Mahar Puisi | Cerpen Faris Al Faisal


KETIKA saya menikahi Bulan, sepucuk puisi saya bacakan. Semua orang yang hadir menitikkan air mata, duka rupanya. Namun saya keliru, mereka menangis bukan lantaran puisi saya mengharukan, tetapi lantaran saya seorang lelaki yang miskin.

“KUPIKIR penyair itu orang kaya, nyatanya untuk menawarkan mahar kepada gadis secantik Bulan saja tak punya apa-apa. Hanya pakai puisi. Berapa harga sepotong puisi? Menyedihkan sekali!” Bisik-bisik keluarga Bulan dan tamu usul yang hadir terdengar juga. Bergemuang bagai kumbang terperangkap di gendang telinga.

“Malang sekali Bulan,tubuhnya yang elok dihalalkan hanya dengan sebuah puisi.” Kembali bunyi kasak-­kusuk itu meneror gendang pendengaran saya yang mulai jebol. Sakit sekali mendengarnya. Namun sesungguhnya, di hati jauh lebih sakit. Pedih.

Bagaimana sanggup mereka menyebut penghalalan badan wanita yang dinikahi lantaran mahar semata? Jika menyerupai itu, sanggup jadi lelaki yang mempunyai kekayaan untuk memberi mahar mahal akan sanggup membeli badan wanita sekehendak hatinya? Justru saya sangat menyayangkan nasib wanita kalau dinilai rendah menyerupai itu.

Apakah mereka tidak mendengar sebaik-baik wanita ialah yang meringankan maharnya sebagai penanda tinggi ilmunya yang memudahkan sunnah? Apakah mereka tidak membaca kalau dulu Sayyidina Ali menikahi Fatimah hanya dengan baju Perang Huthamiyah miliknya? Di sinilah betapa mahar bukan perkara yang harus diberat-beratkan ataupun diringan-ringankan. Dan satu hal yang luput dari pandangan yaitu mahar haruslah seridha calon pengantin perempuan.

Dengan perasaan berlarat-larat lantaran dianggap melarat, saya pun melanjutkan pernikahan dengan perasaan hampa menyerupai seorang astronaut tersesat di bulan yang tak berudara. Langkah saya seakan melayang tak berpijak menempati daerah duduk pengantin lelaki yang semula nyaman berubah tak kerasan. Sementara dari daerah duduk pengantin perempuan, Bulan menatap wajah saya yang layu batang pohon wibawa dan gugur daun kehormatannya. Namun senyumnya tak lepas dari bibirnya. Saya rasa Bulan tak mendengar gunjingan orang-orang pada calon suaminya yang gres saja menawarkan mahar puisi padanya.

Petugas kenaiban mencatat segala identitas dan menyidik kelengkapan administrasi. Dua buah buku nikah sudah dipersiapkan dan dipajang menawan. Seorang lelaki yang entah siapa namanya mendekat, ia mengulurkan tangannya dan menawarkan penggalan kertas berisi goresan pena Bulan. Saya pun membacanya dengan saksama.


Jangan duka penyairku, saya yang meminta padamu mahar pernikahanku ialah puisi. Lapangkan hatimu. Bangun kembali menyerupai pohon puisi tumbuh, berbunga, dan berbuah. Aku menunggumu menuntaskan ibadahmu; syahadat puisi dan pernikahan puisi.

Bulan.


Saya terpana karenanya. Lalu menengok ke arah Bulan. Kepalanya yang ditumbuhi bunga melati yang membentuk ronce kerudung putih tampak mengangguk-angguk. Saya pun membalasnya dengan senyum yang entah mengapa menjadi begitu ringan disunggingkan. Bulan gres saja membesarkan dada penyair yang telah berubah sempit diimpit perasaannya sendiri. Dari sini saya pun melihat matanya berkaca-kaca ditimpa air mata. Semoga saja itu ialah genangan kebahagiaan.

“Apa kau sudah siap, Nak?” ucap ayah Bulan sambil memegang jariku menyerupai sedang bersalaman.

Saya mengangguk padanya. “Sudah, Ayah. Saya siap!”

Pada detik itu ijab dan kabul bersahutan verbal tanpa jeda. Ayah Bulan menanyakan kepada saksi. “Sah?”

“Sah, sah!” jawab para saksi tanpa berselisih.

Tanpa kode dan janji, saya dan Bulan bersujud syukur. Mengucapkan rasa terima kasih atas banyak sekali keberkahan. Tunai sudah, kami telah diikat oleh tali suci ikatan pernikahan.

Dalam larik-larik hujan. Kami pun melewati malam-malam puisi dalam bulan berlelehan madu. Tak terlewat semalam pun Bulan minta dibuatkan puisi dan dibacakan puisi itu sebelum menunaikan ibadah cinta.

Di luar sana, berdasarkan ayah dan ibu Bulan, orang-orang belum reda membicarakan perihal mahar puisi. Saya yakin, mereka hanya melihat tanpa membaca. Sehingga yang tampak ialah kulit di permukaan sementara daging dan bijinya tetaplah di dalam tanpa tersentuh.

Barangkali, saya menantu beruntung lantaran mempunyai mertua yang berpandangan luas. Ketika melamar Bulan, ia tak menanyakan cincin emas tanda pengikat sebagai bukti pinangan.

“Apa kau bersungguh-sungguh ingin melamar Bulan, Nak?”

“Saya bersungguh-sungguh ingin menikah. Karenanya Bulan saya melamar.”

“Apa kau terima lamaran lelaki di depan kita ini, Bulan?”

Bulan tak menjawab. Ia tertunduk malu. Ibunya memeluk bahu Bulan dan mengulangi pertanyaan ayahnya.

“Kamu terima lamaran anak muda itu, Bulan?”

Bulan menunduk makin ke dasar. Ia tak berani mengangkat wajahnya. Malu sekali.

“Baiklah, Ayah sudah tahu jawabannya. Dan hari ini kalian berdua akan Ayah nikahkan.”

Bukan hanya saya yang terkejut hingga mau berdiri dari daerah duduk, bahkan Bulan pun mendongak ternganga kemudian menutup mulutnya lantaran tak percaya.

“Saya belum menyiapkan maharnya, Ayah.”

“Apa kau tidak membawa sesuatu untuk dijadikan mahar?”

“Sepertinya saya harus pergi sebentar untuk membelinya.”

Belum sempat ayah Bulan menjawab, Bulan menyela pelan.

“Bagaimana kalau maharnya puisi?”

“Puisi?” tanyaku tak mengerti.

“Iya, puisi. Bagiku itu lebih berharga dari emas dan permata.”

Ayah Bulan tampak berkerut tapi tidak lama. “Bagaimana, Nak? kau sudah mendengarnya bukan? Sekarang apa kau bersedia menawarkan mahar puisi?”

Saya harus menjawab apa kecuali bersedia. Maka puisi itulah yang saya bacakan sebagai mahar untuk menikahi Bulan. Tak ada kesengajaan untuk memudah-mudahkan mahar lantaran saya pernah mendengar kalimat, sebaik-­baik lelaki ialah yang memberikannya banyak mahar.

Berita saya dan Bulan telah menikah pun hingga ke ayah dan ibu serta sanak kerabat. Kami berdualah yang menyampaikannya. Mereka tak habis pikir akan maharku berupa puisi.

“Apa kini harga puisi sudah mahal?” kata Ayah sambil membolak-balik sebuah koran langganannya yang menyediakan halaman sastra saban minggunya.

Barangkali maksud ayah ialah mempertanyakan masa depan pekerjaanku sebagai penulis puisi pada banyak sekali surat kabar dan majalah.

“Entahlah, puisi-puisi yang dimuat pun terkadang tak dibayar sekalipun sudah ditagih berkali-kali oleh penulisnya.”

Sedih bekerjsama menyampaikan itu apalagi di depan orangtua dan istri. Tapi apa boleh buat, bukankah menjadi penyair pun harus mempunyai sifat jujur? Bayangkan kalau penyair berdusta, ia akan membohongi redaktur dan pembaca sastra dengan memplagiat karya penulis lain dan mengakuinya sebagai karya sendiri. Jika itu terjadi, bukan hanya penulisnya yang dimaki dan di-bully bahkan redaktur media dan surat kabar bersangkutan ikut kena getahnya lantaran meloloskan karya penulis lain—dianggap kurang mengetahui dunia puisi. Padahal siapa pun dia, pengetahuan seseorang mempunyai batasan. Tidak harus menjadi redaktur sastra sanggup menghafal dan mengetahui seluruh puisi para penyair.

Ayah yang seorang penyair pun kemudian menceritakan ihwal puisi. Bagaimana dulu penyair ialah musuh para nabi. Syair atau puisi dikatakan sihir lantaran mengajak kepada kesesatan, membawa kepentingan, dan permusuhan sebagaimana penyair Nadhr bin Harits. Akan tetapi, syair atau puisi pun sanggup dipakai sebagai alat dakwah sebagaimana penyair Abdullah bin Rawahah yang membantu usaha Rasul.

Bulan berkaca-kaca menyerupai ditenggelamkan ke permukaan danau. Cahayanya timbul karam di antara percakapan kami. Ia begitu menghayati dongeng ayah sepertinya. “Semoga kau ialah Abdullah bin Rawahah di zaman ini. Jangan jadikan puisi sebagai ladang menanam pohon uang, tetapi jadikan ia ladang menanam pohon perjuangan.”

Ayah dan saya mengangguk sepakat. Bagiku apa yang diucapkan Bulan ialah doa dan keinginan untuk menata jalan kehidupan yang masih panjang dan berliku. Semoga kelak mendapat keberuntungan.

Saat ini saya dan Bulan memang sedang saling jatuh cinta dan berjanji akan terus saling cinta. Mencintai dengan puisi, mengasihi dengan puisi, dan merindu pun dengan puisi. Membangun rumah tangga dengan puisi dan membesarkan bawah umur pun dengan puisi. Karena keluarga penyair akan selalu hidup dengan puisi dan akan mati tanpa puisi.

“Mengagumkan sekali kata-katamu. Apa kau yang membuatnya?” tanya Bulan padaku.

“Iya, bahkan kita pun ialah puisi itu sendiri. Saya puisi dan kau puisi.”

Bulan di atas langit tersenyum. Rekahnya jatuh di bibir Bulan. Merah jambu. Manis sekali malam ini. (*)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel