Dalam Kardus Pukul Dua | Cerpen Diego Alpadani


Buku berjudul “Tata Cara Bernapas yang Salah” tertonggok lemas di dalam kardus lusuh. Sekali lengau hinggap di kardus dekil itu, rondah-rondih hancur menyerupai diguncang lindu. Setelah belasan tahun tidak dijamah—berpuluh-puluh tahun, malah, buku itu benar-benar rindu belaian; kasih sayang dan desis bunyi yang berinjit keluar dari sarang dikala dibaca. 

Tentu, rindu yang sangat juga dirasakan oleh bab, paragraf, kalimat, kata, dan huruf. Mereka, yang selama ini rindu belaian, kini betul-betul bagai duda atau janda yang rindu daerah mengadu, daerah mengembangkan selimut di dipan. Ah, single parents, kata manusia. Setiap malam, sempurna pukul dua malam, sedu sedan buku itu terdengar sember.

“Saya sudah terlalu tua,” pecahan satu berjulukan Jangan Berhenti Bernapas memulai percakapan antar bab. Dari pecahan ke bab, aneka macam tingkahnya: ada yang tersedu-sedu, ada yang tertawa tak terperinci menyerupai gila, ada yang bermenung panjang. Intinya, ada-ada saja.

“Tidak hanya abang pertama yang sudah renta. Saya juga menua. Api, lekaslah jadikan kami bara,” jawab pecahan sembilan yang berjudul Mulai Bernapas.

Mulai Bernapas, kita hanya menunggu. Cepat atau lambat binasalah kita. Tak ada yang akan mengenang kita. Kita hanya benda gaek yang sudah dilupakan. Bahkan, bendoro tak pernah melirik kita,” sambung pecahan enam yang berjulukan Menghirup Sebelum Melepas.

“Sebaiknya kita dibantai saja. Jangan dibakar. Api terlalu panas. Lebih baik anak bedil menembus jantung. Hamba tak ingin dibakar. Cukuplah sunyi yang memperabukan hati kita. Kita memang hanya sekumpulan abjad lawas yang menjadi kata. Kata yang menempel menjadi kalimat. Kalimat yang bertali menjadi alinea. Menjadi pecahan dan menjelma berbentuk buku. Kita memang sudah menjadi benda purba. Tapi, purba bukan berarti tak berguna,” taklimat pecahan lima yang berjulukan Selama Masih Bernapas.

Suasana jadi lengang. Semua pecahan bersemadi, masuk dalam pikiran dan jiwa masing-masing. Tepat target taklimat Selama Masih Bernapas mengenai lantai sanubari setiap bab. Panjang renungan. Kesenyapan beranak cucu; usang sangat. Bahana arloji laksana instrumen melankolis yang sengaja dihadirkan dari paruh era delapan belas. Beranak-pinaklah buah pikiran semua bab.

Lemari, pajangan dinding, dan benda-benda lain di ruang sempit itu pun ikut larut dalam kesenyapan. Senyap, menyerupai kembali pada ketiadaan. Hanya bahana arloji yang merajai senyap. Karena hanya ia yang tetap bersuara; menyayat-nyayat dan penuh irama untuk mengingat masa kejatuhan bulan.

Dulu, buku Tata Cara Bernapas yang Salah yaitu mahadewa yang dipuja. Bahan bacaan sakti mandraguna yang setiap pecahan di dalamnya yaitu ilmu yang bermakna maharaja dari segala raja ilmu. Setiap jiwa yang membaca buku itu akan bergelora; penuh semangat hidup, berjuang meraih kehidupan yang penuh makna dan mempunyai kegunaan bagi sesama. Buku itu bukan hanya sekedar rentetan kata. Tapi kolam buah kehidupan yang jatuh sengaja dari surga.

Memang, setiap yang ada dan berkuasa akan lapuk oleh hujan dan lekang oleh panas. Dan akhirnya, benar-benar dilupakan. Walau jasanya sebesar semesta. Toh, lambat laun hanya kurang jelas yang terlintas dalam benak. Padahal, setiap pecahan buku itu memuat pesan kehidupan, sejarah yang sempat dihitamkan.

“Kita hanya debu penghabisan sebelum sapu menggasak. Kita tak ubahnya mite yang benar-benar lapuk. Tak lagi berguna, lihatlah sampul kita yang penuh debu peninggalan perang kejayaan, dan kita kalah,” ucap pecahan tujuh berjulukan Sampai Napas Terakhir, “betapa dipujanya saya dulu. Disebut sebagai pecahan paling membangkitkan semangat. Kita kalah, ah, tidak. Kita dilupakan. Lihatlah kini saudara-saudara, kita tak disentuh, tidak dibaca. Hanya tertanam di dalam kardus amis. Hanya dikunjungi binatang melata yang tiba untuk kencing.”

Semua pecahan yang terdiri dari sembilan pecahan dalam buku itu, fokus mendengar Sampai Napas Terakhir berorasi berapi-api. Bab tujuh itu memang menyerupai pemimpin tegas dan adil. Bab tujuh seumpama pedang yang siap menghunus hati pembaca.

“Dulu kita kolam dermaga ilmu yang patut dibaca, dikenang, dijadikan simbol pengetahuan. Lihatlah insan sekarang, enggan untuk menyentuh kita. Kita serupa barang haram yang hina-dina. Ah, sengsara sangat final dari penghabisan yang kita miliki,” ucap Menghirup Sebelum Melepas.

“Semampang kita akan dimusnahkan. Hanya timah panas yang layak mencabik kulit ini!” sabda Selama Masih Bernapas, kembali menghentak jiwa.

“Jikalau kita…..”

Jarum jam termaktub pada pukul empat dini hari. Semua kembali hening, senyap, lengang. Sang buku beserta isinya yang sedari pukul dua malam bercakap kembali diam. Hanya dua jam waktu untuk hidup. Dua jam; tak lebih, tak kurang. Kembali pada kekosongan. Membeku dalam kardus bangsai yang amis. Entah kapan akan dijamah oleh bendoro.

*****

Di lain ruang nun jauh di bawah lantai; tepatnya tak niscaya tapi, niscaya di bawah lantai. Sekompi cacing yang melata di bawah tanah, merasa muak. Kerena setiap tengah malam harus mendengar rintihan ketidakadilan buku beserta isinya itu. Setelah genap sebulan, gerakan bawah lantai yang perhimpunan cacing merayap naik. Gerakan bawah lantai itu hendak menggerogoti buku Tata Cara Bernapas yang Salah. Merayap, membor tanah padat menuju lantai.

Segala cara dilakukan cacing-cacing melata yang muak. Sampai juga pada dini hari itu juga, mereka mendarat, menembus dinding pembatas. Tepat pukul empat dini hari. Semua cacing menggerogoti buku gaek dalam kardus itu.

Buku itu dicabik-cabik. Berdarah. Cacing-cacing tak memberi ampun. Buku hancur, koyak! Sekompi cacing menjalankan misi yang sudah usang disusun dengan baik sangat, semoga tidak berbekas sama sekali. Dihabisi buku malang itu. Hilang rasa hewani cacing-cacing itu terhadap buku.

Kejadian singkat tapi memilukan itu menggambarkan kerusuhan dan kemenangan bagi pihak cacing yang sudah keluar dari persembunyian gerakan bawah lantai sukses. Buku itu benar-benar porak poranda. Hancur, dan mati dalam kardus lusuh.

Tetapi, sebelum para cacing kembali ke peraduan. Entah roh baik atau roh jahat apa yang merasuki Pak Ijend sang pemilik buku. Disaksikannya sekompi cacing yang melahap buku itu. Ia muntab dan lantas membabat habis sekumpulan cacing itu.

Perbuatannya bagai telah menyelamatkan buku. Tapi, apa lacur, buku itu musnah. Koyak. Mati! Buku yang sejatinya miliknya. Atau lebih tepatnya buku yang bahwasanya jati dirinya. Yang selama ini ia kubur dalam kardus kedaluwarsa dan hancur dalam kardus itu oleh gerakan cacing bawah lantai. “Akulah pendekar yang membantai cacing-cacing itu.” Pak Ijend membatin. Terukir senyum simpul di bibirnya. (*)

Artikel Terkait

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel