Musuh Turun-Temurun | Cerpen Agus Salim


Kau tahu kenapa saya memanggilmu datang? Aku kira sudah terlalu usang kau sembunyi. Sudah waktunya beraksi lagi. Ya, saya tahu, perjalanan menuju kota ini memang berat. Melelahkan. Tapi tenang. Aku tak akan mengecewakanmu. Begini. Aku menerima petaka berat dan besar. Ini semua alasannya yaitu Marda. Dia yang menciptakan saya jadi begini. Aku ingin melihat beliau juga menderita. Agar kau paham duduk perkaranya, saya ingin ceritakan wacana sesuatu kepadamu.

Ya, malam itu, alasannya yaitu lelah sehabis seharian mengikuti rapat di kantor, tanpa terasa saya tertidur di dingklik ruang kerja rumahku. Tak usang kemudian, saya bermimpi. Aku melihat lima burung bertengger di atas meja kerjaku. Suasana begitu mencekam. Aku tidak suka dengan keberadaan mereka. Ingin mengusir mereka. Tapi tidak bisa. Tubuhku tidak bisa digerakkan. Seperti ada kekuatan mistik mengunci tubuhku. Hanya lisan dan dua bola mataku saja yang bisa digerakkan. Akhirnya, alasannya yaitu tidak bisa berbuat apa-apa, saya membiarkan mereka.

Kemudian saya mencicipi suatu keanehan. Rumahku yang biasanya ramai dengan bunyi Noni, tiba-tiba menjadi sepi. Padahal, hari masih siang. Bahkan, detak jam pun tak terdengar. Ke mana suara-suara pergi, juga di mana Noni berada, saya tidak tahu. Aku pun menaruh curiga. Jangan-jangan burung-burung itu telah memangsa Noni. Sebab mereka sama sekali tak tampak ibarat burung yang biasa saya lihat di sawah-sawah, atau di ranting-ranting pohon, atau di kabel-kebal listrik, atau di TV, atau di kawasan lainnya. Tubuh memang kecil, tapi paruh mereka panjang dan besar. Mereka mempunyai daun indera pendengaran lancip, ekor panjang, bulu-bulu hitam legam dan mata merah ibarat bola api yang membara. Aku pun berprasangka, mereka burung kiriman dan mempunyai kekuatan gaib. Langsung saya menuduh Marda. Ya, hanya beliau musuhku. Dia yang selalu berusaha mencelakai saya dengan cara-cara halus (sihir/ilmu hitam). Untung tubuhku sudah diberi mantra penangkal sihir sama Pakde. Kalau tidak, saya niscaya mampus pada serangan sihir pertama.

Karena Noni tidak muncul-muncul dalam waktu lama, saya pun meyakini beliau memang sudah dimangsa burung-burung itu. Tapi, anehnya, saya tidak bersedih. Bahkan saya merasa senang. Merasa bebas. Lalu, saya mendengar bunyi melontarkan pertanyaan: Buat apa mempunyai kebebasan kalau tubuhmu tidak bisa bergerak? Aku tidak tahu dari mana bunyi itu berasal. Pertanyaan itu benar sekali. Aku pun berpikir keras, mencari cara semoga badan bisa bergerak. Pada ketika berpikir itulah saya mendengar salah satu dari burung itu berkata: Salam, Tuan. Dia menyapaku. Terus terperinci saya terkejut. Bukan alasannya yaitu bunyi burung itu, melainkan alasannya yaitu burung itu bisa bicara. Dan itu semakin melengkapi keyakinanku, burung-burung itu bukanlah burung sembarangan. Burung-burung itu yaitu burung kiriman. Pasti Marda yang mengirim. Lalu burung itu bicara lagi.

“Saya Ababil, dan empat mitra saya ini yaitu panglima-panglima saya. Pasukan saya banyak.”

Betapa kagetnya saya ketika burung itu menyebut nama. Membuat saya bertanya-tanya, apakah benar burung kecil dengan bentuk badan gila ini yaitu Ababil? Kami pun terlibat dalam percakapan panjang.

“Untuk apa kau tiba ke sini?” tanyaku.

“Mengambil jantung Anda,” jawab burung yang mengaku sebagai Ababil itu. Melototlah mataku. Aku pun bepikir kalau mereka juga sudah melahap jantung Noni. Gawat, batinku.

“Untuk apa jantungku kau ambil?” tanyaku lagi.

“Untuk diberikan kepada anjing-anjing neraka. Mareka sangat bahagia memakan jantung insan macam Anda ini,” jawab burung itu.

“Kamu niscaya bergurau,” tegasku.

“Tidak, saya tidak sedang bergurau,” tegas burung itu.

“Siapa yang memberi perintah kepadamu?” tanyaku.

“Tuhan,” jawabnya lugas.

“Tuhan yang mana?” tanyaku mencecar.

“Tuhan Anda, Tuhan saya, Tuhan sekalian alam,” jawabnya lagi.

“Mustahil Tuhan memberi perintah semacam itu kepadamu. Kamu bukan malaikat, nabi, atau rasul. Kamu cuma penghuni udara yang kalau mati akan menjadi debu dan tak dikenang lagi,” tandasku.

