Pertunjukan Monolog | Latif Fianto


Aku meninggalkan rumah menjelang Isya. Jalanan sangat ramai dan sesak, padahal bukan final pekan. Dari dua arah berlawanan, yang ditandai oleh garis putus-putus warna putih, kendaraan bergerak mirip kura-kura berlari di atas pasir. Aku benci kondisi jalanan yang mirip ini. Namun, demi menyaksikan Nor Agus, penyair populer yang kukagumi, membacakan puisinya selepas pertunjukan monolog, saya rela menembus sesak kendaraan dan segesit mungkin mencari ruang untuk menyalip.

Sebenarnya, tidak butuh waktu usang untuk hingga di lokasi pertunjukan. Tetapi lantaran macet, penyakit yang kerap menjangkiti kota ini, saya butuh waktu setengah jam untuk sampai. Acara pertunjukan diletakkan di halaman depan Gedung Kebudayaan, di bawah tenda yang dipasang khusus dan sementara. Pertunjukan sengaja diletakkan di luar lantaran ruang utama gedung dipakai untuk festival buku.

Aku duduk di teras depan Gedung Kebudayaan, tidak jauh dari pintu utama. Seorang wanita bertubuh ramping mengenakan ID card yang digantungkan di leher berdiri di depan pintu utama. Seorang wanita lain, bertubuh gempal, mengenakan kaus warna putih, mondar-mandir menyiapkan program pertunjukan yang sebentar lagi akan dimulai. Gedung Kebudayaan, mirip namanya, yaitu sebentuk bangunan tradisional dengan kontur pagar mirip bangunan kerajaan-kerajaan masa lampau.

Di depan panggung pertunjukan disediakan kursi, tapi saya memutuskan untuk tidak duduk di sana. Terlalu dekat. Aku menentukan duduk di belakang lantaran dari sana saya bisa memperhatikan gerak-gerik setiap pengunjung yang datang, apakah mereka tiba lantaran benar-benar ingin menonton pertunjukan monolog atau hanya ingin menghindari sepi dan kejenuhan-kejenuhan.

“Sudah tadi?” Seorang mitra usang duduk di sebelahku, kemudian menawariku air mineral yang sudah tinggal setengah botol.

“Lumayan.”

“Kau tahu siapa yang akan menampilkan pertunjukan monolog?”

Aku menggeleng. “Pemain teater?”

“Gomblo. Tokoh teater lokal yang terkenal. Kau tahu?”

Aku menggeleng. Namanya saja saya gres dengar sekarang. Aku tidak tahu bagaimana gotong royong tokoh teater berjulukan Gomblo itu. Aku menebak, mungkin beliau mirip kebanyakan anak teater yang tak sengaja kulihat di Kafe Pustaka, mengenakan kaus oblong warna hitam atau putih dengan sedikit kata-kata di bab dada atau punggung, mengenakan flat cap dan atribut lain mirip tas samping terbuat dari kain.

Acara dimulai dengan penampilan tari yang dilakukan beberapa anggota sebuah kelompok teater dari Surabaya. Seusai pertunjukan tari seorang pembawa program naik ke atas panggung, berbasa-basi sebentar, kemudian memanggil nama Gomblo untuk mementaskan monolog yang sudah ditunggu-tunggu.

Aku berdiri sebentar, kemudian duduk kembali menopang dagu. Orang-orang yang tidak kebagian dingklik berdiri. Seorang pria bertubuh pendek menjulurkan kepala dari balik punggung seseorang yang ada di depannya. Dalam monolognya Gomblo melontarkan kata-kata yang seolah mengolok-olok dirinya sendiri. Katanya, sastrawan tak bisa berbuat banyak tanpa sumbangan penerbit. Dan tanpa pembaca yang ingin menikmati sastra, takkan ada penerbit yang mau menerbitkan buku-buku puisi. Padahal puisi, katanya lagi dengan pementingan bunyi tajam dan dalam, selalu mengajarkan kita untuk tidak bunuh diri.

Sambil menyimak bahasa satire Gomblo saya memperhatikan wajah orang-orang yang berdiri menghadap panggung. Perhatian mereka tersedot begitu dalam. Lalu, di tengah kerumunan itu pandanganku terbentur pada seorang wanita berkerudung biru mengenakan jaket putih motif bunga. Dia berdiri mendekap tubuhnya sendiri. Wajahnya memantulkan cahaya-cahaya yang tiba dari panggung. Aku tidak mengenal wanita itu. Tapi pada bentuk wajah, garis bibir, dan matanya yang serupa ekor kelinci saya merasa sedang melihat seorang wanita yang sangat kukenal, seorang wanita yang belakang layar kuperhatikan selalu duduk di dekat jendela.

“Sendirian?” tanyaku sok akrab.

Dia menoleh sebentar. “O, ya. Sendiri. Kau?”

“Seperti yang kamu lihat. Suka pertunjukan monolog?”

“Dulu. Sekarang tidak begitu. Kau?”

“Aku ke sini hanya ingin melihat Nor Agus membaca puisi.”

“Nor Agus? Penyair dan cerpenis itu?”

“Dia juga seorang sutradara. Pertunjukan-pertunjukan teater garapannya selalu penuh penonton dan dinikmati artis-artis terkenal.”

Dia diam. Aku menerka, jikalau dulu beliau memang penyuka teater, seharusnya beliau bisa meraba maksud kata-kataku. Tapi lantaran beliau tidak mengatakan tanggapan, konsentrasiku kembali pada Gomblo yang kini duduk di kursi, menulis memakai mesin ketik, yang mengeluarkan suara-suara keras ketika huruf-hurufnya ditekan. Dua perempuan, yang bertindak sebagai tokoh figuran dan sengaja tampil dengan verbal wajah dungu, duduk di lantai dengan rambut ikal yang dibiarkan terurai tak beraturan.

Para penonton sangat serius menghunjamkan tatapan ke panggung. Apakah mereka benar-benar menikmati pertunjukan atau sekadar mencairkan kebekuan-kebekuan sesudah seharian mendekap di dalam kantor, saya tidak tahu. Penonton yang berdiri di sisi kanan semakin merangsek maju ketika Gomblo berhenti mengetik, turun dari panggung, mondar-mandir memelototi penonton seraya berkelakar perihal nasib tak beruntung yang kerap menerpa para pekerja sastra.

“Mau?” Perempuan itu menunjukkan roti yang masih terbungkus plastik.

“Terima kasih.” Aku menatap wajahnya.

“Wajahmu mengingatkanku pada seseorang.”

“O, ya?” Dia menoleh. Matanya mengabarkan bahwa beliau tidak percaya dengan apa yang kukatakan. “Wajahku memang pasaran.”

“Aku tidak bilang begitu.”

“Aku tahu. Maksudku, di dunia, kadang, insan yang satu dengan yang lain mempunyai kemiripan wajah. Hanya satu yang membedakan, sidik jari. Jadi, masuk akal jikalau kamu merasa melihat seseorang pada diriku.”

“Kau sangat mirip.”

“Kita tidak bisa menggeneralisir semua hal hanya dari tampilan fisik yang hingga pada mata. Indra bisa menipu. Sendok yang dimasukkan ke dalam gelas berisi air bisa kelihatan bengkok, padahal tidak. Wajah lebam atau bengkak belum tentu habis dianiaya. Boleh jadi gres selesai operasi wajah.”

Aku terkekeh. Ingatanku pribadi meloncat pada seorang wanita yang diberitakan telah dianiaya hanya lantaran wajahnya lebam-lebam, padahal sesudah ditelisik, berdasarkan pengakuannya, ternyata gres selesai operasi plastik. “Nyatanya,” kataku sambil melirik bentuk matanya yang indah, “kita lebih sering tertipu oleh apa yang hingga pada mata. Aku oke denganmu. Apa yang terlihat tidak selalu mirip itu.”

“Indra bisa menipu, tapi logika tidak.”

“Tunggu, tunggu, tunggu…” Aku memotong kata-katanya. “Jika semua orang berpikir mirip itu maka tidak akan ada orang yang percaya pada indra. Manusia akan berbondong-bondong menuhankan akal. Apa yang tidak sesuai dengan logika akan diragukan kebenarannya.”

“Indra dan logika hanya alat untuk memastikan kebenaran. Apakah benar maritim berwarna biru? Jangan-jangan warna maritim itu bukan yang sebenarnya. Yang sebenarnya, barangkali, yaitu pantulan warna langit.”

Aku mengangguk-angguk. Kami kembali menikmati pertunjukan. Kupikir akan segera selesai, tapi ternyata tidak. Anehnya, pikiranku tidak bisa lepas dari wanita itu. Selain mempunyai wajah manis dan pengetahuan luas, beliau juga cukup gampang diajak berdiskusi, meskipun gotong royong saya tidak terlalu suka berdiskusi. Semakin memikirkannya pikiranku melambung semakin jauh. Terutama perihal seorang wanita yang selalu duduk di dekat jendela dan kulihat bersemayam dalam dirinya.

“Kau masih berpikir bahwa saya mengingatkanmu pada seseorang?” Dia menoleh, memastikan saya mendengar kata-katanya, kemudian memalingkan wajah ke panggung.

Aku tidak bisa untuk bilang tidak. “Bukan hanya mengingatkan, tapi kamu mirip sekali dengannya.”

“Sudah kubilang, wajahku pasaran. Yang mempunyai bentuk wajah sepertiku niscaya banyak, tidak hanya aku.”

Apakah wajah manis juga pasaran? Tapi saya yakin, kataku padanya, setiap orang yang tiba ke kehidupan kita, entah hanya sekejap atau lama, baik yang secara sengaja atau tidak, niscaya mempunyai alasan-alasan, termasuk kau.

Dia hanya menyunggingkan senyum. Kuperhatikan penonton didekat tiang tenda. Seorang wanita mengenakan celana kain, mungkin seorang guru atau seorang karyawan sebuah kantor pemerintahan, sedang menahan anaknya yang berambut keriting, kira-kira berusia enam tahun, untuk tidak pergi kelayapan di sela-sela kerumunan penonton. Anak itu tetap memaksa. Akhirnya, wanita berwajah lembut itu membiarkan anaknya lari-lari memutari area pertunjukan yang tidak terlalu besar. Pertunjukan masih terus berlangsung. Cahaya lampu yang ada di atas panggung seolah memisahkan kami sebagai penonton dengan Gomblo sebagai sebuah dunia yang sedang kami tonton. Ibarat sebuah film di bioskop, pertunjukan yang ditampilkan Gomblo yaitu adegan-adegan yang ditampilkan pada sebuah layar melalui suatu sistem yang sudah dirancang khusus, sementara kami merasa seolah berada di dunia yang lain, dunia penonton. Padahal, antara kami dan Gomblo diatas panggung hanya terpisah oleh jarak kira-kira dua meter.

Setelah hampir satu jam berlangsung Gomblo mengakhiri pementasannya dengan menundukkan kepala seraya diikuti gemuruh tepuk tangan penonton. Pembawa program naik lagi ke atas panggung dan meminta dua penonton maju ke depan, meminta pendapat mereka perihal pertunjukan tadi.

Aku mengajak wanita itu menjauh dari ingar-bingar panggung. Aku mengambil dua botol teh cuek dan membayar semuanya dengan uang 50 ribu. Seraya mengatakan satu botol kepada wanita itu saya menyebutkan namaku, beliau juga.

“Bagaimana penilaianmu terhadap pertunjukan tadi?” tanyaku tidak ingin kehilangan kesempatan mengobrol dengannya.

“Jujur, saya tidak terlalu menikmatinya.” Dia kelihatan agak kaku. “Maksudku, saya tidak bisa menilainya secara objektif.”

“Kau terlihat tegang.”

Dia meminum teh botol beberapa tegukan. “Laki-laki yang tadi mementaskan monolog yaitu mantan suamiku. Dulu kami sama-sama bergabung dalam satu kelompok teater.”

Aku menelan ludah.

“Saat masih bersama-sama kami kerap bertengkar dan itu dipicu oleh kebutuhan-kebutuhan keluarga. Dua tahun yang kemudian kami memutuskan bercerai. Kadang, persoalan ekonomi menjadi lantaran bercerainya sepasang suami-istri.”

Kami terus berbincang hingga sebuah kendaraan beroda empat tiba menjemputnya. Sepeninggal wanita itu saya kembali ke depan panggung, duduk menopang dagu, menunggu Nor Agus membacakan puisinya.(*)

Artikel Terkait

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel