Jalan-Jalan Ke Candi Cetho
Sudah hampir 1 tahun tidak pernah posting lagi di blog ini, kini aku tetapkan untuk kembali aktif ibarat dulu :) Kali ini aku ingin membuatkan pengalaman dan info dikala tanggal 25 Januari 2015 kemudian berkunjung ke objek wisata sejarah "Candi Cetho" di Dusun Cetho, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Yang aku tulis di sini ialah perjalanannya saja ya, bukan sejarahnya.
Jaraknya tidak mengecewakan jauh, sekitar 40km dari kota Solo. Berada di lereng Gunung Lawu, udaranya sangat sejuk dan segar; kalau tidak mau dibilang dingin. Jaraknya yang jauh dibayar dengan keindahan alam yang mempesona selama perjalanan lantaran harus melewati Kebun Teh Kemuning yang indah.
Oh iya, jalan menuju ke Candi Cetho ini dapat dibilang cukup ekstrim. Penuh tanjakan terjal dan turunan jadi pastikan kondisi kendaraan sehat sebelum menuju ke sana. Jalan tersebut sudah banyak memakan korban, terutama sepeda motor yang hasilnya tidak berpengaruh menanjak (utamanya jenis matic). Mungkin jalurnya dapat digunakan untuk tes kehandalan dan kekuatan motor kita. Hehe.. :D
Berangkat ke sana dari Solo pukul 08.00 berdua bareng istri naik motor Vixion (sudah kebayang tanjakan kematian soalnya) suasana mendung agak gerimis ditambah kabut yang menghalangi jarak pandang. Setelah bersusah payah berkendara (halah) hasilnya sampailah kami ke tempat wisata Candi Cetho ini.
Setelah membayar retribusi kami disarankan menggunakan kain putih-hitam (kain apa ya namanya?) yang diselempangkan di pinggang. Mirip ibarat bila kita ke Candi Borobudur. Hal ini untuk menghormati tempat Candi Cetho lantaran bagaimanapun, tempat ini ialah tempat ibadah suci bagi saudara kita umat Hindu. Konon, sebagian besar penduduk desa di sekitar Candi Cetho juga menganut agama Hindu.
Next, sesudah meniti beberapa anak tangga, sampailah kami di dalam kompleks Candi Cetho. Disambut dengan beberapa arca dan candi seolah menghilangkan rasa masbodoh yang menjalar badan lantaran cuaca yang mendung. Keindahan bangunan candi ini memang sungguh mempesona.
Di belahan dalam area Candi banyak kita temukan arca, candi kecil, gapura, dan adapula susunan watu Lingga Yoni. Candi utamanya (candi induk) mempunyai bentuk yang mengingatkan kita pada bangunan serupa yakni Chichen Itza di Meksiko. Adakah hubungannya? Entahlah..
Di Candi Cetho ini pula dapat kita temui sebuah mata air yang disebut Sendang Pundi Sari. Menurut salah satu pengelola objek wisata, airnya diyakini mempunyai tuah untuk keselamatan, perlindungan, dan kerejekian dengan cara diminum, mandi, ataupun sekedar membasuh tangan dan wajah. Ooh, itu sebabnya di kios-kios penjual souvenir banyak mengatakan jerigen.
300 meter dari Candi Cetho dapat kita jumpai Candi Kethek (jawa: monyet) namun jalan menuju kesana kurang elok lantaran tidak diperkeras dan banyak belahan yang longsor. Sayang candi ini lupa difoto jadi belum ada gambarnya.
Begitulah perjalan wisata kali ini. Sengaja aku tidak merinci elemen sejarah Candi Cetho ini semoga kalian kesana sendiri dan mencari info pribadi sekaligus menikmata pesona alamnya yang luar biasa.
Jaraknya tidak mengecewakan jauh, sekitar 40km dari kota Solo. Berada di lereng Gunung Lawu, udaranya sangat sejuk dan segar; kalau tidak mau dibilang dingin. Jaraknya yang jauh dibayar dengan keindahan alam yang mempesona selama perjalanan lantaran harus melewati Kebun Teh Kemuning yang indah.
Oh iya, jalan menuju ke Candi Cetho ini dapat dibilang cukup ekstrim. Penuh tanjakan terjal dan turunan jadi pastikan kondisi kendaraan sehat sebelum menuju ke sana. Jalan tersebut sudah banyak memakan korban, terutama sepeda motor yang hasilnya tidak berpengaruh menanjak (utamanya jenis matic). Mungkin jalurnya dapat digunakan untuk tes kehandalan dan kekuatan motor kita. Hehe.. :D
Berangkat ke sana dari Solo pukul 08.00 berdua bareng istri naik motor Vixion (sudah kebayang tanjakan kematian soalnya) suasana mendung agak gerimis ditambah kabut yang menghalangi jarak pandang. Setelah bersusah payah berkendara (halah) hasilnya sampailah kami ke tempat wisata Candi Cetho ini.
Setelah membayar retribusi kami disarankan menggunakan kain putih-hitam (kain apa ya namanya?) yang diselempangkan di pinggang. Mirip ibarat bila kita ke Candi Borobudur. Hal ini untuk menghormati tempat Candi Cetho lantaran bagaimanapun, tempat ini ialah tempat ibadah suci bagi saudara kita umat Hindu. Konon, sebagian besar penduduk desa di sekitar Candi Cetho juga menganut agama Hindu.
Next, sesudah meniti beberapa anak tangga, sampailah kami di dalam kompleks Candi Cetho. Disambut dengan beberapa arca dan candi seolah menghilangkan rasa masbodoh yang menjalar badan lantaran cuaca yang mendung. Keindahan bangunan candi ini memang sungguh mempesona.
Di belahan dalam area Candi banyak kita temukan arca, candi kecil, gapura, dan adapula susunan watu Lingga Yoni. Candi utamanya (candi induk) mempunyai bentuk yang mengingatkan kita pada bangunan serupa yakni Chichen Itza di Meksiko. Adakah hubungannya? Entahlah..
Di Candi Cetho ini pula dapat kita temui sebuah mata air yang disebut Sendang Pundi Sari. Menurut salah satu pengelola objek wisata, airnya diyakini mempunyai tuah untuk keselamatan, perlindungan, dan kerejekian dengan cara diminum, mandi, ataupun sekedar membasuh tangan dan wajah. Ooh, itu sebabnya di kios-kios penjual souvenir banyak mengatakan jerigen.
300 meter dari Candi Cetho dapat kita jumpai Candi Kethek (jawa: monyet) namun jalan menuju kesana kurang elok lantaran tidak diperkeras dan banyak belahan yang longsor. Sayang candi ini lupa difoto jadi belum ada gambarnya.
Begitulah perjalan wisata kali ini. Sengaja aku tidak merinci elemen sejarah Candi Cetho ini semoga kalian kesana sendiri dan mencari info pribadi sekaligus menikmata pesona alamnya yang luar biasa.