Wisata Kuliner Di Jogja

Yogyakarta bukan hanya "istimewa" daerahnya, tetapi juga istimewa dalam masakan enaknya. Untuk menyantap semangkuk soto Bu Cip di Tamansari atau menikmati legitnya nasi goreng kambing olahan Mbak Sopiah di Warung Sate ”Pak Dakir” di Jalan HOS Cokroaminoto, kita harus menyiapkan stamina istimewa untuk antre tunggu giliran. Bahkan, jikalau menyantap tongseng kambingnya Pak No di Desa Menayu Kulon, Ring Road Selatan, orang akan mencicipi istimewanya sengatan cabai super pedas.

Itulah Yogya. Melengkapi statusnya sebagai kota budaya, ia menyimpan begitu banyak keunikan, teristimewa yang berurusan dengan kemanjaan lidah. Dikategorikan unik sebab olahan kuliner (tradisional) itu jarang ditemui di sajian restoran. Misalnya baceman kepala kambing di belakang Pasar Colombo, Jalan Kaliurang; baceman belibis di Pasar Ngino, Godean; atau baceman burung puyuh dan burung dara di depan gerbang Ndalem Notoprajan. Atau, yang dikategorikan lauk-pauk unik, mirip gorengan cethul goreng di Tamansari, rantengan (baceman empal, babat, iso, rambak, petis) Bu Warno di lantai dua Pasar Beringharjo pecahan timur, berdekatan dengan gado-gado legendaris Bu Hadi.

Masih banyak warung legendaris yang bertahan hingga kini, bahkan dikelola generasi kedua atau ketiga. Yang pernah kuliah di UGM Bulaksumur dipastikan pernah menikmati pecel, sop, dan es sari tomat di SGPC Bu Wiryo. Biasanya, mereka ingin mengenang kembali SGPC yang dulu kondang dengan kejenakaan pelayannya, yang selalu mengistilahkan sajian kuliner dengan ungkapan yang lucu: sop tanpa kawat (maksudnya tanpa mihun), pecel banjir (dengan bumbu kacang yang banyak), atau sop tanpa colt kampus (maksudnya tanpa kol, kubis).

Baca Juga


Sementara yang menggemari kuliner berkuah akan berjodoh dengan Soto Kadipiro di jalan Wates, yang saking melegendanya di sekitar situ banyak muncul kedai soto dengan merk ”Kadipiro”. Namun, ada genre soto lain. Beda bumbu dan dagingnya. Jika soto Kadipiro—juga Soto Sawah di Desa Soragan dan Soto Pak Slamet di Mejing, Gamping—disertai suwiran ayam goreng, maka yang ini berbasis daging sapi: Soto Pak Marto, Soto Bu Cip, Soto Sumuk Gondolayu, Soto Pithes Pasar Beringharjo, atau Soto Pak Sholeh di Tegalrejo.

Sementara di ”fraksi” sate dan tongseng kambing, orang tentu tak dapat melupakan Sate Kambing Pak Amat di Alun-alun Utara, Tongseng Wiyoro, Tongseng Ngasem, Tongseng Babadan Sleman, Sate/Tongseng Mbah Godril, Sate Samirono, Lelung alias Gule Balung di Desa Gesikan, Bantul; SGTK alias Satu Gule Tongseng Kambing Pak Anshor di Notoprajan, Sate Klathak Pak Bari dan Jono di dalam Pasar Jejeran, dan tentu saja formasi warung sate dan tongseng kambing di sepanjang jalan menuju Imogiri yang jumlahnya puluhan. Sementara yang mengidap darah tinggi dapat mengalihkan konsumsinya ke sate sapi alias sate kocor Pak Tjipto di Jalan Kemasan dan beberapa kedai sejenis di pinggiran Lapangan Karang, yang juga berada di wilayah Kotagede.

Menguji kesabaran


Warung-warung legendaris semacam ini dapat berjulukan warung lesehan, kedai, angkringan, depot, atau sekadar dapur. Dapur yang memang benar-benar tempat memasak dan basuh piring. Umumnya, orang tak sabaran menunggu dan pribadi menyantap di dapur sebagaimana selalu berlangsung saban malam di Gudeg Pawon Bu Prapto, Janturan, Semaki, Yogya, yang gres start sehabis pukul 23.30 WIB.

Nah, bicara soal gudeg, variannya pun beragam. Masing-masing dengan keunikannya tersendiri. Ada gudeg kering ala gudeg Wijilan, Gudeg Juminten dan Gudeg mBarek. Ada gudeg berair dengan santan cair atau setengah kental mirip Gudeg Bu Citro, Gudeg Bu Sri di selatan Pasar Klithikan Kuncen; Gudeg Permata, Gudeg Klentheng, Gudeg Mbak Ginuk di Jetis, atau Gudeg Bu Joyo yang selalu menggelar dagangannya pukul 23.00 di sebelah utara Pasar Beringharjo. Juga ada gudeg manggar yang tidak lagi memakai buah nangka muda (gori) di Srandakan, Bantul.

Jika didramatisir, ibaratnya, di setiap jengkal jalanan Yogya orang dapat menemukan sensasi anyar yang barangkali tidak ditemui di kota lain. Terbitnya sensasi itu tak hanya dilihat dari materi bakunya yang nyleneh mirip contohnya sate kuda (di Gondolayu), sate bulus alias sate kura-kura (di daerah Jetis). Juga bukan dikarenakan produk-produk makanannya yang unik macam Oseng-Oseng Mercon (di Jalan KHA Dahlan dan Suryowijayan), atau Sega Kucing/ Sega Meong (di warung-warung angkringan di aneka macam pojok kota).

Namun, sensasi itu dapat jadi sebab memang penjualnya yang kelewat percaya diri terhadap produk jualannya sehingga kurang peduli pada aspek pelayanan. Itu tercermin dari tempatnya yang terkesan rada jorok, tidak menyediakan toilet yang pantas, penyajiannya sangat sederhana dan pelayanannya pun terkesan semau gue.

Bayangkan saja, sementara kita ngebet ingin menikmati gurihnya mangut lele Yu Kini di Desa Ganjuran, Bantul, kurang lebih 15 kilometer selatan Yogya—yang untuk tiba ke situ membutuhkan 35 menit dari sentra kota—sesampai di sana kita belum tentu dapat pribadi makan nkarena nasinya yang belum matang.

Dan, biasanya, pelanggan hanya dapat mengumpat dalam hati meski tetap rela menunggu hingga nasi matang. Malah oleh para pelanggannya, warung Yu Kini terkadang dijadikan indikator kemujuran nasib. Kalau nasib baik, setiba di sana nasi telah tersedia. Kalau belum ada, ya anggaplah untuk berlatih menguji kesabaran.


Sumber: http://www.kompas.com/

Artikel Terkait

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel