Anjing Pak Gendang | Cerpen Arsyad Salam


Sejak dulu, anjing tak dapat hidup di kampung kami. Kenapa begitu? Saya sendiri tak tahu. Tapi sepanjang yang saya ingat, binatang yang dikenal punya penciuman tajam itu tak pernah dapat hidup usang di sana. Entahlah kenapa demikian. Menurut dongeng ayah, dulu di kampungku bersama-sama banyak anjing. Tapi hanya sedikit orang-orang renta yang tahu kenapa anjing tak dapat bertahan hidup di sana. Berhubung orang-orang renta yang mengetahui riwayat binatang tersebut semuanya sudah meninggal, maka dongeng soal keberadaan anjing di kampungku hasilnya dilupakan. Dengan demikian, dongeng mengenai wacana binatang tersebut terpotong hingga di situ. Cerita soal anjing ini kata ayah, kembali menghangat bersamaan dengan kemunculan seorang lelaki dari Bungku. Namanya Golopi. Ia tiba sendiri, tanpa anak, tanpa istri. Yang ia bawa hanya seekor anak anjing dan sebuah gendang.

Menurut ratifikasi beberapa warga yang pertama kali mengenalnya, lelaki itu mengaku sebagai orang Kaili. Tapi berdasarkan warga lainnya, konon lelaki itu berasal dari Banggai. Entahlah mana yang benar. Ayahku belum sempat bertemu dengan Golopi selama kedatangannya. Yang terang sesudah beberapa usang tinggal di kampung kami, lelaki ini lebih dikenal dengan nama Pak Gendang. Tentang ini, ayah juga menceritakannya kepadaku dan akan saya ceritakan pula kepada kalian.

Ketika pertama tiba, Golopi tinggal agak jauh dari kampung di sebuah rumah kebun yang telah kosong ditinggal pemiliknya. Orang kampung membiarkan Golopi menempati pondok itu alasannya ia mengaku pemilik pondok itu masih keluarga dekatnya. Lebih dari itu, tak satu pun warga yang tahu latar belakang lelaki berpostur tinggi dan tegap ini.

“Kenapa ia sendiri saja? Di mana istrinya?” demikian seorang warga pernah bertanya kepada ayah.

“Barangkali ia memang belum menikah,” sahut ayah.

Tapi orang itu masih penasaran.

“Ah, masa sih?”

Di kampung kami, untuk lelaki seumuran dia paling tidak sudah punya cucu. Tapi jangan-jangan ia duda. Bisa juga lelaki itu memang tak berniat menikah. Ayah Cuma dapat menduga-duga.

Pada waktu itu semua desa-desa di Kepulauan Salabangka masih berada dalam pengawasan tentara pasca terjadinya perebutan kekuasaan PKI yang gagal. Termasuk desa kami, Gusmataha. Secara rutin anggota koramil sering mengunjungi desa-desa di sana dengan alasan melaksanakan pembinaan.

Suatu hari, ketika ayah sudah menjadi kepala kampung, ayah kedatangan sekelompok tentara. Mereka ialah anggota koramil yang hendak menelusuri keberadaan seorang lelaki yang menghilang dari Bungku. Menurut dongeng komandan koramil kepada ayah, orang yang mereka cari kemungkinan besar bersembunyi di kampung kami. Tapi ayah bersikukuh orang yang mereka cari tidak berada di kampung kami.

“Tidak mungkin ia bersembunyi di sini komandan. Warga sayalah yang lebih dulu akan menangkapnya. Komandan kan tahu semenjak dulu kami menentang paham-paham yang disebarkan kaum kiri yang progresif revolusioner itu.”

Setelah mendengar keterangan ayah, wajah komandan koramil berubah besar hati dan menjadi tenang. Saat itu juga ia mengajak anggotanya pulang dan tak pernah tiba lagi ke kampung kami.

Tapi bersama-sama ayah berbohong. Ayah tahu lelaki yang mereka cari ada di kampung kami. Ya, dialah Golopi. Waktu itu ayah berpikir, bagaimanapun gelapnya masa kemudian lelaki dari Bungku itu, belum tentu ia terlibat perebutan kekuasaan gagal tersebut. Andai hari itu ayah berkata jujur mungkin Golopi tak akan hidup usang di kampung kami. Ayah merasa bersyukur alasannya hingga dia berhenti menjadi kepala kampung tak ada yang tahu jika ia telah berbohong di hadapan komandan koramil.

Dari waktu ke waktu, orang-orang kampung semakin sering mengunjungi Golopi. Termasuk ayah tentu saja. Ayah sering mengobrol di rumah Golopi bersama warga lainnya ibarat Abidin, Tamrin dan Habibu. Tanpa terasa anjing Golopi kini sudah besar. Warnanya coklat kombinasi putih di pecahan perut. Selain gagah, anjing itu juga menciptakan takut belum dewasa kecil di kampung kami. Saking populernya anjing itu, tiap kali ada anak kecil menangis atau rewel dan tak mau makan, ibu mereka tinggal menyebutnya saja dan semua belum dewasa akan membisu dan kembali makan dengan lahap.

“Ayo lekas habiskan buburnya, jika tidak ibu akan panggilkan anjing Pak Golopi gres tahu rasa. Mau kau ibu panggilkan anjing Golopi?” Tentu saja belum dewasa menggeleng ketakutan. Demikianlah para ibu menakut-nakuti anak mereka.

Yang kemudian menciptakan nama Golopi kian melambung ialah kemahirannya memukul gendang. Mula-mula memang terdengar biasa saja, ibarat pukulan tukang gendang lainnya di kampung kami. Tapi lama-kelamaan mulai tampak perbedaannya. Baik caranya memukul maupun rentak irama yang tercipta. Benar-benar lain. Orang-orang renta yang sudah sepuh, mencicipi benar perbedaan itu. Seperti mengandung kekuatan magis yang dahsyat, kata mereka. Nah, kemahiran permainan gendang Golopi mencapai titik puncak tatkala Abidin, memintanya bergendang untuk menghibur tamu dalam rangka memeriahkan selamatan akikah anak bungsunya.

Baru saja program dimulai, terjadilah hujan deras. Guntur menggemuruh, halilintar menyambar. Angin juga mengamuk dengan hebat. Waktu itu banyak pohon kelapa yang tumbang. Abidin hampir menangis alasannya undangan sangat sedikit yang datang. Kursi-kursi banyak yang kosong. Ketika itulah Golopi menghampiri Abidin, berbisik ke kuping lelaki itu, meminta izin untuk memainkan gendangnya. Mula-mula Abidin agak terkejut oleh ajakan yang cukup ajaib itu. Tapi alasannya tak ada pilihan lain, ia pun oke saja. Golopi mengambil posisi duduk bersila dengan gendang di pangkuannya. Sebelum memukul, lebih dulu ia memandang langit yang masih gelap. Lalu ia menggumamkan sesuatu, entah apa, tak ada yang tahu. Kilat masih bersabung.

Pukulan pertama ia ayunkan dengan hikmat sepenuh perasaan. Irama dan tempo ia naikkan perlahan-lahan. Kemudian terdengarlah irama gendang yang aneh, khususnya di kuping para lelaki tua. Hanya mereka yang kenal irama semacam itu. Dan mereka tahu, ketika itu Golopi sedang melaksanakan ritual mengusir angin dan hujan. Tempo pukulan terus meningkat tapi tetap dalam ritme yang teratur. Sebagian warga hanya dapat mendengar irama gendang itu dari rumah mereka masing-masing alasannya hujan dan angin hari itu. Dan mereka mengira bunyi gendang yang mereka dengar dimainkan oleh dua orang atau lebih.

Ketika hingga pada pukulan terakhir, hujan dan angin juga berhenti dengan tiba-tiba. Orang-orang tercengang, setengah terpana menyaksikan kejadian yang sama sekali tidak mereka sangka-sangka. Semua mata kini terarah kepada Golopi yang sekujur tubuhnya lembap oleh keringat. Kepada Abidin ia minta segelas air putih dan meneguknya hingga habis. Sejak itulah warga kampung memanggilnya Pak Gendang.

Sekarang Golopi sudah dianggap keluarga oleh warga kampung kami. Lelaki itu sudah sering kelihatan mandi di sumur umum, yang selama ini tak pernah ia lakukan. Begitu juga dengan anjingnya. Kemanapun Golopi pergi anjingnya niscaya ikut. Ke sumur umum, ke lapangan bola. Bahkan ia sering ikut tuannya bersama warga pergi menangkap kepiting kenari dalam gua kerikil di pantai ujung kampung.

Sampai ketika itu, hanya satu daerah yang belum pernah didatangi Golopi: masjid desa. Tapi tak ada warga yang mempersoalkan itu. Hanya ayahku yang sesekali menggumam sendirian sepulangnya dari masjid.

“Kenapa orang itu tidak pernah sembahyang? Padahal dia beragama Islam.” Entah berapa kali ayah mengucapkan kata-kata ini.

Suatu malam ayahku meninggalkan rumah. Katanya hendak ke pantai, menilik pukat yang ia pasang petang tadi. Tak lupa ia membawa tombak mata tiga, ibarat trisula. Tombak semacam ini memang biasa ia pakai oleh nelayan ketika menyuluh ikan pada malam hari. Waktu itu bulan sudah turun. Kampung hampir gelap sepenuhnya. Ayah berjalan perlahan, melewati rumah-rumah penduduk yang membelakangi laut. Semuanya rumah panggung.

Tiba-tiba ayah berhenti melangkah ketika kupingnya menangkap bunyi tangis bayi di kejauhan. Ia teringat Abidin yang punya anak kecil. Acara selamatannya berlangsung dalam badai, pikir ayah waktu itu. Lalu ia kembali melangkah. Tombak digenggamnya lebih erat. Kebetulan pukat yang dipasang ayah memang tak jauh dari rumah Abidin, ke arah laut.

Ayah berjalan terus. Rumah Abidin semakin dekat. Suara tangis bayi juga semakin keras. Sekarang ayah melangkah lebih pelan namun tetap dalam kewaspadaan penuh. Ia bermaksud mengambil jalan pintas dengan cara melewati kolong rumah panggung Abidin. Tapi sekonyong-konyong, langkah ayah kembali terhenti. Tubuhnya nyaris kaku, seolah sulit ia gerakkan. Sekitar tujuh meter darinya, di bawah kolong rumah Abidin, ayah melihat sesosok makhluk yang sangat ia kenali: anjing milik Golopi. Anjing Pak Gendang. Kenapa binatang itu ada di sini? Tanya ayah dalam hati. Beberapa ketika lamanya ayah terus berpikir. Ketika ayah memandang kembali binatang itu, ia melihat sesuatu yang mengerikan. Mata anjing itu kini berubah merah seraya terus memandang ke atas, ke celah lantai papan rumah panggung. Tangis bayi bertambah keras, kini malah ibarat bunyi jerit kesakitan. Mulut anjing itu sesekali terbuka dengan pengecap yang menjulur terus menerus. Ia niscaya mengendus sesuatu di atas lantai papan rumah panggung itu, pikir ayah.

Ayah masih terus mengamati gerak-gerik binatang itu ketika ia hingga pada kesadaran untuk melaksanakan sesuatu. Tapi belum sempat ayah menarik napas berikutnya, si anjing tiba-tiba menoleh ke arahnya dan mereka bersitatap. Ayah berhenti bernapas, bulu kuduknya meremang. Ayah mencoba memanggil Abidin tapi tenggorokannya ibarat tersumbat. Suaranya tak dapat keluar. Tombak dalam tangan ayah terasa lebih masbodoh sekarang. Ayah merasa telapak tangannya basah.

Ketika kesadaran ayah kembali pulih mengertilah ia kini apa yang sedang ia hadapi. Ini makhluk jadi-jadian, niscaya suruhan seseorang, pikir ayah. Ia mundur selangkah, kemudian dua langkah. Anjing itu kini sudah melihat ayah dengan terang dan mengikutinya keluar dari kolong. Sewaktu ayah berhenti, jarak antara dia dan anjing itu tinggal empat meter. Ayah menggenggam tombak lebih erat lagi.

Perlahan ayah mengangkat tombak sambil mengucap sepotong doa, mungkin semacam mantra. Dan tombak pun melesat menuju sasaran. Kena kau, ucap ayah dalam hati. Beberapa detik anjing itu menggeram keras, kemudian melompat cepat melewati ayah yang masih terpana usai melemparkan tombak. Ayah menoleh ke belakang. Meski hanya beberapa detik, tapi ayah masih dapat melihat anjing itu serta tombak yang menempel di tubuhnya hingga ia menghilang dalam kegelapan. Ayah merasa yakin tombaknya mengenai lambung kiri anjing itu. Sambil berjalan pulang, ayah terus memikirkan kejadian barusan. Juga tombaknya yang terbawa anjing itu. Sampai di rumah ayah eksklusif masuk kamar, berusaha tidur tapi hingga fajar menjelang, ayah hampir-hampir tak dapat memejamkan mata membayangkan kejadian yang ia alami beberapa jam yang lalu.

Esok harinya, pagi-pagi sekali, warga kampung kami digegerkan oleh kabar maut Pak Gendang yang begitu mendadak. Yang aneh, anjingnya juga ikut menghilang.

“Bangun, Pak. Pak Gendang mati, anjingnya juga hilang,” kata ibuku, mencoba membangunkan ayah.

Ayah melompat berdiri dan berlari menuju rumah Pak Gendang. Ketika ayah tiba di sana, orang kampung sudah banyak yang berkumpul tapi tidak ada yang berani masuk. Ayah menyibak tirai pintu kamar Pak Gendang, ingin menyaksikan penyebab maut lelaki itu, apakah benar ibarat yang ia pikirkan semalam. Dan ternyata memang benar. Pak Gendang mati akhir kehabisan darah. Pada sisi kiri perut lelaki itu terlihat luka menganga, ibarat luka bekas bacokan tombak ikan. Perlahan-lahan ayah mundur kemudian keluar dari kamar Pak Gendang seraya mengucap istighfar berkali-kali, puluhan kali, bahkan mungkin ratusan kali, hingga ia tiba kembali di rumah. (*)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel