Pembuat Peta Dan Penenun Kain | Cerpen Diani Savitri


DI Kota Tuamana yang pernah dialiri sungai purba, hiduplah seorang pembuat peta dengan istri dan putra semata wayang mereka.

Bakat dan keahlian orang memang berlainan. Si pembuat peta ini sedikit berbeda dari para pembuat peta lainnya.Sebetulnya ini biasa. Seperti sering kita lihat bagaimana seorang penari mengungguli penari-penari kebanyakan. Penari kebanyakan menyebabkan gerakannya hiburan bagi kita, pemirsanya. Sebaliknya, ada seorang penari yang melenggang-lenggok seiring irama, menyerupai ia bernapas dengan udara. Menari ia dengan segenap jiwa.

Terhisap kita ke dunianya dikala menyaksikan lenggoknya, lupa akan kenyataan hidup kita sendiri. Pembuat peta kebanyakan sekadar merekam ulang jalur yang sudah ditapak orang ke selembar kertas. Sebaliknya, si pembuat peta yang sedang dikisahkan ini, menggores di lembaran kertas, apa yang digariskan alam, baik yang sudah mewujud maupun yang belum aktual adanya.

Praja tata kota yakni pelanggan tetapnya. Ini alasannya yakni ada saja perubahan tata letak orang bermukim, berniaga, dan berkegiatan. Orang berpindah alasannya yakni kebutuhan atau barangkali alasannya yakni keterpaksaan. Karena mencari daerah yang lebih lapang atau justru ingin berjejalan. Orang berpindah juga alasannya yakni mencari-cari jalan menuju apa yang dicita-citakan.

Menuju suatu titik yang menurutnya ia sanggup meraih kebahagiaan di sana. Maka, ada saja orang yang minta digambarkan denah jalan hidupnya. Di kertas gambar putih selebar dada laki-laki dewasa, si pembuat peta meletakkan titik penanda lokasi terkini dari orang yang sedang mencari tujuannya, dan beberapa pilihan jalan yang mengarah pada titik yang diidam-idamkannya.

Setiap hari pembuat peta bekerja di kamarnya yang gelap. Bukan soal magis sebagaimana ritual dukun. Bukan pula alasannya yakni hampir sepanjang usianya, pembuat peta merasa sendiri dan menentukan mendengarkan bunyi sepi. Tapi alasannya yakni daya lihat pembuat peta bekerja lebih baik dikala ia tidak disilaukan oleh cahaya. Kalau ada tamu, maka istrinya, si penenun kain, akan mempersilakan tamu itu masuk ke kamar kerja suaminya.

Beberapa orang yang pernah bertamu akan bersumpah bahwa dikala pintu terbuka, bukan cahaya dari luar yang memasuki kamar, tapi gelap dari kamar itu yang akan merembang ke luar.

Suatu hari, Srivati, yang sedang mencari jalan pulang, tiba sebagai tamu keempat. Istri pembuat peta yang tadi menemani Srivati duduk menunggu di beranda sebelum tamu ketiga pulang, kemudian mengantarkan Srivati memasuki kamar kerja pembuat peta. Setelah itu si penenun kain senantiasa menunggu di luar kamar, kembali menekuni alat tenun warisan keluarga. Mengikatkan pinggangnya pada pemintal untuk menciptakan alat itu menjadi bab dari tubuhnya, dan bergerak bersamanya. Ia piawai memakai alat pemisah yang menjaga benang supaya tidak kusut.

Perempuan yang percaya dan hormat mencari, sama saja menyerupai tidak ada yang mencintai. Lalu, bagaimana seorang wanita sanggup punya arti? Seingat penenun kain di kemudian hari, suaminya tidak menjawab pertanyaan itu. Namun alasannya yakni diamnya pembuat peta bukan hal yang berbeda dari kebiasaan selama ini, kali itu pun tidak menjadi hal istimewa.

Selepas itu, pada suatu hari, telepon cerdas pembuat peta berbunyi dan layar lebarnya menampilkan sederetan nomor tanpa nama. Ia biasa dicari oleh orang yang tidak mengenal dirinya, tapi pada suami itu tidak pernah mencampuri pekerjaan suaminya. Dijunjungnya harkat menenun kain untuk mereka pakai secara turun-temurun.Demikianlah nenek moyang mereka menetapkan kiprah seorang istri.

Setelah Srivati pulang, dikala makan malam dengan putra mereka, si penenun kain mengutarakan keheranannya.

“Apakah tidak ada yang mencari wanita tadi, dan menuntunnya menuju jalan pulang?” ia bertanya dengan nada bunyi bercampur iba.

Bagaimana sanggup seorang wanita sanggup pergi, sendiri, dan tidak ada yang mencarinya? Kalau itu terjadi padanya, tentu ia akan duka sekali dan menentukan untuk tidak kembali. Bila tidak ada yang membutuhkannya. Lalu, pembuat peta menjawab panggilan telepon.

“Aku belum menemukan jalan pulang. Aku berputar-putar di jalan yang tampaknya harus kuhindari. Peta yang Anda buat tampaknya menyesatkan saya ke rute yang lebih rumit.“

Suara itu dikenalinya sebagai bunyi Srivati. Si pembuat peta tidak segera menjawab.

Lekat diingatnya Srivati sebagai wanita pencari jalan pulang yang pada matanya ada sesuatu yang benderang. Petang itu di kamar kerjanya yang remang, pembuat peta jadi menghindari tatapan Srivati. Sudah begitu pun, pembuat peta masih merasa menyerupai tersihir. Tanpa peringatan atau tepukan di bahu macam pertunjukan di TV yang menciptakan orang kena hipnosis dan sanggup disuruh-suruh untuk melaksanakan hal konyol supaya penonton tertawa. Ia merasa tersihir, tapi sihir yang ini tidak memperbudaknya untuk melaksanakan hal yang tolol, tapi mendekatkannya ke sesuatu yang terasa pasti dan benar. Garis pada peta yang digoreskannya di kertas terjejas dalam dan jelas. Setelah petang itu pembuat peta merasa diingatkan bahwa dirinya juga butuh arah.

“Anda di mana?“

“Entahlah. Tapi ini satu titik di alur yang Anda gariskan untukku.“

Jawaban pembuat peta sekarang lebih menyegera, “Berdiamlah di sana. Biar kutunjukkan jalan untuk Anda.“

*****

Ini malam ketiga dari belum kembalinya si pembuat peta ke rumah. Penenun kain tanpa ratap atau prasangka mulai menanyakan ke kawan, kerabat, dan tetangga. Satu hal yang mustahil dikhawatirkannya; bahwa pembuat peta akan tersesat dan tidak menemukan jalan pulang. Tapi yang ditanyakan, apakah mereka menyimpan dugaan, ke mana perginya si pembuat peta? Kapan kiranya ia kembali? Kini setiap siang, bertambahlah acara penenun kain, selain menenun kain, mengantarkan putra mereka sekolah, dan kunjung-mengunjungi handai tolan sebagaimana yang moyang mereka ajarkan pada setiap istri untuk menjaga silaturahmi. Penenun kain bertanya di sana-sini, ia bersetia mencari tahu keberadaan suaminya.

Setiap petang pula, si penenun kain akan kembali duduk menunggu di dalam rumah, di luar kamar kerja pembuat peta. Kembali menekuni tenunan kainnya. Istri sejati sebagaimana ia, meyakini si pembuat peta suaminya akan kembali. Pikirnya, di mana lagi kehangatan sanggup didapatkan, jikalau kain tenun penghangat badan warisan keluarga sudah ada di rumah?

Matahari tidak sanggup diandalkan dan terbatas masa, terbit dan terbenam sesuai takdirnya. Api yakni moda zaman baheula. Lagi pula, jikalau ijuk mengikat pelepah pada batang, kain tenun keluarga yakni pengikat kasih sayang antarmereka. Demikian ia percaya, demikian yang disematkan oleh leluhur penenun kain pada garis hidupnya.

Tanpa peta, penenun kain menanti suami yang belum kembali. Ia menentukan untuk percaya ada yang lebih tinggi dan sanggup menggariskan jalan hidup. Lebih tinggi dari seorang laki-laki yang dianugerahi kepekaan dan ketajaman pikiran untuk menuangkan garis alam dalam peta bagi orang lain, namun tidak sanggup menemukan jalan pulangnya sendiri.

Dengar-dengar kabar yang samar dan belum tentu benar, pembuat peta dan Srivati sekarang bermukim di satu titik yang digariskan alam untuk mereka. Di daerah yang hanya sangat sedikit orang sanggup memetakannya dan pernah ke sana.

Konon, si pembuat peta menemukan Srivati dengan menyusuri alur sungai purba yang bagi orang kebanyakan cuma legenda. Di kediaman gres mereka, selamanya keduanya tidak pernah benar-benar pulang, juga tidak sanggup beranjak pergi, meski sekarang mereka tak pernah sendiri dan merasa sepi lagi.

Artikel Terkait

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel