Tali Darah Ibu | Cerpen Farizal Sikumbang
Sebelum meninggal, ibu kerap berpesan biar saya selalu menjaga hubungan baik dengan semua saudara tiriku. Dan setiap ibu memberikan pesannya itu, saya selalu menganggukkan kepala sebagai tanda mengiyakan kata ibu.
Tapi saya tidak tahu, apakah ibu juga pernah menyampaikannya kepada masing-masing saudara tiriku perihal pesan itu. Sebab, setahuku, ibu tidak pernah mengucapkan pesan itu di depan kami.
Ibu mempunyai anak tiga. Aku yang tertua dari dua saudaraku yang berbeda ayah itu. Kata ibu, ayahku yaitu seorang pelaut. Kata ibu lagi, ayah juga pemabuk dan suka main judi. Ayah pergi meninggalkan ibu di dikala saya gres berusia lima tahun. Kabar yang ibu dapatkan selanjutnya dari pelaut lainya yaitu bahwa ayahku telah kawin lagi dengan seorang janda muda di pulau seberang.
Aku sendiri luput mengingat wajah ayahku sendiri serupa apa. Usiaku terlalu kecil untuk bisa mengingat kenangan bersama ayah. Apalagi memang ayah kuingat jarang pulang. Di dalam rumah kami yang sederhana, tak satu pun terpajang foto ayahku. Sampai usiaku dewasa, di rumah itu, yang terpajang hanya tiga bingkai foto, yang pertama foto ibu, kemudian foto saya dan dua saudaraku dengan latar halaman rumah, dan yang ketiga foto ayah tiriku.
Di masa sepeninggal ayah, ibu mengurusiku seorang diri. Untuk mencukupi kebutuhan ekonomi, ibu berjualan sarapan pagi di depan rumah kami. Para pelanggan ibu kebanyakan para lelaki yang bekerja sebagai pelaut dan penjual ikan. Bila pagi hari, saya sering kali mendengar para lelaki tertawa-tawa di kedai ibu dengan maksud yang tidak kupahami. Sebagian lagi berbicara dengan intonasi tinggi bila mereka berkomunikasi dengan lawan bicaranya. Terkadang bila dagangan ibu telah habis, beberapa pelaut bermain kerikil domino di kedai ibu.
Aku cukup terhibur dengan kehadiran para pelanggan ibu yang lebih banyak didominasi kaum pria itu. Tidak hanya candaan yang mereka berikan. Aku pun sering diberikan permen atau kudapan untuk seusiaku. Yang paling sering menawarkan saya permen yaitu Uda Bahar.
Uda Bahar orangnya baik. Bila ada yang mengusili hingga saya menangis, ia akan memarahi orang itu dan lantas menggendong tubuhku, kemudian diberikannya saya pada ibu. Pada masa-masa itu, dari semua para pelanggan ibu, hanya Uda Bahar yang sangat memperhatikanku.
Aku ingat, ketika duduk di kelas 1 sekolah dasar, ibu menikah dengan Uda Bahar. Ada pesta pernikahan. Ibu dan Uda Bahar duduk di pelaminan, sedangkan saya tidak pernah beranjak duduk pula di samping ibu. Ibu sering kali tersenyum kepada para tamu yang hadir pada pesta ijab kabul di rumah kami. Aku yakin ibu sangat senang sekali dikala itu.
Aku pun sangat senang dan senang pada ijab kabul ibu. Sejak kehadiran Uda Bahar, suasana rumah kami menjadi riang. Malam hari menjadi ceria.
Malam hari juga tidak lagi menjadi kecemasan ibu lantaran lingkungan rumah yang sunyi.
Aku pun merasa terlindungi dengan kehadiran Uda Bahar di rumah. Bukan hanya merasa terlindungi, melainkan saya juga ibarat menemukan daerah mengadu. Di kampung yang terletak di pesisir pantai itu, sering kali kawan-kawanku mengejek lantaran saya tak punya ayah. Dan semenjak kehadiran Uda Bahar, tak satu pun dari mereka yang berani lagi mengejekku.
Aku merasa begitu beruntung lantaran ibu telah menikah lagi. Sebab, dengan begitu, saya mempunyai seorang ayah. Namun, harus kuakui, pada mulanya saya terkadang masih begitu canggung bila memanggil Uda Bahar dengan panggilan ayah. Namun, Uda Bahar dengan sabar menyuruhku biar berguru terus memanggilnya dengan sebutan ayah.
“Ya, anak kecil, mulai kini kau harus terus membiasakan diri biar memanggil ayah, ya,” kata Uda Bahar kepadaku, waktu itu.
Dan kuingat ibu tersenyum melihat kegugupanku. Dan tidak usang kemudian kepalanya mengangguk-angguk kepadaku.
Di hari-hari berikutnya, saya terkadang masih salah juga memanggilnya dengan sebutan ayah. Sering saya memanggilnya dengan sebutan Uda Bahar. Berulang kali pula ibu dan Uda Bahar kembali menasihatiku. Dan hingga satu bulan kemudian saya gres jago memanggilnya dengan ayah.
Satu tahun kemudian, ibu melahirkan adikku yang pertama. Ia berjenis kelamin laki-laki. Kulitnya hitam. Rambutnya hitan. Ia ibarat wajah ayah. Dan ayah memberinya nama Samsir.
Ibu dan ayah sangat senang lantaran kehadiran Samsir. Ibu sangat telaten merawatnya. Ayahku sangat perhatian sekali pada adikku. Jika adikku menangis, ayah akan dengan cepat menyuruh ibu biar menyusuinya. Atau ayah akan memarahi ibu kalau adikku terus menangis.
Ketika adikku itu telah berumur tiga tahun, ia sering kali menciptakan ibu berada dalam masalah. Sering ia terjatuh di rumah lantaran kenakalannya Memecahkan perabotan rumah. Dan ibu sering jadi sebabnya lantaran dianggap lalai menjaga adikku itu. Tidak hanya ibu, saya pun mulai jadi target ayah kalau ia menangis sehabis bermain denganku.
Kehadiran adikku semakin usang menciptakan ibu dan ayah mulai sering bertengkar. Ibu tidak suka kalau ayah memarahiku. Apalagi kalau ibu melihat ayah menarik kupingku hingga saya menangis.
“Jangan pernah kau mengasari anakku,” kuingat ibu bersuara keras kepada ayah suatu malam yang herhujan.
“Kenapa memangnya? Aku yang memberi makannya. Sudah pantas ia kumarahi kalau ia menjengkelkanku.”
“Tanpa kau beri, saya tetap bisa memberi makannya. Kamu harus tahu itu,” kata ibu dengan bunyi yang semakin tinggi.
“Maksudmu apa?”
“Maksudku, kalau kau ingin pergi, saya tetap bisa memberi makan anakku. Paham?”
Peristiwa itu yaitu pertengkaran ayah dan ibu yang terakhir sesudah adikku yang kedua lahir. Adikku yang kedua perempuan. Ayah memberinya nama Diva. Sama ibarat kelahiran adikku yang pertama, ibu dan ayah juga sangat senang pada kehadiran adikku ini.
Namun, kebahagiaan di rumah kami kurasakan tidak berlangsung lama. Pertengkaran-pertengkaran antara ibu dan ayah mulai kembali terjadi. Pemicunya lantaran ayah sering kali menganggap ibu tidak bisa mengurus dua adikku. Dan juga perihal ayah yang sering membedakan saya dengan dua adikku.
Kehadiran dua adikku menciptakan ayah memang tidak peduli lagi kepadaku. Sikap ayah sangat berubah sesudah kehadiran mereka. Tidak jarang ayah lebih mendahulukan mereka daripada aku. Jika ayah membeli masakan ringan, misalnya, ayah tak pernah memberikannya kepadaku. Ayah juga hanya mengajak dua adikku ke pantai pada hari Minggu. Aku merasa bahwa ayah benar-benar mengucilkanku dari dua adikku. Dan perlakuan ayah itu menciptakan saya begitu sedih.
Dalam kesedihan, saya melamun. Dan berpikir mengapa ayah berubah.
“Ibu harap kau jangan bersedih kalau ayahmu kurang memperhatikanmu,” kuingat kata ibu dulu.
Aku tidak menyahut kata-kata ibu itu selain dua mataku semakin berair. Lalu ibu menghapus air mataku dengan tangannya. Pada masa itu, saya sudah duduk di kelas VI sekolah dasar.
Namun, apa yang kualami pada hari-hari berikutnya tetap tidak pernah berubah, ayah masih saja mengasihi dua adikku dan mengesampingkanku. Dua adikku juga mulai tidak suka kepadaku. Mereka sering menghindar dan ibarat tidak menganggap lagi saya sebagai kakaknya.
“Kata ayah, uda bukan abang kandung kami, jadi jangan coba-coba melarang-larang kami, ya,” kata itu diucapkan Samsir ketika saya pernah melarangnya bermain di pantai pada sore hari.
“Iya, ayah bilang begitu. Nanti kami lapor ayah gres tahu,” si kecil ikut pula menimpalinya dikala itu.
Saat itu, saya benar-benar bersedih. Mereka tidak menyukaiku dan tidak menghormatiku. Padahal, saya sangat mengasihi mereka.
Mungkin ibu sudah tidak tahan melihat saya dikucilkan oleh ayah dan dua adikku. Sebab, suatu hari ibu begitu marahnya kepada ayah.
“Jika kau tidak suka pada Dika, bagiku tak ada masalah. Tapi, yang tidak saya suka kalau kau menghasut adik-adiknya untuk membencinya.”
Aku tidak mendengar ayah menyahut kata-kata ibu di malam itu. Aku begitu bersyukur lantaran ayah membisu saja sehingga tidak terjadi pertengkaran. Tapi, paginya, sesuatu yang mengejutkanku terjadi juga. Ayah pergi membawa pakaiannya yang cukup banyak. Bagiku tak lazim kalau ayah pergi ke bahari dengan membawa pakaian begitu banyak.
Kuingat ayah membawa satu tas pakaian ditambah dua bungkus plastik berukuran besar dengan pakaiannya yang berantakan. Pasti sesuatu terjadi pada ayah. Dan kecurigaanku semakin bertambah ketika ibu berujar di depan pintu rumah dengan nada marah, “Pergilah kalau itu maumu, dan kupastikan saya bisa membesarkan anak-anakku.”
Lalu ayah terus berlalu tanpa melihat ke belakang. Dia hanya sejenak melihatku. Pagi itu hanya ada saya dan ibu. Dua adikku masih tertidur pulas di kamar.
Satu ahad sesudah kepergian ayah, ibu kembali berjualan nasi pagi di rumah kami. Seperti beberapa tahun yang lalu, para pelanggan ibu kebanyakan dari pelaut dan pedagang ikan. Rumah kami kembali riuh oleh bunyi dan tawa para lelaki. Sesekali, mereka mencandai ibu. Mencubit lengan ibu.
Lalu, apakah dua adikku menyayangiku sesudah ayah pergi dan tidak pernah pulang? Bagiku sungguh celaka, ketidakpulangan ayah berdasarkan adikku yaitu lantaran aku. Samsir dan Diva terus membenciku hingga ia remaja. Ibu berulang kali pula menghiburku dengan menyampaikan bahwa mereka masih remaja dan belum berpikir dewasa. Namun, saya sungguh tidak tahan hidup dalam pusaran kebencian dua saudaraku itu. Aku sering bersedih. Aku sering menangis.
Ibu meninggal pada suatu pagi. Sebelumnva, ia hanya bisa terbaring dengan badan agak panas. Dua adikku menyalahkanku kenapa ibu bisa sakit dan meninggal. Aku sungguh murka dan murung pada mereka. Tapi, kesedihan lebih berpengaruh bergayut di hatiku.
Dua ahad sesudah ibu dimakamkan, saya pergi meninggalkan rumah. Seperti kebanyakan lelaki di kampungku, saya berpikir pilihan merantau yaitu solusi mengatasi masalah. Rantau bagiku yaitu pilihan. Dan saya menentukan merantau. Dan di rantau ini, kata-kata ibu sering kali terngiang di telingaku, “Kamu harus terus menjaga hubungan baik dengan saudaramu, Nak.”
“Ah, ibu.” (*)