Hikmah | Cerpen Risda Nur Widia


Sudah empat tahun Tarno bekerja sebagai guru tidak tetap di sebuah sekolah negeri. Selama itu juga cowok tersebut hidup dengan gajinya yang kecil untuk melengkapi kebutuhan pokok keluarganya. Memang untuk urusan menikah, Tarno gres melaluinya selama dua tahun terakhir. Namun, ia sudah lelah hidup dalam kekurangan alasannya yaitu gajinya yang tak mencukupi. Bisa dibayangkan, selama sebulan, ia hanya digaji tiga ratus ribu rupiah dengan kebutuhan pokok yang banyak. Padahal, pekerjaannya sama beratnya menyerupai guru-guru lainnya yang sudah tetap di sekolah. Ia harus berangkat pagi, pulang sore, merekap nilai, dan merangkap menjadi guru bantu forum bimbingan mencar ilmu di luar sekolah.

Memang mau tidak mau Tarno harus bekerja komplemen di luar. Selain menjadi guru, Tarno juga bekerja sebagai pembimbing forum belajar. Dari pekerjaan itu, Tarno mendapatkan honor yang tidak mengecewakan untuk menutupi kebutuhan pokok. Tujuh ratus ribu setiap bulan. Sayangnya, gajinya itu belum cukup juga. Akhirnya ia dan istrinya membuka perjuangan kecil-kecilan, yaitu berjualan secara online. Hasil jualan secara online itu tidak mengecewakan menambah penghasilannya. Namun, perjuangan jualan yang dilakukan Tarno dan istrinya ini tidak bisa dijagakan setiap bulannya alasannya yaitu tidak tetap. Makanya, jikalau sekarang Tarno tampak renta lebih lima tahun daripada usiannya, hal itu yaitu wajar. Tarno sudah bekerja keras bagaikan kuda.

Hidup yang berliku dihadapi oleh Tarno sebagai guru honor dan pedagang serabutan di dunia maya. Rasanya, apabila mengingat semua itu, Tarno bosan dan ingin mengakhirinya. Sialnya, ia tidak tahu cara mengakhiri hidupnya yang begitu-begitu saja. Tarno hanya bisa menjalaninya dengan berharap kalau suatu ketika hidupnya akan berubah. Begitulah. Dan, seakan apa yang diperlukan oleh Tarno didengar Tuhan, beberapa hari kemudian dirinya mendapati kabar kalau dalam dua hari lagi pemerintah akan membuka lowongan pegawai negeri sipil. Pemerintah memastikan pula akan mendapatkan kuota pegawai yang banyak. Mendengar itu lekas menciptakan Tarno—dan beberapa rekan guru honor lainnya—bahagia.

“Ini bukan hoax kan?” Tanya Tarno. “Nanti hoax kayak yang sudah-sudah.”

“Tidak kok, ini benar! Saya sanggup beritanya dari koran ini,” rekannya itu memperlihatkan bukti isu di koran mengenai tes rekrutmen pegawai negeri. “Peluang ini harus kita manfaatkan. Aku bosan mempunyai honor rendah.”

Tarno melirik ke arah temannya yang mengeluh tersebut. Tarno juga di dalam hati mengamini apa yang dikatakan temannya. Tarno benar-benar sudah bosan menjadi buruh dengan bayaran kecil. Ia ingin mendapatkan jenjang karier dan honor yang lebih baik. Ia ingin menjadi salah satu pegawai negeri tetap dengan bayaran tinggi. Tarno pun risikonya ikut terobsesi dengan impian hidup lebih baik sebagai pegawai negeri. Tarno menjadi sangat antusias ketika menyambut registrasi tes pegawai negeri itu. Sampai-sampai, demi memotivasi diri, ia membawa pulang kliping koran itu dan menempelkannya di dinding rumahnya.

Istrinya yang melihat gelagat Tarno menjadi penasaran. Wanita itu mendekat ke arah suaminya yang gres pulang. Istrinya lekas sibuk membaca kliping koran tersebut. Hingga kemudian perempuan itu sedikit terlonjak alasannya yaitu mendapatkan kabar baik itu.

“Kamu harus mencobanya, Mas!” Tandas istrinya. “Kamu harus diterima semoga hidup kita berubah lebih baik.”

“Betul, Dek!” Jawab Tarno optimis. “Aku harus diterima. Aku sudah bosan miskin.”

Dua hari kemudian sesudah menempelkan kliping koran di dinding, pemerintah lekas mengabarkan rekrutmen pegawai negeri tersebut. Melalui perwakilannya—yang Tarno lihat di televisi—pemerintah membuka registrasi bagi ribuan pegawai untuk diangkat sebagai PNS. Tarno pun tanpa menunda waktu cepat mengumpulkan persyaratan dan mendaftar dengan semangat. Namun, ketika ia tahu ternyata saingannya begitu banyak—bahkan hingga ribuan—Tarno mulai ragu. Tarno pesimistis dengan peluang dirinya: Apakah bisa diterima sebagai pegawai atau tidak?

*****

Malam harinya sesudah mengetahui saingannya yang banyak, Tarno tidak bisa tidur. Siang harinya sepulang kerja pun ia mengalami kegelisahan yang sama. Istrinya sendiri sempat menanyakan: Mengapa ia menjadi pelamun dan tidak menghabiskan makanannya? Tarno menjawab dengan gelengan kepala dan senyum. Demikian pula kini, ketika malam datang, ketika sebelum tidur tadi istrinya kembali mencoba membahas mengenai registrasi tes pe gawai negeri itu. Tarno pun kemudian menyentak sedikit ketus istrinya. Tarno melaksanakan itu—apabila bisa jujur terhadap istrinya—karena ingin menghindari pembicaraan mengenai tes CPNS tersebut. Tarno depresi.

“Bagaimana, Mas? Kamu sudah mendaftar untuk ujian CPNS?” Tanya istrinya kepada Tarno ketika ingin berangkat tidur. “Semoga kau bisa diterima ya, Mas?”

“Oh…” Tarno tergeregap alasannya yaitu lamunannya. “Iya, Dek, doakan saya ya.”

“Iya, Mas. Aku selalu mendoakanmu, Mas,” kata istrinya. “Dan anak kita ini…”

Tiba-tiba, istrinya tersenyum manis. Istrinya juga mengusap perutnya yang tampak datar menyerupai hari-hari biasa. Tarno mengernyitkan keningnya. Tarno mencoba mencari balasan atas konteks antara ‘doa’ dan ‘anak’ yang dikatakan istrinya. Tarno melihat secara bolak-balik dan seksama antara perut dan senyum istrinya. Sementara istrinya masih tersenyum senang di samping Tarno. Memang, istrinya sangat senang ketika pagi tadi mendapatkan balasan atas mual-mual dan hilangnya selera makannya dua hari terakhir. Dari hasil uji klinis yang dilakukan memakai tes kehamilan, perempuan itu dinyatakan positif mengandung.

“Aku hamil, Mas,” lanjut istrinya. “Kau akan menjadi seorang ayah.”

Tarno tentu senang mendengarnya. Apalagi, Tarno dan istrinya sudah menunggu dua tahun kehamilan itu. Dan alasannya yaitu kehamilan istrinya ini, Tarno sejenak bisa melupakan masalahnya. Tarno pun lekas mencium kening dan perut istrinya. Sejalan itu juga Tarno menggumam di dalam hati kalau dirinya akan menjadi ayah. Hanya kebahagiaan itu mendadak hilang ketika istrinya kembali membuka pembicaraan mengenai tes CPNS tersebut.

“Semoga dengan hadirnya bayi ini, bisa menjadi berkah untuk kita, Mas,” ucap istrinya lembut.

Tarno termenung mendengarkan kalimat istrinya. Di dalam kepala Tarno sedang berkecamuk sesuatu. Hati Tarno gelisah. Terlebih lagi, ketika melihat wajah istrinya yang sangat berharap ia bisa diterima sebagai pegawai.

“Kalau kau nanti bisa diterima sebagai pegawai, biaya persalinan dan hidup anak kita niscaya lebih mudah, Mas.”

Tarno hanya bisa menelan ludah getir mendengar semuanya.

*****

Beban yang dirasakan Tarno semakin menumpuk. Kepalanya bahkan terasa berat memikir semuanya. Hari-hari yang Tarno lalui risikonya dihabiskan untuk melamun. Memang selain melamun, Tarno juga berusaha mengerjakan latihan soal ujian masuk. Namun, Tarno tidak bisa memecahkan soal-soal itu. Bagi Tarno, soal-soal itu malah memperlihatkan beban lain—berupa tekanan yang membuatnya semakin depresi. Tarno menyerah. Hanya, ketika mengingat istri dan anaknya, menciptakan Tarno tidak bisa begitu saja meninggalkan persoalan ini. Sampai kemudian Tarno berpikir pendek untuk mendatangi orang pandai yang dipercayai mempunyai ilmu gaib.

Karena tak bisa lagi mengharapkan pada kemampuannya sendiri, Tarno nekat mendatangi orang pintar. Lalu di sana ia disarankan untuk melaksanakan beberapa ritual khusus. Salah satunya yaitu mengambil tali pengikat kafan miliki seorang mayit yang gres saja mati.

“Kau harus mengambil dengan mengeduk makamnya memakai tanganmu. Ambillah tali pengikatnya. Ambil juga sejumput tanahnya. Lalu, tanah itu tebarkan di depan rumahmu. Nanti akan ada yang tiba memperlihatkan balasan atas masalahmu!”

“Apakah tidak ada syarat lainnya? Aku rasa itu terlalu sulit untukku,” Tarno mencoba.

“Tidak ada! Ini pilihanmu! Tapi ingat, kau harus melakukannya sebelum pagi. Kalau tidak, kau akan terkena kutukan.”

Orang pandai itu menjelaskan ada risiko dari apa yang diperbuatnya. Selain bisa dihajar habis-habisan oleh warga bila ketahuan, Tarno juga bisa mendapatkan kutukan kalau gagal menjalankan niatnya. Karena sebelum menjalankan ritual itu, ia harus membaca sebuah mantra khusus semoga semua yang diperolehnya mempunyai khasiat ajaib.

*****

Selama seminggu Tarno menunggu kabar dari salah satu tetangganya yang meninggal. Dan waktu pagi hari mendapatkan kabar sedih itu—yang juga menjadi kabar keberuntungannya—malam harinya Tarno lekas mendatangi kuburan. Tarno pun—sekitar pukul 11.30 malam, lekas mengendap ke makam si mayat. Tarno cepat melaksanakan apa yang disyaratkan oleh orang pandai tersebut.

Tarno mulai menggali kuburan itu dengan kedua tanganya. Dengan cepat dan gesit Tarno bisa menggali tanah kuburan yang masih berair dan gembur tersebut. Sebelum tengah malam bahkan Tarno bisa mengambil salah satu tali pengikat kavannya. Namun, bukannya tidak ada masalah, ketika ingin menguburkan ulang mayit itu, tiba segerombol anjing yang menyerang Tarno. Anjing-anjing itu berusaha merebut tali pengikat kafan. Dan sama menyerupai dalam sebuah cerita pendek berjudul Anjing-Anjing Menyerang Kuburan karya Kuntowijoyo, Tarno bertarung dengan anjing-anjing itu.

Tarno terus berusaha melindungi tali kafan itu. Ia tidak mengalah untuk melawan. Ia bahkan tak memedulikan tangannya yang koyak dan luka-luka alasannya yaitu gigitan anjing. Di dalam kepalanya, Tarno bertekad ingin mendapatkan akomodasi semoga sanggup lulus cpns.

*****

Istrinya sempat curiga dengan luka-luka yang diderita oleh Tarno. Namun, Tarno selalu berkilah ketika ditanya mengenai luka itu. Tarno menyampaikan kalau dirinya diserang binatang liar ketika pulang sekolah. Istrinya percaya. Hanya apa yang diperlukan Tarno mengenai akomodasi dari jimat itu belum tampak juga. Bahkan, ketika harian ujian semakin dekat. Mimpi yang dijanjikan oleh orang pandai itu belum juga datang. Hingga risikonya Tarno mendapatkan informasi dari isu kalau orang pandai itu ditangkap polisi. Orang pandai itu dianggap sudah penipu banyak orang. Dan Tarno yang menjadi salah satu dari korbannya hanya terpekur meratapi uang dua juta serta waktunya yang terbuang. Padahal ujian masuk tinggal menunggu jam lagi. (*)

Artikel Terkait

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel