Angsa-Angsa Kertas | Cerpen Risda Nur Widia



Setiap malam ketika orang-orang terlelap dalam mimpi manisnya di kamp-kamp pengungsian, saya selalu melabuhkan sebuah lipatan bebek kertas berisi harapan. Aku melarutkannya di sebuah parit-parit kecil dengan genangan air berwarna coklat. Kemudian saya berharap angsa-angsa kertas itu akan tiba di rumah Tuhan yang terletak jauh di ujung sana. Aku selalu percaya bila angsa-angsa kertas yang telah kuguratkan dengan bisikan doa-doa dan harapan-harapan di dalamnya akan memberikan salam rindu kepada orang-orang tercinta di dalam hidupku.

Begitulah kebisaan aneh ini sering saya lakukan selama beberapa waktu terakhir—setelah sebuah peristiwa besar melanda kota ku di pesisir pulau Jawa ini. Aku melaksanakan hal ini hanya ingin menyapa dan mengirimkan salam rindu pada ayah dan ibu yang sekarang entah berada di mana. Gempa bumi disusul banjir besar telah membawanya ke suatu kawasan yang tak saya ketahui. Memisahkan kami. Bencana alam itu sudah menggulung setiap pintal kenangan di kampung halamanku. Tidak ada lagi yang saya miliki ketika ini. Bahkan hangatnya kawasan untuk berteduh. Semuanya raib dihancurkan nasib.

Akhirnya saya hidup sebatangkara: sebagai belum dewasa korban peristiwa yang entah mempunyai masa depan atau tidak. Maka ketika rasa rindu dan sedih itu tiba bersamaan, saya selalu menciptakan angsa-angsa kertas yang di dalamnya telah kuguratkan keinginan dan doa-doaku kepada setiap orang yang saya cintai. Malam ini pun saya kembali menghanyutkan sebuah bebek kertas di sebuah parit kecil di bersahabat kamp pengungsian. Hati-hati saya menyelinap keluar; membawa angsa-angsa kertas yang di dalamnya sudah saya tulis doa-doa dan harapanku. Aku menghanyutkannya dan memandang angsa-angsa kertasku terseok-seok diseret arus. Sesekali saya memejam mata; berharap bebek kertas itu hingga ke rumah Tuhan.

*****

Kamp-kamp pengungsian tampak murung. Banyak orang yang kehilangan jawaban banjir. Pekik tangis seakan menjadi embel-embel kamp pengungsian itu. Mungkin juga teriakan tangis itu sudah menggumpal dan memenuhi setiap sudut kawasan ini. Aku hanya bengong menyaksikan kepiluan demi kepiluan yang tiba silih berganti. Bahkan setiap hari selalu bermunculan wajah-wajah pucat tanpa nyawa, yang menjadi korban bencana. Tubuh-tubuh yang telah koyak atau setengah busuk terlihat sangat mengerikan. Tubuh-tubuh itu mungkin sudah tertimbun lumpur beberapa hari dan pasrah menunggu untuk lekas diselamatkan.

Namun hingga sekarang saya belum juga bertemu dengan sosok ayah dan ibu. Aku tak tahu apakah mereka masih hidup atau telah membusuk di dalam tumpukan lumpur menyerupai tubuh-tubuh lainnya. Memang, betapa berat hidup dengan terus memanggul kegelisahan menyerupai ini. Setiap hari saya seakan hanya menunggu sebuah kabar murung yang mungkin saja tiba terlambat. Maka, hanya dengan angsa-angsa kertas itu saya memberikan doa-doa dan harapan. Aku memberikan semua angan semoga mereka semua masih hidup dan sekarang sedang memikirkanku.

Siang ini pun—setelah usang menunggu—hal yang saya harapkan tak juga datang. Malah yang tiba padaku hari ini yaitu kesedihan berupa kenangan atas ayah dan ibu. Mereka seakan hadir waktu saya melihat setumpuk mayit yang bergelimpangan di kamp. Aku menyerupai melihat sosok ayah dan ibu yang menggelepar tiada daya di sana. Namun ketika saya pastikan lebih lanjut, sosok itu bukan mereka. Tubuhku menjadi lemas. Lamat-lamat air mataku menetes. Aku pun lari ke dalam barak pengungsian; duduk seorang diri; memintal angsa-angsa kertas dan menuliskan doa di dalamnya.

Setelah tujuh bebek kertas itu selesai saya buat. Aku pun bergegas menuju sebuah parit kecil yang setiap waktu tak jemu melabuhkan doa-doaku. Sebelum saya melarutkan angsa-angsa kertas itu, saya memeluknya beberapa menit. Aku kemudian melepaskannya seraya arus air membawanya. Air mataku pun kembali jatuh ketika melihat angsa-angsa kertas itu menjauh membawa doa-doaku.

“Tolong sampaikan pada Tuhan bila saya begitu sedih dan ingin dipeluknya!”

Aku bengong beberapa ketika seraya mengutuk nasib jelek ku. Mengapa saya tak direnggut serta dalam peristiwa itu? Tiba-tiba dadaku terasa begitu sakit, air mataku semakin deras mengalir.

“Mengapa kamu ciptakan kesedihan ini, Tuhan?”

Angsa-angsa kertasku sudah jauh pergi. Namun kesedihan di dalam hatiku tidak mau berlalu. Kesedihan itu bahkan terasa mengental dan memberatkan dada.

*****

Tujuh hari telah berlalu, tetapi keajaiban yang saya tunggu belum juga datang. Di barak pengungsian, sekarang semakin banyak kesedihan. Wajah-wajah pengungsi tampak lelah dan putus asa. Barangkali mereka juga mempunyai nasib yang sama sepertiku—menunggu sesuatu yang tak pasti. Setiap hari semakin banyak wajah-wajah pucat tanpa nyawa yang bergelimpangan. Pekik tangis tak pernah surut mendengung. Bahkan beberapa hari yang kemudian ada seorang perempuan yang nekat mengakhiri hidup alasannya yaitu tahu seluruh keluarganya telah mati terenggut bencana. Aku pun tak lelah mengirim doa-doa dan keinginan dengan angsa-angsa kertas itu.

“Tolong antarkan mereka kembali kepadaku, Tuhan,” kataku sebelum menenggelamkan angsa-angsa kertas itu. “Tolong berikan kedamaian pada setiap orang di sini.”

Angsa-angsa kertas itu saya labuhkan; membiarkannya tersuruk-suruk dibawa air kali. Namun, tanpa sengaja melintas di benakku: Apakah angsa-angsa kertas itu akan hingga ke rumah Tuhan? Apakah angsa-angsa kertas yang membawa doa-doa itu tersesat di jalan? Aku tak tahu. Aku hanya berharap angsa-angsa kertas itu memberikan salam rindu dan doa-doaku kepada Tuhan.

*****

Hari terus berganti dan semakin menumpuk kesedihan di barak-barak pengungsian. Sudah tidak terhitung wajah-wajah tanpa nyawa setiap hari ditemukan. Namun saya belum juga menemukan sosok ayah dan ibuku. Apakah mereka masih hidup atau telah membusuk di kubangan lumpur? Air mataku kembali mengalir. Aku kembali menciptakan angsa-angsa kertas kemudian melabuhkannya di sebuah parit kecil dengan arus yang cukup deras. Namun tiba-tiba, sekali lagi melesat di pikiran bila angsa-angsa kertas yang saya kirim itu tak ada gunanya. Angsa-angsa kertas itu tak akan pernah hingga ke rumah Tuhan. Aku kembali menangis menyesali kebodohan.

“Mungkin, Tuhan tak pernah mendengarkan doa-doaku,” pekikku sesenggukan. “Angsa-angsa kertas itu tak akan pernah hingga ke mana pun.”

Begitulah. Sepanjang hari yang murung itu saya bengong di sebuah pohon yang tak jauh dari kamp pengungsian. Aku menyesali segala kemalangan yang menimpa serta doa-doa yang tanggal entah ke mana. Hujan pun turun perlahan. Aku menatap ke tenda-tenda pengungsian yang telihat suram. Tak putus terdengar dengung sirine ambulan yang membawa mayat-mayat dan korban yang berhasil diselamatkan. Namun, mendadak di balik sebuah gerimis yang turun pelan, saya melihat sepasang sosok yang berjalan sambil bergandengan tangan. Mereka melangkah ke arahku. Sepasang senyum itu merekah indah—menyambutku.

“Kau niscaya sudah usang menunggu?” Sahut sepasang sosok itu. “Maafkan kami sudah membuatmu gelisah alasannya yaitu harus menunggu.

Tubuhku bergetar melihat sepasang sosok yang tampak mesra dan hangat itu bangun di depanku. Aku setengah tak percaya ketika sepasang tangan merangkul dan memelukku. Akhirnya sehabis berhari-hari saya menunggu, mereka tiba juga.

“Ayah dan ibu memang ke mana saja?” Sahutku berlinang air mata. “Aku merindukan ayah dan ibu.”

“Ayah dan ibu hanya pergi sebentar,” sahut mereka kompak.

Aku menatap wajah mereka yang pucat. Mereka seakan tampak lelah. Sepasang mata mereka tampak putus asa. Namun, saya masih mencicipi kehangatan yang sama ketika berada di dalam pelukan mereka. Aku kembali menangis.

“Kau tidak perlu menangis?” Sahut ibu tersenyum riang. “Kau hanya perlu berguru mengikhlaskan?”

“Maksudnya?” Aku menatap wajah ayah dan ibu. Mereka sama sekali tak menjawab.

Mereka mengajakku ke sebuah kawasan yang cukup jauh. Namun, saya tahu ke mana mereka membawaku. Mereka membawaku kembali pulang ke sebuah kawasan di mana kami dahulu tinggal.

“Tuhan tak pernah meninggalkanmu,” sahut ayah ketika kami hingga di sebuah puing-puing rumah yang terendam lumpur. “Tuhan selalu mendengar doa-doamu.”

Hujan mendadak menjadi deras ketika sepasang sosok itu tanpa saya duga menghilang. Aku pun tergeregap. Kini di hadapanku malah ada ratusan bebek kertas yang terbangan penuh cahaya. Angsa-angsa dengan cahaya keperakan itu melayang dan hinggap pada puing-puing kayu yang roboh. Angsa-angsa kertas itu juga membawa seonggok badan tanpa nyawa yang tampak pucat dan koyak berlumuran lumpur. Aku mengenal wajah-wajah itu. Wajah itu yaitu milik ayah dan ibu yang saya rindukan. Tiba-tiba saya ingin menangis. Namun entah mengapa air mataku tak sanggup keluar. (*)

Artikel Terkait

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel