Parut Diatas Alis | Cerpen Ayi Jufridar
JAMBAN di perkebunan sawit itu tidak layak dipakai untuk buang air besar bahkan di daerah perang sekalipun. Dindingnya berupa daun kelapa kering yang dijalin dengan rapi tetapi tetap menyisakan lubang-lubang kecil di setiap sudut, menciptakan siapa pun tak nyaman berada di dalamnya lantaran waswas dengan mata yang mengintip. Lubang-lubang kecil itu sama gelapnva dengan bola mata.
Wajar saja Ester menolak buang air besar di sana. Apalagi kakusnya tanpa atap, ada orang diatas pohon kelapa sanggup melihat sesosok insan yang berjongkok. Diintip dari atas, bagi Ester, sama buruknya dengan diintip dari bawah.
Bukan hanya mata jahil yang menciptakan Ester terganggu. Dia sudah berada di dalam tadi meski sedetik kemudian buru-buru keluar sambil muntah-muntah. Aromanya merontokkan bulu hidung. Dia pernah memakai WC umum di sebuah terminal ketika meliput mudik, tahun lalu. Namun, aroma di dalam WC tersebut tak hingga mengaduk isi perutnya.
Ester hanya sanggup berharap malam segera tiba. Pikirnya, kegelapan akan memperlihatkan kenyamanan. Tapi waktu bergerak lambat ketika ada desakan membuang hajat tak tertahankan. Akhirnya ia mencari tempat lain. Barangkali di daerah hutan ini ada jamban lebih higienis dibandingkan dengan jamban di rumah yang mereka tumpangi selama liputan.
Ditemani Agus, kameramennya, ia menyusuri jalan berbatu di perkampungan sawit. “Pelan-pelan,” perintahnya pada Agus yang duduk di belakang setir. Tanpa perintah pun, Agus sadar harus menjalankan kendaraan beroda empat perlahan layaknya membawa orang hendak melahirkan. Setiap guncangan menjadi penderitaan tak tertahankan bagi Ester. Lebih dari itu, Agus khawatir jok belakang tiba-tiba menjelma jamban.
Mereka melewati perkebunan sawit yang gerah dengan meninggalkan jejak debu beterbangan di belakang. Perkampungan itu jauh dari sentra kota, jauh dari kepulan asap pabrik, jauh dari laut, tetapi seolah sangat dekat dengan matahari. Mungkin terpengaruh kondisi keamanan yang memang sedang panas sehabis tentara mendapat laporan intelijen wacana lokasi persembunyian kelompok pemberontak.
Tentara mengirim dua helikopter Bolkow dengan formasi moncong meriam di kedua sisinya. Beberapa meriam sudah ditembakkan ke daerah hutan yang diduga jadi tempat persembunyian pemberontak, tadi pagi, sebelum Ester sempat melepaskan hajatnya setiap pagi. Hasrat mendapat gambar langsung itulah yang memaksanya mengorbankan rutinitas pagi yang sekarang membuatnya menderita. Wajah putihnya terlihat pucat dengan butir-butir keringat di permukaan kulit. Kedua telapak tangannya mengelus-elus perut menyerupai hendak melahirkan. Agus sempat tertawa melihat rupa sahabatnya. Tapi sehabis dimaki, ia menentukan membisu dan merasa sudah sepantasnya mendapat itu. Pikirnya, orang kebelet berak sama sengsaranya dengan sakit gigi. Dalam derajat berbeda, Agus juga pernah mencicipi suasana menyerupai itu. Bedanya, ia sanggup membuang hajat di mana pun dalam keadaan darurat. Beda dengan Ester yang semenjak kecil tak pernah hidup susah.
Sudah hampir satu kilometer mereka berjalan tetapi belum menemukan satu bangunan pun. Ketika kebun sawit sudah jauh tertinggal di belakang, mereka melihat sebuah bangunan beton berwarna kusam di kejauhan. Bentuknya menyerupai rumah toko, tetapi sehabis dekat, ternyata sebuah warung kopi. Beberapa orang sedang ngopi, mengobrol, atau menonton TV. Mereka terlihat menyerupai pekerja perkebunan. Mengenakan sepatu bot berbahan karet, topi laken, dan pakaian lusuh. Beberapa di antaranya mengenakan kaus oblong partai politik.
“Kalau bangunannya bagus, WC-nya sanggup jadi manis meski tidak terlalu bersih,” kata Agus sambil memperlambat laju mobil. Ester hanya mengangguk sambil mengisyaratkan tangannya untuk berhenti.
Di luar, sejumlah cowok berdiri di tengah jalan juga menghentikan kendaraan beroda empat dengan isyarat tangan Agus hendak turun, tetapi seorang di antara cowok itu sudah berdiri di dekat pintu dengan tatapan curiga. Beberapa temannya sekarang berdiri di samping kiri dan kanan pintu mobil. Seketika, Ester dan Agus mencium gelagat tidak beres.
Pemuda itu meminta mereka mengeluarkan KTP.
“Kami wartawan,” sahut Agus. Pengalaman meliput didaerah perang mengajarinya untuk menyebutkan identitas jurnalis lantaran biasanya lebih kondusif alasannya yakni cenderung diterima semua pihak bertikai. Namun, tidak kali ini.
“Memangnya kenapa? Wartawan punya banyak dosa disini. Kalian yang mengundang tentara dengan berita-berita keliru. Cepat, mana KTP-nya!”
Sekejap, Ester lupa dengan desakan dalam perutnya. Dengan gemetar ia mencari KTP dan gres sadar dompetnya tertinggal. Sedangkan KTP milik Agus sekarang sudah berada di tangan cowok itu. Ketika cowok itu sedang mengeja data di KTP Agus, Ester memperhatikan lelaki itu dengan saksama. Sepertinya ia tidak bersenjata, kecuali tersembunyi di balik pinggangnya.
Agus juga memperhatikan wajah lelaki itu. Bekas luka di wajah lelaki itu menyerupai menjelaskan dari kelompok mana ia berasal. Sorot mata lelaki itu sama sekali tidak bersahabat.
Suasana terasa tegang, tetapi orang-orang di warung kopi itu terus mengobrol dan menonton menyerupai tidak terjadi sesuatu. Bahkan sesekali terdengar bunyi tawa, bertolak belakang dengan suasana di dalam mobil.
Ester benar-benar lupa dengan rasa sesak di perutnya ketika cowok itu menyuruh mereka turun. Di luar dugaan, Agus tiba-tiba menginjak pedal gas sehingga kendaraan beroda empat menyerupai melompat dari tempatnya. Pemuda yang berdiri terlalu dekat pintu kendaraan beroda empat hingga terjengkang saking kagetnya. Tubuhnya mendarat di jalan berbatu dan berdebu. KTP milik Agus mendarat diatas dadanya. Orang-orang di warung kopi berlarian mencoba menghentikan mobil, tetapi mereka hanya sanggup menghirup udara bercampur debu dan kepulan asap.
Orang-orang yang berpenampilan menyerupai pekerja sawit itu kembali ke warung kopi. Setelah membereskan semua peralatan, mereka meninggalkan tempat itu lantaran sadar apa yang akan terjadi berikutnya.
SATU truk penuh prajurit bersenjata laras panjang datang di warung itu bersamaan dengan satu unit minibus yang didalamnya terdapat Agus. Dia sudah melaporkan kepada komandan yang memimpin penyerangan dikawasan kebun sawit. Komandan itu menyambutnya dengan kemarahan lantaran Agus dan Ester nekat berjalan di daerah absurd tanpa pengawalan. Agus berkilah sebagai wartawan ia bebas pergi ke mana saja. Dia pernah berjumpa langsung dengan panglima pemberontak disebuah hutan dan mereka memperlakukan wartawan dengan baik. Komandan tentara itu makin berang dan menyampaikan selama wartawan mengikuti tentara, maka wajib mengikuti standar yang mereka memutuskan kalau ingin pulang dengan selamat.
Beberapa orang yang berada di warung kopi itu masih mengobrol atau menonton TV yang melekat di dinding. Truk yang berhenti dan tentara yang berlompatan turun dengan senjata mengahkan perhatian mereka. Tanpa dikomando, beberapa prajurit langsung berjaga di depan dan sisanya berlarian ke belakang warung. Seorang perwira muda meminta orang-orang berbaris di depan warung. Pemilik warung yang tadinya masih berdiri di tempatnya sambil menyaring bubuk kopi, tak terkecuali wajib berbaris di pinggir jalan. Bukan hanya berbaris, mereka juga diperintahkan membuka baju, melepaskan topi laken supaya wajah mereka terlihat jelas, serta membuka sepatu. Barangkali tentara khawatir mereka mensimpan senjata di dalamnya. Belasan lelaki berdada hitam terlihat berbaris di bawah sinar matahari yang masih berangasan meski mulai condong ke barat.
Agus kemudian turun dari minibus dan diminta memperlihatkan lelaki yang mengancamnya. Sungguhpun tadi Agus sudah melihat wajah lelaki itu begitu dekat, ketakutan seolah melemahkan daya ingatnya. Ketika kabur tadi, ia hanya membayangkan lelaki itu dan teman-temannya akan menyiram mereka dengan rentetan tembakan. Rasa takut membuatnya hanya sanggup mengingat lelaki itu mengenakan celana jins lusuh, kemeja lusuh, topi laken warna hitam atau mungkin juga cokelat, serta sepatu bot karet warna hijau. Agus tidak yakin dengan warna sepatu alasannya yakni ia tidak melihat ke bawah, tetapi umumnya pekerja kebun sawit itu mengenakan sepatu bot warna hijau muda.
Masalahnya, hampir semua orang yang berbaris itu mengenakan sepatu bot warna hijau muda yang sekarang tergeletak di tanah. Agus dilanda kebingungan, bagaimana sanggup mengenali lelaki yang tadi masih menyimpan KTP-nya.
Setelah berjalan mondar-mandir di depan para lelaki itu, ia merasa menemukan sebuah tanda yang tak terlupakan. Pemuda yang menghentikan mobilnya mempunyai parut di atas alis sebelah kanan. Parut itu terlihat dalam posisi miring menyerupai seekor anak lintah yang menempel. Agus melihat parut serupa di dahi seorang anak muda di dalam barisan. Warna kulit lelaki itu sama hitamnya dan perawakan sama tingginya. Agus melihat dengan saksama. Setelah yakin—dari jarak sekitar satu meter—ia langsung mengarahkan telunjuknya ke dada cowok tersebut. Dia kembali ke kendaraan beroda empat sehingga tidak melihat bencana selanjutnya.
Dua prajurit menyeret lelaki itu ke belakang warung diikuti perwira. Tidak ada satu orang pun yang bersuara ketika langkah-langkah mereka terayun tergesa ke belakang warung, berbaur dengan sejumlah tentara yang sudah berjaga di sana. Yang terdengar hanya iklan sebuah partai politik di TV dan disusul dua kali bunyi tembakan. Para pekerja kebun yang berbaris di pinggir jalan dengan dada telanjang tak sanggup membedakan bunyi letusan itu berasal dari senjata api laras pendek atau laras panjang. Bahkan ada di antara mereka yang menerka bunyi tembakan berasal dari TV.
Di dalam minibus yang mulai bergerak pulang, Agus tiba-tiba teringat dengan parut diatas alis cowok yang mengancamnya. Kini terbayang konkret di pelupuk matanya, parut itu memang terletak di sebelah kanan, tapi cowok yang mengancamnya itu juga mempunyai parut lain di atas alis kiri. (*)
Sudah hampir satu kilometer mereka berjalan tetapi belum menemukan satu bangunan pun. Ketika kebun sawit sudah jauh tertinggal di belakang, mereka melihat sebuah bangunan beton berwarna kusam di kejauhan. Bentuknya menyerupai rumah toko, tetapi sehabis dekat, ternyata sebuah warung kopi. Beberapa orang sedang ngopi, mengobrol, atau menonton TV. Mereka terlihat menyerupai pekerja perkebunan. Mengenakan sepatu bot berbahan karet, topi laken, dan pakaian lusuh. Beberapa di antaranya mengenakan kaus oblong partai politik.
“Kalau bangunannya bagus, WC-nya sanggup jadi manis meski tidak terlalu bersih,” kata Agus sambil memperlambat laju mobil. Ester hanya mengangguk sambil mengisyaratkan tangannya untuk berhenti.
Di luar, sejumlah cowok berdiri di tengah jalan juga menghentikan kendaraan beroda empat dengan isyarat tangan Agus hendak turun, tetapi seorang di antara cowok itu sudah berdiri di dekat pintu dengan tatapan curiga. Beberapa temannya sekarang berdiri di samping kiri dan kanan pintu mobil. Seketika, Ester dan Agus mencium gelagat tidak beres.
Pemuda itu meminta mereka mengeluarkan KTP.
“Kami wartawan,” sahut Agus. Pengalaman meliput didaerah perang mengajarinya untuk menyebutkan identitas jurnalis lantaran biasanya lebih kondusif alasannya yakni cenderung diterima semua pihak bertikai. Namun, tidak kali ini.
“Memangnya kenapa? Wartawan punya banyak dosa disini. Kalian yang mengundang tentara dengan berita-berita keliru. Cepat, mana KTP-nya!”
Sekejap, Ester lupa dengan desakan dalam perutnya. Dengan gemetar ia mencari KTP dan gres sadar dompetnya tertinggal. Sedangkan KTP milik Agus sekarang sudah berada di tangan cowok itu. Ketika cowok itu sedang mengeja data di KTP Agus, Ester memperhatikan lelaki itu dengan saksama. Sepertinya ia tidak bersenjata, kecuali tersembunyi di balik pinggangnya.
Agus juga memperhatikan wajah lelaki itu. Bekas luka di wajah lelaki itu menyerupai menjelaskan dari kelompok mana ia berasal. Sorot mata lelaki itu sama sekali tidak bersahabat.
Suasana terasa tegang, tetapi orang-orang di warung kopi itu terus mengobrol dan menonton menyerupai tidak terjadi sesuatu. Bahkan sesekali terdengar bunyi tawa, bertolak belakang dengan suasana di dalam mobil.
Ester benar-benar lupa dengan rasa sesak di perutnya ketika cowok itu menyuruh mereka turun. Di luar dugaan, Agus tiba-tiba menginjak pedal gas sehingga kendaraan beroda empat menyerupai melompat dari tempatnya. Pemuda yang berdiri terlalu dekat pintu kendaraan beroda empat hingga terjengkang saking kagetnya. Tubuhnya mendarat di jalan berbatu dan berdebu. KTP milik Agus mendarat diatas dadanya. Orang-orang di warung kopi berlarian mencoba menghentikan mobil, tetapi mereka hanya sanggup menghirup udara bercampur debu dan kepulan asap.
Orang-orang yang berpenampilan menyerupai pekerja sawit itu kembali ke warung kopi. Setelah membereskan semua peralatan, mereka meninggalkan tempat itu lantaran sadar apa yang akan terjadi berikutnya.
*****
SATU truk penuh prajurit bersenjata laras panjang datang di warung itu bersamaan dengan satu unit minibus yang didalamnya terdapat Agus. Dia sudah melaporkan kepada komandan yang memimpin penyerangan dikawasan kebun sawit. Komandan itu menyambutnya dengan kemarahan lantaran Agus dan Ester nekat berjalan di daerah absurd tanpa pengawalan. Agus berkilah sebagai wartawan ia bebas pergi ke mana saja. Dia pernah berjumpa langsung dengan panglima pemberontak disebuah hutan dan mereka memperlakukan wartawan dengan baik. Komandan tentara itu makin berang dan menyampaikan selama wartawan mengikuti tentara, maka wajib mengikuti standar yang mereka memutuskan kalau ingin pulang dengan selamat.
Beberapa orang yang berada di warung kopi itu masih mengobrol atau menonton TV yang melekat di dinding. Truk yang berhenti dan tentara yang berlompatan turun dengan senjata mengahkan perhatian mereka. Tanpa dikomando, beberapa prajurit langsung berjaga di depan dan sisanya berlarian ke belakang warung. Seorang perwira muda meminta orang-orang berbaris di depan warung. Pemilik warung yang tadinya masih berdiri di tempatnya sambil menyaring bubuk kopi, tak terkecuali wajib berbaris di pinggir jalan. Bukan hanya berbaris, mereka juga diperintahkan membuka baju, melepaskan topi laken supaya wajah mereka terlihat jelas, serta membuka sepatu. Barangkali tentara khawatir mereka mensimpan senjata di dalamnya. Belasan lelaki berdada hitam terlihat berbaris di bawah sinar matahari yang masih berangasan meski mulai condong ke barat.
Agus kemudian turun dari minibus dan diminta memperlihatkan lelaki yang mengancamnya. Sungguhpun tadi Agus sudah melihat wajah lelaki itu begitu dekat, ketakutan seolah melemahkan daya ingatnya. Ketika kabur tadi, ia hanya membayangkan lelaki itu dan teman-temannya akan menyiram mereka dengan rentetan tembakan. Rasa takut membuatnya hanya sanggup mengingat lelaki itu mengenakan celana jins lusuh, kemeja lusuh, topi laken warna hitam atau mungkin juga cokelat, serta sepatu bot karet warna hijau. Agus tidak yakin dengan warna sepatu alasannya yakni ia tidak melihat ke bawah, tetapi umumnya pekerja kebun sawit itu mengenakan sepatu bot warna hijau muda.
Masalahnya, hampir semua orang yang berbaris itu mengenakan sepatu bot warna hijau muda yang sekarang tergeletak di tanah. Agus dilanda kebingungan, bagaimana sanggup mengenali lelaki yang tadi masih menyimpan KTP-nya.
Setelah berjalan mondar-mandir di depan para lelaki itu, ia merasa menemukan sebuah tanda yang tak terlupakan. Pemuda yang menghentikan mobilnya mempunyai parut di atas alis sebelah kanan. Parut itu terlihat dalam posisi miring menyerupai seekor anak lintah yang menempel. Agus melihat parut serupa di dahi seorang anak muda di dalam barisan. Warna kulit lelaki itu sama hitamnya dan perawakan sama tingginya. Agus melihat dengan saksama. Setelah yakin—dari jarak sekitar satu meter—ia langsung mengarahkan telunjuknya ke dada cowok tersebut. Dia kembali ke kendaraan beroda empat sehingga tidak melihat bencana selanjutnya.
Dua prajurit menyeret lelaki itu ke belakang warung diikuti perwira. Tidak ada satu orang pun yang bersuara ketika langkah-langkah mereka terayun tergesa ke belakang warung, berbaur dengan sejumlah tentara yang sudah berjaga di sana. Yang terdengar hanya iklan sebuah partai politik di TV dan disusul dua kali bunyi tembakan. Para pekerja kebun yang berbaris di pinggir jalan dengan dada telanjang tak sanggup membedakan bunyi letusan itu berasal dari senjata api laras pendek atau laras panjang. Bahkan ada di antara mereka yang menerka bunyi tembakan berasal dari TV.
Di dalam minibus yang mulai bergerak pulang, Agus tiba-tiba teringat dengan parut diatas alis cowok yang mengancamnya. Kini terbayang konkret di pelupuk matanya, parut itu memang terletak di sebelah kanan, tapi cowok yang mengancamnya itu juga mempunyai parut lain di atas alis kiri. (*)