Keadilan | Cerpen Putu Wijaya


Ada suatu masa, ada ketika banyak pedagang es pudeng dari Jawa berkeliaran di Bali. Mereka menggunakan kostum yang menarik dengan topi-topi kerucut, gendongan es puter mereka desainnya cantik. Gelas-gelas beling atau plastik ala koktail bergantungan dengan pudeng berwarna-warni. Kalau mereka lewat belum dewasa selalu memburunya. Kadang-kadang tidak untuk membeli, tetapi untuk mengerumuninya. Pak Amat termasuk salah satu di antara belum dewasa itu. Tanpa merasa malu, ia ikut berebutan untuk membeli es pudeng puter dan mencicipi suasana cerianya. Bu Amat hingga aib melihat kelakuan suaminya menyerupai itu.

Pada suatu hari yang terik, sementara belum dewasa di alun-alun menaikkan layangannya, tukang es pudeng itu lewat. Pak Sersan yang rumahnya di sudut alun-alun berteriak memanggil, anaknya merengek-rengek minta es pudeng. Waktu tukang es pudeng itu menuju ke sana, hampir semua belum dewasa yang sedang main layangan menolehkan kepalanya. Yang punya duit eksklusif lari sambil menggulung tali layangannya. Tak terkecuali Pak Amat. Waktu itu ia sedang memperhatikan seorang juragan ayam sedang memandikan ayam-ayamnya. Amat meraba kantongnya, kemudian mencicipi ada uang di dalamnya. Ia eksklusif ikut berlari ke rumah Pak Sersan.

“Jangan ribut!” teriak Pak Sersan membentak belum dewasa yang berdatangan itu, “Ada orang sakit di dalam!”

“Sabar…sabar…,” kata tukang es pudeng, “Satu per satu semuanya nanti dapat.”

“Aku dulu, saya dulu,” kata belum dewasa sambil mengacungkan uangnya.

“Aku dulu,” teriak Pak Sersan marah, “pudengnya yang merah.”

Tukang pudeng agak panik, ia mengambil pudeng berwarna oren.

“Merah,” teriak Pak Sersan.

Tukang pudeng itu tambah gugup dan menyerahkan pudeng oren. Pak Sersan naik pitam, ia menolak koktail berisi pudeng oren hingga jatuh. Anak-anak ketawa.

“Diam! Merah, kau tahu nggak merah itu apa. Ini merah. Merah menyerupai matamu itu.” Anak-anak tertawa lagi.

Tukang es meraih satu gelas koktail lagi, tetapi sekali lagi ia salah. Ternyata ia meraih pudeng yang warna hijau. Pak Sersan berteriak sekali lagi, “Merah….” Lalu ia mengambil koktail warna merah. Tukang es puter nampak ketakutan, ingin cepat-cepat menuangkan es puter ke atas koktail itu. Pak Sersan eksklusif menyambarnya dan masuk ke dalam rumah.

Anak-anak kemudian menyerbu tukang es pudeng sambil mengacungkan uang minta diladeni terlebih dahulu. Pak Amat pun tidak mau ketinggalan. Ia meraih salah satu koktail dan mendorongkannya ke tukang es puter.

“Aku esnya dobel dong,” kata Pak Amat.

“Aku dulu, saya dulu,” teriak belum dewasa menghalang-halangi Pak Amat. Tukang es puter kewalahan, ia meraih belnya kemudian membunyikannya keras-keras. Tapi, kesannya buruk sekali. Pintu rumah terkuak lebar. Pak Sersan muncul sambil mengacungkan pistolnya.

“Diam kalian. Aku sudah bilang ada orang sakit di dalam.”

“Bukan saya, Pak, anak ini…,” kata tukang es pudeng.

“Tapi kau gara-garanya!” teriak Pak Sersan tidak mau dibantah.

“Bukan saya, Pak!”

Tiba-tiba Pak Sersan meletuskan pistolnya. Semua mendadak terdiam. Anak-anak ketakutan, tukang es pudeng pucat pasi. Pak Amat mencoba menetralisir keadaan sebelum menjadi runyam. Lalu ia memberanikan diri berbicara.

“Pak Sersan, maaf itu salah saya. Anak-anak itu protes alasannya ialah saya minta didahulukan. Saya minta maaf, saya yang salah….”

Pak Sersan menggeleng dan menodongkan senjatanya ke tukang es itu.

“Tidak! B*ngs*t ini yang salah. Kalau beliau tidak bawa es pudengnya keluar masuk kampung kita, belum dewasa tidak akan punya kebiasaan beli es hingga sakit-sakit menyerupai anakku, yang walaupun sudah sakit masih teriak-teriak minta es, bila terdengar klenengan-nya lewat. Dan, beliau tahu sekali itu. Mingg*t! Sebelum saya tembak kamu. Aku sudah banyak tembak Portugis di Timtim, nambah satu tidak apa! Minggat!”

Pak Sersan kemudian menutup pintu dan menguncinya tanpa membayar es yang dibelinya. Tukang es itu pucat pasi, mukanya tak berdarah. Pak Amat menunggu beberapa lama, kemudian berbisik: “Baiknya Bapak pergi sebelum Pak Sersan keluar lagi.”

Tukang es itu terkejut menyerupai mendadak siuman. Ia memandangi Pak Amat kemudian berkata: “Bapak yang beli es kemarin yang deket lapangan?”

“Ya.”

“Mana gelasnya, Bapak belum kembalikan. Itu harganya 50 ribu satu gelas, itu gelas kristal.”

Pak Amat terkejut, bengong. Tukang es mendekat dan menadahkan tangannya.

“Ayo bayar.”

Pak Amat merasa itu tidak lucu lagi. Ia merasa telah menyelamatkan nyawa orang itu, tapi orang itu malah menuntut. Pak Amat kemudian melangkah, tapi orang itu tiba-tiba mengeluarkan celuritnya dan menyerang. Pak Amat masih sempat mengelak tapi tangannya terluka.

“Bayar!”

Pak Amat merasa mampu menghajar orang itu meskipun usianya lebih tua. Semangat mati dalam pertempuran melawan penjajah tiba-tiba bangun lagi. Tapi rasanya itu tidak sepadan dan tidak gaya untuk berhadapan dengan tuntutan keadilan hanya gara-gara tukang es yang kacau itu. Tanpa merasa takut sedikit pun, Pak Amat menaruh uang sepuluh ribu di atas salah satu gelas tukang es itu. Lalu, dengan perasaan hancur lebur, ia berbalik dan pergi. Siap menghajar bila tukang es itu mencoba menyerangnya, tetapi tidak.

Sambil menahan air mata, Pak Amat berjalan pulang. Belum hingga satu kala merdeka gambaran anak bangsa terhadap keadilan sudah sangat berbeda-beda.

“Apa yang sedang terjadi dengan bangsaku ini,” bisik Pak Amat. (*)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel