulai menanam impian dan mimpi di sini, sayang,” kata Tarno meraih telapak tangan istrinya.
*****
Dua pekan kemudian, ia sudah menebus tanah itu. Cukup mahal. Namun, Tarno tidak begitu memikirkan pengeluarannya. Mantap hatinya menyerupai awal menemukan kawasan tersebut. Beberapa bulan setelahnya, ia mulai menentukan orang-orang untuk mengerjakan rumah yang diimpikannya. Tarno sudah merancang sebuah rumah yang tidak terlalu besar. Sudah puas ia dengan rumah mungil dengan beberapa kamar yang setidaknya sanggup menjaga keintiman keluarga kelak di dalam.
Rumah bagi Tarno juga menyerupai samudra; menyatukan sungai-sungai kecil di dalam.
Betapa malang seandainya mempunyai rumah besar, tapi penghuninya tak pernah mempunyai ikatan dan kehangatan. Pun, ia tidak sudi mengulang kegagalan orang tuanya membangun rumah secara harmonis. Karena, dahulu, rumah baginya hanya kawasan bersemayam kemalangan dan dusta. Rumah masa kecilnya yang megah dengan bingar lampu-lampu keemasan terasa menjemukan. Setiap penghuni didalamnya sibuk, hingga alhasil mereka mencari pelampiasan masing-masing. Seperti, ayahnya yang main serong dengan gadis muda. Dan, begitu juga dengan ibunya. Tarno hidup dalam sebuah keramaian yang sunyi.
Berat ia mengingat itu semua. Tidak hingga hatinya menelantarkan keluarganya kelak. Dan, rumah yang mungil dengan tata ruang yang tak terlalu glamor ini sudah cukup bagi Tarno untuk merapatkan kehangatan; mengikat keharmonisan.
“Dapur dan meja makannya kita jadikan satu saja, sayang?” Cetus Tarno.
“Duh, nanti bukannya terasa sempit, sayang?” Istrinya tak setuju.
“Karena terasa sempit itu, jadi kebersamaan kita tidak lari ke mana-mana,” dengusnya mesra.
Hati istrinya melunak. Wanita itu tidak protes. Dan, alasannya yaitu hal itulah Tarno begitu cinta dengan istrinya; selain kuliner yang nikmat yang sanggup terus mengikatnya untuk pulang dengan perut lapar di meja makan. Ya! Sebuah keluarga yang sehat dan senang selalu berawal dari dapur dan meja makan yang bahagia.
*****
Sejak awal membangun rumah, Tarno juga sudah berencana untuk tidak merusak alam di sekitarnya. Sebisa mungkin, ia tidak merusak ekosistem hayati yang sudah terbentuk terlebih dahulu. Banyak pohon yang tidak ditebang. Tarno berpikir: Tak elok rasanya ia mengusir kehidupan yang sudah hidup lebih dahulu darinya di tanah tersebut. Ia mencoba menyesuaikan dirinya dengan alam. Bukan malah sebaliknya! Tarno percaya: Alam yang dihargai dengan baik, suatu ketika akan menghargainya. Dan begitulah. Hal itu terbukti. Belum genap enam bulan pengerjaan rumah, pohon- pohon itu menunjukkan berkah.
Pohon mangga, rambutan, dan jambu air yang ia pertahankan mulai berbuah. Para tukang bangunan pun ia bebaskan untuk memetik. Ia tidak melarangnya. Sebisa mungkin, Tarno membagi kebahagian tersebut.
“Bukannya bila kita jual bisa sedikit mengurangi biaya hidup kita, sayang?” Kata istrinya.
“Segala sesuatu yang berlebihan tak bagus. Nikmat terasa yummy bila sedikit,” leram Tarno.
Dan benar! Buah-buah itu terasa jauh lebih manis daripada buah-buah yang pernah mereka beli di pasar. Bahkan, ketika demam isu buah usai, pohon-pohon di kebun rumah Tarno masih bermekaran. Sampai pembangunan usai, para tukang dan beberapa warga sekitar takjub dengan hal itu.
*****
Rumah bukan saja kawasan untuk tinggal. Rumah merupakan kawasan bagi ‘Tuhan beristirahat’. Sebelum semua kawasan usai dikerjakan, Tarno menyuruh para tukang yang disewanya untuk sedikit memperluas ruang tengah; ruang keluarga. Ia merasa, ketika berkumpul atau berdua dengan istrinya; Tuhan juga ada di sampingnya.
Tuhan mendengarkan setiap keluh yang eksklusif dan tak langsung. Menjadi sesuatu yang ada, tetapi tak berbentuk nyata. Tuhan mengawasi setiap tingkahnya di dalam rumah; perkataan dan apa-apa yang terjadi, atau belum sempat terjadi. Tuhan tinggal di dalam rumah bersama insan yang sering merasa hampa dan sendiri.
Selain itu, ia pun membuat satu kawasan ibadah khusus di rumah itu. Tarno letakkan di depan. Persis di bersahabat ruang keluarga. Rasanya tidak pantas meletakkan ruang khusus itu di belakang; menyerupai yang sering ia temukan di rumah makan atau tempat-tempat lainnya. Yang sering menempatkan Tuhan jauh sehabis segala hingar-bingar hidup. Begitulah. Delapan bulan berlalu. Rumah tersebut sekarang berdiri kokoh. Malam harinya, mereka menginap di rumah tersebut.
Sejenak-sebelum tidur-istrinya meremang. Ada raut kesedihan di sana. “Mengapa kau menikah denganku, sayang?”
“Maksudmu?” Tarno kebingungan dengan pertanyaan itu.
“Bukankah kau sudah tahu!” Air mata menetes. Dan kebahagian mempunyai rumah gres pudar. “Sebelum menikah, rahimku telah diambil. Aku tidak akan bisa mengandung. Kau tidak akan mempunyai anak.”
“Sudahlah, lupakan!” Tarno menenangkan.
“Bukankah sebuah rumah akan lengkap bila ada seorang anak!” Kalimat itu tajam menusuk. “Dan, saya tidak akan membuat rumah gres ini lengkap!”
Tarno tertohok. Ia pandang wajah istrinya. “Rumah bagiku yaitu kawasan untuk pulang. Tetapi, tanpa ada seorang memikirkan atau mencemaskanku, tak ada artinya saya pulang. Rumah bukan sekadar untuk transit melepas lelah, tetapi juga melepas rindu. Dan, kau alasanku untuk terus pulang, sayang!”
Istrinya terdiam. Tak tahu apalagi yang ingin ia ucapkan kepada suaminya. Ia hanya memeluk erat. Tak mau terlepas. (*)
Keterangan:
[1] On the Road merupakan film drama petualangan sutradara Walter Salles;
adaptasi novel On the Road, penulis Jack Kerouch.
[2] Sebelum kehidupan insan dimulai secara seutuhnya di bumi hanya hidup empat insan pertama, yaitu Adam, Hawa, Habil, dan Kain.
[3] Dalam pandangan filsafat arsitektur, Habil yaitu seorang petualang, pengembala ternak yang mengembara; ia menemukan tempat-tempat gres dan cara hidup baru.