“Kenapa mustahil? Dia Maha Pencipta dan Maha segala-galanya. Dia bisa memberi perintah kepada siapa saja yang Dia kehendaki, termasuk kepada saya. Saat ini, saya yaitu utusan-Nya,” tegas burung itu.

“Kamu bukan utusan. Kamu hanya burung kiriman, burung jadi-jadian,” tegasku.

“Saya bukan burung kiriman, apalagi jadi-jadian. Saya burung yang telah diberi kekuatan membunuh dan menghancurkan oleh Tuhan. Jangankan mengambil jantung Anda, memperabukan Anda saya juga bisa,” tegas burung itu.

“Kalau kau memang sudah mendapatkan perintah, niscaya ada alasan kenapa Tuhan menyuruhmu mengambil jantungku,” tanyaku.

“Tentu. Tuhan menyuruh saya dan kawan-kawan saya mengambil jantung Anda alasannya yaitu Anda sudah terlampau jahat sebagai manusia,” jawab burung itu.

“Jahat bagaimana? Kamu mengada-ada,” tanyaku.

“Saya tidak mengada-ada. Tuhan juga tidak mengada-ada. Coba Anda ingat-ingat. Sudah berapa luas tanah yang Anda beli untuk dikuasai. Anda ancam para petani dan tanah mereka Anda beli dengan harga murah. Anda banguni tanah-tanah itu dengan rumah-rumah untuk dijual lagi. Tak hanya itu, Anda juga telah mengkhianati kepercayaan masyarakat yang telah menentukan dan menaruh cita-cita kepada Anda. Banyak mata menumpahkan air mata gara-gara lisan Anda. Banyak jiwa menderita gara-gara ketidakpedulian Anda. Apa Anda sudah lupa dengan semua itu? Bukan hanya orang miskin dan tidak berdaya yang Anda sakiti, tapi juga burung-burung sawah teman kami. Anda itu jahat sekali sebagai manusia,” oceh burung itu.

“Aku tidak paham apa maksudmu,” tukasku.

“Anda tidak paham atau akal-akalan tidak paham? Atau jangan-jangan otak Anda sudah tidak bisa lagi dipakai dengan baik,” sergahnya.

“Baiklah, saya paham. Tapi, apa hubungannya dengan jantungku?” saya mengalah dan balik bertanya.

“Saya juga tidak tahu. Saya hanya mendapatkan perintah. Kalau Anda ingin tahu jawabannya, jantung Anda harus saya ambil dulu. Setelah itu, Anda mati dan bisa menghadap Tuhan dan silakan bertanya sepuasnya,” jawab burung itu.

“Ah, kau semakin ngawur bicaranya. Sudahlah, jangan banyak bicara lagi. Cepat pergi dari sini. Dasar burung jadi-jadian. Pasti yang mengirim kau Marda, kan? Tukang sihir yang rumahnya di ujung jalan itu? Dia itu memang selalu iri kepadaku alasannya yaitu dulu kalah tentangan denganku waktu nyalon jadi anggota dewan kota. Sekarang beliau mencalonkan diri kembali. Jadi, alasannya yaitu takut kalah lagi, beliau mengirimmu untuk mencelakaiku. Benar begitu, kan?” tandasku.

“Anda yang ngawur, Tuan. Saya tidak kenal Marda! Sekali lagi, dengar baik-baik, saya ini yaitu utusan Tuhan,” bentak burung itu.

“Sudahlah jangan mengelak,” timpalku.

“Sepertinya Anda sukar diyakinkan, dan rasanya percuma juga saya bicara panjang-lebar lagi hanya untuk meyakinkan Anda. Sebaiknya saya dan kawan-kawan melakukannya sekarang,” tegas burung itu.

“Kamu mau melaksanakan apa?”

“Sudahlah, membisu saja lisan Anda.”

Burung-burung itu lantas terbang. Berputar-putar diatas kepalaku. Kemudian, dengan kecepatan penuh, mereka menukik ke dalam dadaku secara bersamaan. Tak lama, mereka membawa jantungku pergi. Itulah yang menciptakan saya terperanjat bangkit alasannya yaitu merasa ada yang hilang di dadaku.

Mataku terbuka dan segera disambut dengan bunyi dering ponsel. Staf di kantorku yang menelepon. Dia mengabarkan ada yang memperabukan rumah-rumah yang gres saya bangun; rumah-rumah yang sudah menghabiskan biaya miliaran rupiah; rumah-rumah itu sudah dibeli orang. Gara-gara kabar itulah jantungku jadi sakit. Mau tidak mau, suka tidak suka, saya harus mendekam di rumah sakit mahal ini. Aku telah mengalami kerugian besar.

Begitulah ceritanya. Apa kau sudah paham sekarang? Jadi, apa yang menimpaku ini tak lain tak bukan ialah gara-gara perbuatan Marda, musuh bebuyutanku.

Sekarang, tugasmu ialah menciptakan Marda menderita. Tapi, jangan hingga terbunuh. Kau mau apakan dia, terserah. Ingat, jangan hingga terbunuh. Bukankah kau sudah hebat melaksanakan hal-hal macam itu? Nah, begitu. Jadi, segera laksanakan perintahku ini. Kalau berhasil, ada imbalan besar untukmu. Tak usah khawatir. Ini foto Marda. Kau ingat baik-baik. Jangan hingga salah orang.

Artikel Terkait

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel