Bapak, Sang Pembohong | Cerpen Dynna Aslikhatul Kirom
“Pak, kenapa Bapak menatapku menyerupai itu?” ujarku sore itu.
Ia terkekeh renyah menyerupai biasa. “Karena matamu indah, Mbak,” ucap Bapak sambil terkekeh.
Kubiarkan saja. Luweh, batinku. Ya, hanya dalam batin. Mana berani saya menyampaikan eksklusif pada Bapak. Bisa-bisa nanti beliau kutuk jadi batu.
Aku memang terbiasa diam, bicara seperlunya bila Bapak enteng menjawab kata “kenapa”. Dari ratusan orang yang kukenal, bapakkulah yang paling mahir menjawab pertanyaan dari siapa pun, tanpa takut dan kehabisan kata-kata. Bahkan saya berani bertaruh, ia sanggup menjawab pertanyaan rektor dengan enteng dan tanpa beban. Padahal, rektor paling ditakuti oleh orang sekampus daerah beliau mengajar sebagai dosen luar biasa.
Tentu saja, bila tidak begitu, mana mungkin Bapak sanggup mengenal banyak orang dari aneka macam kalangan. Jika bukan begitu, mana mungkin temannya di Facebook mencapai 4.562—yang mungkin sanggup bertambah lagi. Orang yang ingin berteman, tak sanggup mengajukan seruan pertemanan. Berbeda bila Bapak yang meminta lebih dahulu.
Bapak kembali menyeruput kopi. Begitu keras seruputan itu, hingga terdengar terang di telingaku. Ia memang sangat menyukai air hitam pekat itu. Huek! Aku hingga malas membayangkan berapa liter air hitam yang tergenang di lambung Bapak. Mungkin cacing di perut Bapak salah mengolah masakan pokok. Bukan nasi, melainkan kopi. Ya, saking banyak kopi yang Bapak minum setiap hari. Atau, sanggup saja cacing-cacing itu telah berubah menghitam alasannya yaitu terlalu sering berenang di kubangan kopi.
Sudahlah, namanya kesukaan. Siapa pula sanggup melarang? Apa anak wanita semacamku mempunyai daya melarang seorang laki-laki yang jauh lebih tua? Belum selesai saya menasihati, niscaya sudah Bapak beri nasihat sepuluh kali lipat lebih dahulu. Bukankah betapa pun Bapak mempunyai pengalaman hidup jauh lebih banyak ketimbang saya yang gres 13 tahun menghirup udara di bumi? Walau itu gotong royong tak ada hubungan dengan ancaman terlalu sering meminum kopi.
Alasan terkuatku kenapa malas berdebat, alasannya yaitu Bapak jago berdebat. Sebagai penulis, mana mungkin beliau kesusahan merangkai kata-kata. Meski, misalnya, hanya berdebat kasus sepele.
“Teman-teman Bapak yang gres saja tiba menanyakan soal yang sama lagi lo, Mbak,” ucap Bapak tiba-tiba.
“Menapa, Pak?” tanyaku. Anggap saja itu pertanyaan formal. Ya, saya paham betul apa yang akan beliau katakan.
Jemari keriputnya meraih sebuah buku. Itulah salah satu buku karya Bapak yang sudah katam kubaca. Bapak membuka buku itu dan menunjuk satu baris kalimat di daftar isi. Tepat pada judul cerpen kelima.
“Mereka bersemangat menanyakan kebenaran ‘Tamu dari Masa Lalu’.”
“Ya… dan Bapak niscaya menjawab dengan balasan yang sama bukan? Macam waktu kutanya kali pertama,” sahutku. “Macam sewaktu abang kelasku menanyakan soal itu pada Bapak pas menjemput Mbak kan?”
“Lalu Mbak mau Bapak jawab apalagi?”
Aku hanya mengangkat kedua pundak.
“Tidak ada!” jawabku dalam hati. “Karena, Bapak memang pembohong ulung.”
Bapak memang pembohong, benar-benar pembohong. Dia punya banyak hal sebagai objek kebohongan. Cerpen itu hanya satu di antara puluhan, bahkan ratusan, goresan pena Bapak yang merupakan kebohongan. Memang banyak pula kebenaran beliau katakan, beliau wujudkan, tanpa kebohongan.
Bapak, misalnya, berkata akan menutup kedai kopi. Dan beliau memang melakukannya. Berani mengambil risiko, walau kedai itu merupakan salah satu kedai yang cukup ramai di lingkungan ini. Lingkungan kami tinggal, lingkungan kampus daerah Bapak mengajar. Tak jarang pula tamu-tamu jauh dari kota atau luar kota berdatangan untuk merasakan secangkir atau bahkan hanya seteguk kopi di sana.
Seteguk? Ya, banyak orang tiba ke kedai alih-alih membeli kopi, gotong royong bertujuan utama tak lain menemui Bapak. Itulah salah satu efek dari ulah Bapak sebagai pembohong besar.
Namun saya sangat mencintai Bapak.
Bapak menutup kedai alasannya yaitu pertanyaanku tempo hari. “Kenapa Bapak tak punya banyak waktu untukku dan Adik?”
Hanya alasannya yaitu pertanyaan itu, kedai kopi fenomenal Bapak harus berganti menjadi kios buah tak beraturan. Namun layaknya tsunami, meski telah usai melanda, meski daerah yang terkena telah diperbaiki, momen tsunami itu masih begitu terikat dalam memori orang yang menyaksikan. Persis ulah Bapak, sang pembohong. Betapapun telah menutup kedai, Bapak tetap mendapatkan ratusan tamu yang menjadi korban. Setiap hari selalu ada orang datang, meski sekadar mampir.
“Masih menerka cerpen-cerpen Bapak kebohongan, Mbak?”
“Iyalah, Pak.”
“Mbak kan tahu, penulis tidak sanggup membuat karya dari kebohongan? Semua itu dari fakta.”
“Fakta dengan kebenaran yang Bapak semukan!” sangkalku dalam hati.
“Mbak ingat coretan Bapak wacana kolam kamar mandi?”
Ah, mana mungkin saya lupa. Itu berlebihan dan tak membuatku heran setengah mati. Waktu itu, memang kolam kamar mandi kami bocor. Dan Bapak enjoy saja membuat coretan kecil soal kolam kamar mandi yang bocor itu. Heran!
“Becik ketitik ala ketara, Pak.”
Bapak tersenyum kembali. Entah menahan gemas atau hanya meledek atas pendapatku yang berdasarkan pendapat beliau merupakan wujud ketidaktahuan.
Semua orang menyampaikan Bapak hebat. Penulis! Ibu yang dulu kuliah di jurusan bahasa menjadi korban Bapak setiap hari. Namun berbeda dariku, Ibu menanggapi Bapak secara biasa-biasa saja. Malah Ibu kerap kali membantu Bapak. Membantu menyikapi secara kritis karya Bapak.
Kau niscaya sanggup membayangkan bukan bagaimana saya dibesarkan dalam lingkungan luar biasa ini? Lingkungan daerah Bapak dan Ibu begitu kompak melaksanakan hal-hal semu dan palsu. Namun jangan salah. Ibuku beda. Dia lebih suka jadi penikmat.
Hampir sama dengan coretan Bapak yang kubaca siang tadi. Coretan yang gotong royong ingin kupertanyakan ketika ini. Di sana tertulis kisah cinta mereka. Bapak menulis wacana pengejaran cintanya pada Ibu. Dulu, berkali-kali Bapak tiba ke rumah Ibu. Namun Ibu hirau tak acuh. Sering pula Bapak meninggalkan secarik kertas berisi puisi cinta. Romantis memang.
Namun melihat Bapak yang sekarang, dengan rangkaian ribuan kalimat yang luar biasa, saya merasa Bapak jujur ketika menulis dongeng itu.
“Tumben tidak berguru di kamar, Mbak?”
Suara Ibu tiba-tiba membuyarkan lamunanku. Ah, kebetulan Ibu datang! Kuinterogasi saja. Kurasa Ibu lebih sanggup menjadi sumber tepercaya ketimbang sumber yang satu.
“Ingin menginterogasi seseorang.”
Ibu dan Bapak saling lirik. Aku meraih sebendel kertas, kuluruskan lipatan-lipatannya dan kuletakkan di meja sempurna di hadapan mereka.
“Bu, benar dulu Ibu jual mahal waktu Bapak berkali-kali ke rumah?”
“Tidak.”
“Benar Bapak sering menulis puisi cinta dan Ibu menikmatinya?”
“Puisi cinta? Tidak!”
Aku mendengus lirih, “Terakhir, Bu. Benar Ibu jatuh cinta lebih dahulu pada Bapak dan alasannya yaitu itulah Ibu menunggu Bapak sekian lama?”
“Mana mungkin! Ibu mendapatkan Bapak berawal dari kegeraman dan rasa kasihan, Mbak.”
Bapak yang sedang meneguk kopi tiba-tiba tersedak.
“Geram?”
“Karena Bapak mengganggu Ibu dan tak pernah bersikap romantis.”
“Kasihan?”
“Karena Bapak tidak laku-laku.”
Aku mendengus lagi. “Mbak tiba-tiba ngantuk.”
Aku berjalan ke kamar. Benar kan? Lagi-lagi kutemukan kebohongan Bapak. Padahal, hampir saja saya percaya. Sudah kuduga, bapakku memang pembohong. Kenapa?. (*)