Kepergian Bapak | Cerpen Anggi Nugraha
Setiap hari, sembari menunggu masa pensiunnya, bapak selalu tampak merenung. Di beranda rumah, ketika pagi datang, ia senantiasa berdiam diri. Tatapannya kosong. Tak usang kemudian, ia berangkat ke sekolah. Sekembalinya mengajar, tanpa sepatah kata pun ia ke ruang makan untuk mengisi perut lantas masuk ke kamarnya.
Aku pernah bertanya pada ibu kenapa bapak jadi ibarat itu. Ibu menjawab, “Ndak tahu juga kenapa bapakmu ibarat itu. Setiap ditanya, selalu saja diam.”
Apa mungkin bapak merasa duka karena sebentar lagi akan pensiun? tanyaku pada ibu. Tapi, berdasarkan ibu, tidak ada korelasi diamnya bapak dengan masa pensiun yang sebentar lagi tiba.
“Seharusnya, orang-orang bahagia bila pensiun,” ucapku. “Lihat itu Pak Syam, sesudah pensiun, ia malah semakin bersemangat. Setiap pagi ia berolahraga, juga berkebun. Pokoknya hidupnya terasa benar-benar dinikmati sekali.”
Ibu pun hanya sanggup membisu manakala lagi dan lagi saya bicara tentang kecacatan bapak padanya. Lambat laun, saya merasa ibarat ada sesuatu yang tengah disembunyikan ibu padaku.
Tanpa sepengetahuan ibu, saya mengunjungi seorang teman bapak. Kepada Pak Kasdiman, saya ceritakan kisah diamnya bapak. “Mungkin ada cita-cita darinya yang belum tercapai, Le?” tanya Pak Kasdiman padaku. Seketika, saya pun teringat insiden beberapa ahad sebelumnya, pada dikala Bapak masih tampak normal ibarat biasanya, ia sempat cekcok dengan ibu dan terlontarlah kata-kata ibarat ini:
“Hampir empat puluh tahun lamanya saya di sini, mengabdi menjadi guru. Dari zaman gajiku sebulan cuman enam puluh ribu. Sudah waktunya kita jual rumah ini dan menetap di Jawa. Aku sudah capek hidup di sini!” ucap bapak pada ibu.
Mungkin itulah alasannya kenapa bapak membisu seribu bahasa. Semua bukan tanpa alasan. Berat rasanya bila harus menjual satu-satunya harta yang kami punya, yaitu sebuah rumah, yang sebenarnya kami sanggup sebagai warisan kakek dari pihak ibu. Itulah mengapa ibu tidak berkenan menjualnya. Tapi, lagi-lagi, sepertinya bapak memang teramat ingin meninggalkan kampung kelahiranku ini dan menghabiskan masa tuanya di tanah kelahirannya.
Demikianlah bapak menjalani hari-harinya dengan kebisuan. Sampai suatu pagi, seekor kucing betina berwarna kecokelatan memasuki pekarangan rumah kami. Seketika kucing itu pun menarik perhatian Bapak. Diraihnya kucing itu dan dielus-elus.
Sedari hari itu, kucing itulah yang menjadi teman bapak setiap waktu. Akhirnya, sesudah sekian lama, bapak pun mau bicara lagi. Sayangnya, bukan kepada kami, melainkan kepada kucingnya itu.
Hari demi hari berganti. Tak usang kucing betina yang ia beri nama Mince itu hamil. Mince melahirkan seekor kucing jantan berwarna belang. Ada motif unik yang seolah membelah wajahnya menjadi dua bagian, hitam dan putih. Bapak menamainya Gorang. Itu tak lain karena kucing jantan yang menghamili Mince disebut-sebut para tetangga sebagai Garong.
Garong yaitu kucing dengan perawakan gempal. Otot-ototnya terlihat jelas. Ia jenis kucing petarung. Tapi, sebenarnya para tetangga lebih sering mendapatinya memangsa bawah umur ayam mereka. Itulah alasannya ia dipanggil Garong.
Setelah kehadiran Gorang, hidup bapak makin berwarna. Tapi lagi-lagi, ia lebih terlihat punya dunia gres sendiri. Bapak hanya sibuk dengan kucing-kucingnya itu. Ia memandikan mereka dengan rutin seminggu sekali, memakai air dengan adonan bunga-bunga semoga kucing-kucing tersebut wangi. Setiap pagi pula, bapak pergi ke pasar untuk membeli daging ayam atau ikan pindang sebagai sajian masakan Mince dan Garong.
Seringkali saya mendapati Ibu mengomel karenanya. “Gimana sih, lha wong tuannya saja ndak makan ikan, ini kucing-kucing setiap hari malah diberi makan daging!”
Tapi, bapak memang tak lagi benar-benar mendengarkan ibu. Sungguh, usang kelamaan bapak ibarat orang aneh.
“Kenapa jadi begitu ya, Bu?” tanyaku lagi pada ibu di suatu sore, mendapati tingkah Bapak yang semakin menjadi-jadi. Mata ibu pun berkaca-kaca. Tak usang ia mengakui bahwa memang dulu, mereka pernah berjanji untuk menghabiskan masa pensiun bapak di Pulau Jawa. Tapi lagi-lagi, dikarenakan satu dan lain hal, tak mungkin Ibu menjual rumah kami ini.
“Bagaimana nanti? Apa kata paman-pamanmu, jikalau tahu kita akan menjual rumah ini? Bukankah wasiat dari kakekmu dulu sebelum meninggal ia melarang untuk menjual rumah ini? Itu yang selalu saja menjadi pikiran ibu, bukannya ibu tidak nurut bapakmu,” pungkasnya.
Aku pun tercenung. Hari ke hari saya berpikir bagaimana caranya semoga semua sanggup kembali normal. Namun, pada suatu pagi sesudah bulan ke bulan berganti, sekonyong-konyong, saya dikejutkan oleh panggilan ibu. Ia tengah mengintip ke dalam kamarnya dan bapak lewat celah pintu yang tak terkunci. “Itu, lihat kelakuan bapakmu! Makin hari makin stres saja!” bisik ibu.
Aku pun terkejut melihat bapak tengah menyedot p*uting sus* Mince. Aku tak habis pikir dengan apa yang tengah dilakukannya. Bapak sungguh sudah tidak normal, pikirku. Aku pun pribadi masuk kamar dan menegurnya. “Ada apa Pak dengan kucing itu?”
Seperti biasa, bapak tak terlihat kaget atau apapun juga. Ia hanya menatapku. Dari gerak-geriknya, saya memahami. Seminggu sebelumnya, Mince gres saja melahirkan lagi. Akan tetapi, karena anaknya mati, p*ting sus*nya membengkak. Karenanyalah Bapak mencoba untuk mengisapnya sendiri. Berharap air susunya keluar, dan nyata-nyata usahanya pun sia-sia. Sungguh, sebuah perjuangan yang konyol.
Di lain waktu, suatu malam, saya pernah membawa bapak berobat ke dokter. Ketika itu ia demam tinggi. Menggunakan motor, saya mengajaknya serta, dan ia pun mau saja, meski ketika ditanya dokter ihwal penyakitnya, akulah yang menjelaskan. Bapak benar-benar telah bisu. Puasa bicara.
Setelahnya, kami pulang setengah mengebut melewati tanah pekuburan yang tak begitu jauh dari rumah. Jalan itu gelap, tak ada penerangan. Di kanan kiri jalan tumbuh semak-semak, juga ilalang. Tiba-tiba, saya dikejutkan oleh seekor kucing yang tengah melintas. Hampir saja saya menabrak kucing tersebut yang terlihat pribadi kabur ke semak-semak. Masih separuh kaget, mendadak Bapak berteriak kencang memanggil kucing tersebut. “Goraaaaaaang!!”
Aku pun menghentikan laju motor. Bapak kemudian turun dan kembali meneriaki kucing tersebut seraya mencarinya di erat semak-semak. Tak lama, dari balik ilalang, kucing itu keluar seraya mengeong. Ternyata benar, kucing itu yaitu si Gorang, kucing jantan kesayangan Bapak. Segera ia naik ke pangkuan bapak. Sungguh, betapa momen yang tak terlupakan.
Namun, masa-masa itu telah berlalu. Sampai kini, bapak tetap menutup diri, dan hanya sibuk dengan kucing-kucingnya yang semakin banyak saja. Manakala hasilnya tiba masa pensiun, Bapak sudah punya dua puluh dua kucing. Rumah kami lebih ibarat mirip peternakan kucing ketimbang rumah manusia. Itulah yang menimbulkan Ibu hasilnya tak tahan dan dengan berat hati menjual rumah kami tersebut meski harus bertikai dulu dengan saudara-saudaranya. Kami pun kemudian pindah ke Purworejo.
Akan tetapi, alih-alih bapak jadi normal kembali sesudah di Purworejo, Bapak malah semakin diam.
“Bagaimana mungkin kita harus membawa serta kucing-kucing itu kemari?” tanya Ibu padaku. Aku pun turut kehilangan akal.
Hari demi hari kehidupan kami semakin tidak harmonis. Bapak semakin membisu karena memikirkan kucing-kucingnya di rumah lama, sementara Ibu selalu marah-marah. Mengomel-ngomel.
Pada suatu pagi, manakala bapak terlihat tengah berdiam diri di serambi rumah, saya mendapatinya dengan perasaan kesal. Kuperhatikan ia dari balik jendela kaca. Dari arah seberang, saya melihat sesuatu bergoyang-goyang dari balik pepohonan. Seekor kucing berwarna belang tampak muncul dari baliknya. Sontak, Bapak bangkit. Dengan girang ia meneriaki kucing tersebut.
“Goraaaaang! Goraaaaang!” demikian yang kudengar. Tapi, kucing itu hanya melengos, seolah tak mendengar teriakan bapak. Ia justru berlari menjauh dari halaman rumah kami.
Kulihat wajah bapak yang girang sambil terus saja memanggil-manggil kucing tersebut. Ia lantas berlari mengejar kucing yang jadi ketakutan itu ke jalanan raya, kemudian masuk ke arah hutan, seraya terus berseru, “Goraaaaang! Goraaaaang!” Demikian berulang-ulang. Semakin jauh, bunyi bapak semakin tak terdengar, kemudian menghilang, tak pernah lagi kembali. (*)