Gentong Renta | Cerpen Muna Masyari


Dua gentong berusia ratusan tahun itu bagai sepasang insan renta yang tercampakkan. Keduanya duduk muram di sudut kamar paling belakang. Menekur diam. Bibirnya berlumur lelehan pewarna yang pekat dan sudah mengering.

Menatap gentong bau tanah itu tiba-tiba saya menyerupai melihat bayangan ibumu. Melihat kedua tangannya yang berwarna kerak nasi dan telah menghasilkan lembar-lembar batik gentongan, yang sebagian dijual dan sebagian lagi sudah dipersiapkan untuk pernikahanmu, sebagaimana kewajiban seorang ibu mempersembahkan hadiah itu, meskipun sudah pernah kautegaskan bahwa itu tidak perlu!

Dialah wanita Tanjungbumi yang tak lelah menyunggi tradisi meskipun berkelindan dengan sepi.

*****

Lepas hari ketujuh, para tetangga tak lagi bertandang. Tentu mereka kembali sibuk dengan kain mori, lelehen lilin dan gentong, yang sempat ditinggal selama sepekan alasannya yakni ikut bantu-bantu di sini, di rumahmu.

Sepulang dari pekuburan di penghujung senja, sehabis menyirami pusara ibumu dengan air bunga dan doa, saya mampir ke rumahmu. Kunyalakan lampu di teras, di ruang dalam, di kedua sudut belakang rumah dan di pojok halaman. Kutatap tembok bercat putih gading, plafon, lantai mengilap, lemari yang masih baru, pintu kayu berukir, sofa, semua hanya benda-benda absurd yang nanti takkan pernah memberi kenangan apa pun padamu! Percayalah!

Tali jemuran yang membentang di tepi halaman, daerah ibumu mengangin-anginkan kain batik yang gres dicelup pada pewarna, juga pohon jambu biji di belakang rumah yang sekarang mulai menguning daun-daunnya, keduanya akan mengasingkan dirimu, menyerupai mitra usang yang enggan menyapa.

Hanya pada dua gentong bau tanah itu akan kautemukan bayangan ibumu. Bersama benda peninggalan leluhur itulah ibumu berkarib memilin sepi. Menunggumu pulang dengan kerinduan berkelindan. Dan kini, benda bau tanah itu tampak muram ditinggal pemiliknya. Gelap yang tersisa dikala kulongokkan kepala, mengintip ke dalam. Mirip bilik d*da ibumu; tak tertebak bagai lorong diam-diam yang panjang.

Dalam gentong bau tanah itulah ibumu mencelup dan merendam kain mori yang sudah direngreng dan dipolesi lelehan lilin, untuk mewarnainya, memakai pewarna dari kulit mengkudu, kulit mundu campur tawas, daun tarum, kulit pohon jati, dan pewarna-pewarna alami lain.

Kain mori yang sudah direndam sekian usang diangkat, dianginkan, kemudian dicelup lagi. Dianginkan lagi, dicelup lagi. Dianginkan lagi. Dicelup lagi. Lalu direndam lagi. Satu lembar kain batik membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk menghasilkan warna yang pekat dan lekat. Sungguh suatu proses panjang dan melelahkan. Aku yakin, dari proses pekerjaan itulah kesabaran serta keteguhan ibumu terlatih. Tangannya hingga berwarna kerak nasi. Bahkan sewaktu kecil kamu selalu menolak disuapi memakai tangannya yang cokelat kehitaman.

Sempat terlintas di benakku, apakah warna pekat dalam gentong bau tanah itu yang telah menyuramkan kehidupan ibumu, atau justru kelahiranmu yang telah melurup cahaya dalam kehidupannya?

Kata ibumu, kamu lahir pada Ahad legi surup hari, ketika beras di dapur tinggal sekenyang burung, dan ayahmu sedang melaut meninggalkan dompet kosong. Ibumu melahirkan dalam kesendirian menjelang gelap malam, di usia kandungan belum genap sembilan bulan. Pertolongan pertama diberikan seorang ibu tetangga terdekat yang mendengar jerit tangis pertamamu, yang tak lain yakni ibuku.

Air susu ibumu yang hanya setetes-duatetes kekuning-kuningan membuatmu menangis lapar siang dan malam. Daun katuk, daun pepaya, tidak banyak membantu kesuburan air susunya. Akhirnya, hasil ayahmu melaut semakin tak mencukupi kebutuhan alasannya yakni harus membeli susu formula. Apalagi dengan mengasuhmu yang rewel, ibumu tak lagi bisa membatik untuk membantu bergeraknya roda ekonomi keluarga.

Utang terus bertambah demi memenuhi kebutuhan sehari-hari, menciptakan ibumu tak berani mencegah dikala ayahmu meminta izin membuka perjuangan warung makan di Pasar Blega, mengikuti jejak sepupunya yang sukses membuka perjuangan di sana.

Dengan menggadaikan sepetak tanah untuk modal dan uang sewa lokasi, ayahmu berangkat sehabis menggelar program timangan di usiamu yang menginjak 40 hari, dan telah menambah tumpukan hutang demi program itu.

Enam bulan ayahmu bolak-balik Blega-Tanjungbumi, pulang setiap Kamis sore, kembali ke Blega pada jumat pagi. Menginjak bulan ke tujuh, ayahmu mengajak ibumu membantu usahanya yang mulai ramai pelanggan. Kau disuruh titipkan pada bibi, adik kandung ayahmu yang belum dikaruniai keturunan meskipun sudah empat tahun menikah. Apalagi kamu memang tidak menyusu. Akan tetapi, ibumu menolak ikut dan meminta cari orang lain untuk membantu pekerjaan ayahmu.

“Dia masih terlalu kecil untuk dititipkan.” Jelas ibumu dikala bercerita pagi itu, ketika kamu memintaku menemuinya sehabis kaukirimkan sejumlah uang untuk merenovasi rumah.

“Kenapa tidak membawanya ikut serta?” tatapku.

“Masalahnya, kalau semua pergi, rumah ini jadi kosong, tidak ada yang menempati dan merawatnya.”

Alasan ibumu, seraya memberi noktah pada hamparan kain mori dengan canting yang gres dicelupkan pada lelehan lilih. Aroma lilin yang didih dalam wajah lebih kukenali sebagai aroma wanita di kampung ini.

Sekarang gres saya mulai mengerti alasan ibumu tidak sesederhana itu.

Apakah kamu masih ingat? Menginjak usia delapan belas tahun, ketika kamu meminta izin melanjutkan pendidikan ke luar Madura, wajah ibumu berubah sendu menyerupai langit tersaput awan kelabu.

“Tidak usah jauh-jauh!”

“Masih di seputar Jawa.”

Sudah biasa kulihat kamu merajuk setengah memaksa.

“Keluar dari kampung sendiri namanya tetap jauh. Tidak baik bagi anak perempuan!”

“Memangnya kenapa kalau anak perempuan?”

Bukan hanya sekali kudengar pertanyaan bernada protes kamu ejekan untuk hal-hal lain, ketika terbentur hukum sebagai anak perempuan. Bahkan sewaktu kecil, ketika ibumu melarang memanjat pohon jambu biji, kamu pun menunjukkan protes yang sama. Padahal waktu itu saya yakin, kamu bisa memanjat lebih tinggi mengalahkanku. Akibatnya, kamu hanya bisa menengadah di bawah seraya mengemis lemparan dariku yang nangkring kegirangan di dahan sambil mengunyah jambu biji yang sudah matang. Kau semakin merengut kesal alasannya yakni tidak segera kulempari buah jambunya, justru kulit sepahan yang sengaja kusemburkan ke bawah sambil tertawa mengejek. Penuh kemenangan.

Aku yakin hatimu merutuk geram alasannya yakni terlahir sebagai anak wanita yang terlalu banyak dikenai aturan!

“Kau bisa melanjutkan sekolah di sini.” Jawab ibumu, sehabis membisu sesaat.

“Sukdi melanjutkan ke Jogja! Masa saya di Madura terus?” sungutmu.

Untuk kesekian kali saya tersenyum menang.

“Dia laki-laki!”

Weeek!

Kujulurkan lidah, mengejekmu menyerupai biasa.

“Apa bedanya pria dan perempuan? Nilaiku lebih tinggi dari nilainya!” kejarmu tak terima.

Ibumu tidak menyahut.

Kemampuanku memang selalu di bawahmu dalam hal apa pun, termasuk nilai mata pelajaran. Hari libur, waktu yang biasa kamu habiskan dengan mengulang pelajaran untuk menghadapi ujian malah kupergunakan untuk membantu ibu menguliti pohon jati dan mengkudu. Kadang saya juga membantu ibumu. Aku beruntung saja alasannya yakni terlahir sebagai pria yang selalu dianggap lebih istimewa dari anak perempuan.

Saat itu kamu tetap berkeras hati mendapat kesempatan yang sama sepertiku. Jelas tidak mau sekadar menengadah sebagaimana yang pernah kamu lakukan di bawah pohon jambu.

Biaya pendidikan kamu peroleh dari sumbangan ayahmu yang disimpan oleh ibumu. Sejak mendengar ayahmu menikahi wanita yang telah membantu perjuangan warung makannya dan hanya sesekali pulang untuk menyerahkan uang, ibumu tidak pernah memakai uang itu, kecuali untuk kebutuhanmu jikalau ia sudah merasa tidak mampu.

Keteguhan hasratmu menciptakan ibumu kembali terjebak dalam kepentingan dan kebutuhan di luar harapan dirinya. Ia terpaksa melepasmu pergi dengan hati terkunci, hingga kita tidak bisa membaca apa yang tersimpan di bilik dadanya.

Setelah kuliah kamu selesaikan dengan prestasi gemilang, dengan gampang kamu memperoleh pekerjaan mapan bergaji besar di tanah rantau, hasrat dan dendammu pun menjulang. Hendak kamu buktikan pada kampung halaman bahwa wanita juga bisa mendulang kesuksesan.

Hal yang sama terulang. Ketika ibumu usai bercerita ihwal masa kemudian pagi itu, kemudian kusampaikan pesanmu, bahwa rumah yang selama ini ditinggali hendak kaurobohkan diganti dengan rumah yang gres tanpa ingin melibatkan sang ayah, sekali lagi ia menentukan mengalah memeram desah.

Kau lupa satu hal, bahwa ibumu semakin tersuruk dalam lorong panjang yang kian suram. Tidak ada lagi rumah penyepuh kenangan, dan kamu seolah lupa jalan pulang. Bahkan, sehabis ibumu tiada pun kamu tak sempat mengantarnya ke pekuburan, seolah kabar sedih yang kukirim tak pernah sampai.

*****

Ketahuilah! Setelah orangtua tiada, hilang rumah bagi anak perantau untuk pulang. Aku telah merasai itu. Setelah ibuku pergi, rumah yang tertinggal bagai daerah absurd dalam persinggahan. Tidak punya tetangga. Tidak punya teman dekat. Hidupku terasing di kampung sendiri.

Sejak itu saya mulai mengerti. Rumah, yang pernah dipertahankan ibumu, tak lain yakni lingkungan daerah menjalin ikatan, daerah mengembangkan kasih sayang, membangun rasa kepedulian, melestarikan jejak warisan, yang seharusnya dirawat oleh sentuhan tangan perempuan.

Akan tetapi, barangkali kesempatan masih bisa kamu gapai. Bukankah bagi wanita Tanjungbumi, selain lingkungan ia masih mempunyai gentong bau tanah sebagai rumah pengabdian? Sejauh-jauh melambungkan angan di tanah rantau, pada warisan nenek moyang ia akan menemukan daerah untuk pulang, kecuali selamanya ingin jadi pengembara dan melupakan tanah kelahiran.

Apakah kamu masih akan menyesal terlahir sebagai anak perempuan, Sum? (*)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel