Kami Naik Kereta Uap | Cerpenyetti A. Ka
Setiba di pinggir danau, kami membentangkan tikar di bawah pohon yang cukup rimbun. Kami menumpuk kotak kuliner dan botol-botol minuman di satu tempat supaya tidak perlu mencari-cari bila kami butuhkan. Kakakku segera mencopot bajunya dan menyisakan celana pendek hitam berbahan karet. Ia berlari ke danau. “Hati-hati!” teriak ibuku. Kami sudah beberapa kali piknik di danau ini. Kakakku sudah tahu tempat kondusif untuk mandi-mandi. Ayahku mengeluarkan surat kabar dari tas ranselnya. Ia tidak pernah betah membaca gosip lewat ponsel. Ibuku sibuk dengan permainan di gawainya. Setiap hari ia begitu. Tak ada hari yang tidak sibuk dengan majemuk permainan—saat pergi piknik sekalipun.
Aku melihat kakakku sudah asyik bermain air. Ia memang sangat suka segala yang bekerjasama dengan air. Bila hujan turun, ia akan membuka jendela berlama-lama. Ia mengulurkan tangannya keluar dan membiarkan air hujan menitik di jemarinya. Kalau ibuku tidak menegurnya, mungkin ia akan tetap melakukannya hingga jemarinya memutih.
Aku pernah mendengar kisah bahwa kakakku itu ditemukan oleh ayahku di halaman ketika hujan turun deras. Menurut kisah yang beredar, waktu itu hari Sabtu dan ayahku membuka pintu rumah untuk memulai acara pagi. Tahu-tahu ayahku menemukan seorang bayi yang hampir mati kedinginan. Bayi itu dibawa ke klinik dokter terdekat. Ia selamat. Ia kemudian menjadi anak yang tergila-gila pada air. Cerita yang beredar lainnya, tentu saja tentangku. Aku yang diambil dari sebuah panti asuhan. Aku tidak tahu bagaimana cara ayah dan ibuku memilihku. Bisa jadi mereka menyelidiki setiap anak, satu per satu, ibarat menentukan seekor anjing di tempat penampungan hingga mereka menemukan yang benar-benar diinginkan; yang mereka pikir anak paling sempurna, lucu, menggemaskan, tampan atau cantik. Aku jadi ingat kisah dalam novel Pergilah ke Mana Hati Membawamu karya Susanna Tamaro. Si cucu pergi bersama neneknya ke penampungan anjing. Mereka mengamati anjing-anjing yang ada di sana dan tak kunjung menemukan yang menggoda si cucu. Namun kemudian, ada seekor anjing cacat—anjing dengan satu kaki depan yang tak berfungsi lagi—dan tak disangka-sangka si cucu menentukan anjing yang tak diperhitungkan itu untuk ia pelihara. Ini perbandingan yang agak kasar, memang. Aku yakin ayah dan ibuku tidak ibarat itu—maksudku, menyamakan saya dengan seekor anak anjing. Mereka orang renta terbaik bagiku. Namun saya memang cukup ingin tau dengan bagaimana mereka memilihku itu. Kenapa mereka menentukan anak yang hanya mempunyai satu tangan, sementara ada banyak pilihan lain di sana? Kenapa harus aku? Mereka kasihan? Mereka mengira, bila bukan mereka, tidak akan ada orang yang mau mengambilku? Aku pernah ingin menanyakan semua itu. Sayangnya, tidak pernah kulakukan. Ayah dan ibuku bukan orang yang dapat menoleransi seputar keingintahuan kami mengenai masa lalu. Kakakku pernah kena murka besar gara-gara ia menanyakan desas-desus inovasi bayi ketika hujan turun deras. Aku tidak mau mengulangi kesalahan kakakku itu. Aku tidak cukup berani merusak apa yang telah kami miliki selama ini; sarapan pagi bersama, nonton di bioskop di final pekan, makan malam di luar, saya dan ayahku berteriak bersama di depan televisi ketika ada siaran sepak bola kesukaan kami, ibu dan kakakku yang gila film Jepang, yang di mataku tokoh-tokohnya sering kali terlalu masbodoh hingga tak manusiawi lagi, pot-pot tanaman kami yang penuh sesak bayam Brasil di teras rumah.
“Kau tidak ikut mandi?” tanya ibuku yang gres memberi makan seekor kucing virtual di gawainya. Ayahku masih tekun membaca surat kabar. Ia tidak akan melewatkan apa pun, termasuk juga iklan baris yang bekerjsama sama sekali tidak penting baginya; rumah dijual cepat, obat segala macam penyakit, penumbuh rambut, pinjam uang tanpa agunan.
“Tidak,” kataku dengan bunyi malas. Aku tidak terlalu suka air. Aku gampang kedinginan. Aku lebih ingin memandanginya saja dari jauh. Danau yang permukaannya terlihat biru—sebagian lain kehijauan. Aku tidak tahu benda apa saja di dalam danau itu. Kemungkinan ada banyak sekali. Benda-benda yang jatuh dan tenggelam. Orang hilang yang tidak pernah ditemukan. Lumut yang tebal sekali. Ikan-ikan. Kerang. Limbah. Segalanya ada di sana. Dan tentu saja kakakku yang sedang menyelam.
Ibuku melepaskan gawainya. Ia membongkar bekal yang kami bawa. Kue-kue dan minuman. Ia menawari ayahku. Ayah menggeleng tanpa melepaskan matanya dari surat kabar. Ibuku kemudian berkata perihal cuaca. Sebaiknya kita memang tak perlu memercayai gosip apa pun, katanya merasa menang. Tadi malam kami memang mencari tahu asumsi cuaca untuk hari ini. Potensi hujan-badai-petir. Aku tidak begitu ingat detailnya. Nyatanya, pagi-pagi kami menemukan langit yang sangat bersih. Matahari tampak ceria dan anggun dan bikin hangat. Ibuku berseru, ayo, kita berangkat piknik!<
“Apakah kakakmu tidak akan keluar dari dalam danau?” Rupanya ibuku agak cemas juga. Aku memperhatikan kerut-merut di sekitar mulutnya yang terbentuk dari adonan rasa khawatir dan jengkel.
Kakakku memang tampak asyik sekali. Ia muncul dan hilang di permukaan air seperti ia sendirian saja dan kami sedang tidak melaksanakan piknik bersama.
“Aku akan memanggilnya,” kataku.
“Tidak usah,” cegah ibuku. Ia membuka tutup kotak kuliner dan mengambil sebuah biskuit. “Kau harus mencobanya, ini lezat sekali. Mirip pai panggang rasa apel. Kita dapat membuatnya suatu hari. Kau masih ingat cara menciptakan kastengel? Astaga, saya melupakan banyak hal,” kata ibuku. “Kita harus menciptakan semuanya lagi di hari libur.”
Aku mengambil satu. Memang benaran enak. Ayahku menoleh sebentar ke kotak itu, tampak tak berminat, kemudian asyik lagi dengan surat kabarnya.
“Sampai kapan kamu akan terus membaca?” tanya ibuku.
Ayahku tidak menyahut. Mungkin ia mengira ibuku bukan berbicara kepadanya. Kakakku kembali muncul di permukaan air. Aku melambaikan tangan, tapi ia tak melihat ke arahku dan keburu menyelam lagi.
“Astaga!” pekik ibuku. Aku segera berdiri tanpa tahu apa yang terjadi. Aku memang kerap begitu bila terkejut. “Lihat,” kata ibuku menunjuk langit. “Hujan angin kencang niscaya segera turun,” katanya. Ia tampak meratapi keputusan kami yang gegabah perihal pergi piknik di final pekan ini. Langit memang betul-betul gelap secara mendadak.
Aku berjalan ke arah danau untuk memanggil kakakku.
“Cuaca buruk!” teriakku. “Kau harus keluar! Sebentar lagi akan turun hujan badai.”
Kakakku tampak santai. Ia menyelam lagi. Aku mau murka rasanya. Aku berteriak memanggilnya lagi. Memperingatkannya untuk segera keluar dari dalam danau. Ia tidak memedulikan teriakanku. Aku kembali ke tempat ayah dan ibuku sambil bersungut-sungut. Ibu sibuk mengumpulkan kotak makanan. Aku bergegas mengumpulkan botol-botol minuman. Kami harus cepat membereskan semuanya sebelum hujan turun.
Akan tetapi, sebelum semua benar-benar selesai, air hujan sudah berjatuhan, disusul angin kencang yang menciptakan segala sesuatu menjadi sangat buruk. Kakakku muncul dari arah danau. Ia segera mengenakan bajunya dan bergabung bersama kami. Surat kabar ayahku sudah hancur, jadi ia segera melepaskannya. Ibuku menenteng rantang berisi kotak makanan. Aku melipat tikar yang sudah basah. Kakakku membawa tas-tas dan segera berlari ke akrab rimbunan semak, disusul ayah dan ibuku, dan saya yang susah payah membawa tikar. Hujan angin kencang bertambah hebat. Jarak pandang tidak lebih dari beberapa meter saja. Ayahku menyampaikan sebaiknya kami bertahan hingga cuaca sedikit membaik dan kami dapat bergerak ke perlintasan bus untuk kembali ke kota. Ibuku bilang itu bukan keputusan yang tepat. Kami semua lembap kuyup. Kami dapat mati kedinginan. Ibuku menyebut kata Tuhan berkali-kali—itu tanda bahwa ia sangat cemas. Aku mendengar gemeretak di verbal kakakku. Aku sendiri menahan ngilu di tulangku. Dinginnya memang minta ampun. Dan kami tak punya pilihan lain. Lebih-lebih sesudah angin kencang makin menjadi-jadi. Kami semua balasannya tahu, di sinilah kami akan bertahan hingga semua reda—atau tunjangan datang.
Ibuku sudah mencoba berkali-kali menghubungi nomor teman-temannya. Tidak ada yang tersambung. Sepertinya jaringan telekomunikasi lumpuh. Jangan-jangan hujan angin kencang sudah merusak semuanya. Ada banyak kemungkinan yang terjadi. Ibuku berkata bahwa ia hampir membeku. Ayahku tak menyampaikan satu kata pun. Mulut kakakku tambah gemeletuk.
“Kita semua akan mati di sini,” kata ibuku.
“Kita akan hidup, Bu, kita akan hidup usang sekali,” kataku menguatkan diri untuk bicara.
Hujan angin kencang terus mengempaskan segala sesuatunya. Mungkin tidak akan berhenti sebelum semua hancur berantakan. Diam-diam saya tahu bahwa ibuku benar, kami semua akan mati kedinginan di sini alasannya ialah tak ada apa pun yang akan membawa kami pulang dan mengantarkan kami ke dalam sebuah selimut tebal. Sangat mungkin pula tak usang lagi kami terseret air bah yang dapat tiba dari arah mana saja dan kami tak punya kekuatan lagi untuk mempertahankan diri. Jika itu benar-benar terjadi, ada hal yang ingin kuketahui sebelum saya tak ada di dunia ini. Aku ingin tahu siapa diriku. Ibuku sangat mungkin murka besar mengingat ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan soal seserius itu. Namun kami semua akan mati. Rasanya tak akan pernah ada lagi waktu yang tepat. Lagian, kalaupun ada, saya niscaya tidak akan mempunyai keberanian melakukannya selain ketika ini.
“Bagaimana Ibu memilihku dulu?” saya bertanya dengan cepat.
“Apa yang kaubicarakan?” tanya ibuku terheran-heran.
“Aku dulu hidup di panti asuhan. Pasti aneka macam belum dewasa di sana. Kenapa Ibu dan Ayah menentukan seorang anak yang hanya mempunyai satu tangan, sementara begitu banyak yang tepat di sana?” Aku mencicipi air mataku berjatuhan dengan cepat.
“Apa yang kaubicarakan ini?” tanya ibuku lagi. Kemudian ia menangis. Mungkin alasannya ialah kami sebentar lagi akan mati. Mungkin juga alasannya ialah mendengar kata-kataku dan itu melukainya.
Kakakku berkata, “Apa yang kaukatakan kepada Ibu?”
“Kebenaran,” kataku berkukuh.
“Katakan saja kepada mereka, kamu tak perlu lagi menutupinya,” kata ayahku seperti kami tak mempunyai waktu banyak.
*****
Kami semua, kini ini, masih berada dalam kereta uap abnormal yang menjemput kami ketika terjebak hujan angin kencang satu tahun kemudian dan bertualang di antara tumpukan-tumpukan awan. Ayah membaca surat kabar, ibuku makan sekeping biskuit sambil tidak henti mengoceh, kakakku menjulurkan tangannya keluar seperti ia sedang bermain hujan, dan aku—dengan bertopang dagu—berpikir hingga berapa usang lagi kami berada di kereta uap yang mungkin tiba dari dunia dongeng ini. Aku bukannya bosan, malah bahagia dapat berada di sini, tapi harus kuakui bahwa saya mulai merindukan segala sesuatu yang ada di rumah kami.
Ibuku berkata, “Apa lagi yang kaupikirkan?”
Cara ibuku menyampaikan kalimat itu seperti mengingatkan bahwa semua rahasianya sudah ia ceritakan dan seharusnya kami menikmati perjalanan ini dengan hati yang lepas.
“Lihat,” kata ayahku tiba-tiba menyampaikan surat kabar tuanya, “sebuah keluarga diberitakan hilang dalam peristiwa hujan badai.”
“Apa kamu tidak akan berhenti membicarakannya?” kata ibuku sambil mengambil sekeping biskuit lagi. (*)