Lelaki Semesta | Cerpen Helvy Tiana Rosa


Aku menyebutnya lelaki semesta. Ialah kesegaran itu. Di matanya saya melihat telaga daerah segala berada, juga kebenaran. Kedua tangannya selalu terbuka untuk menyambut dan menghibur mereka yang tiba membawa duka. Bibirnya selalu tersenyum dan kamu akan mendengar nada-nada indah setiap kali ia menyebut kuasa Illahi. Parasnya biasa namun kewibawaan terpancar dari keluasan hati dan pandangannya. Sejak dulu jubah putihnya senantiasa berkibar ditiup sepoi angin ketika ia berjalan mengelilingi desa. Ia memelihara janggutnya yang sekepalan tangan itu dengan rapi. Setiap bersama-sama menghadap Allah di surau, saya mendengar suaranya bergetar memimpin jamaah. Saat usai shalat tak pernah mata dan janggutnya tak basah.

Ia orang yang terdepan dalam kebaikan. Seperti menemukan para sahabat Muhammad kembali, ialah orang yang tak pernah membuang waktunya dengan sia-sia. Ia perhitungkan detik demi detik.

Selalu kulihat kebaikan dan cinta menempel padanya bagai kulit menempel pada tubuh. Ia tak pernah berhenti memberi setiap saat. Ia berikan apa yang ia punya. Ilmu, harta, tenaga, pengorbanan untuk semua yang berjulukan maslahat.

Orang-orang tiba ke rumahnya mencari ilmu ibarat semut mencari makanan, tapi ia tak pernah meminta bayaran. Ia mengumpulkan semua anak yatim dan para pengungsi yang tak berdaya. Memberi mereka makan dan minum, juga pakaian. Dalam putaran waktu yang padat mengisi ceramah agama ke seluruh negeri, lelaki itu masih bisa membantu menyebrangkan jalan seorang nenek atau orang buta yang tak dikenalnya. Ia sering bercakap-cakap usang dan mengundang makan beberapa pengemis yang melintas di depannya. Ia biasa menyuapi bayi tetangganya dengan raut riang. Membelai, mendoakan setiap kehadiran insan gres di desa itu dengan wajah bahagia.

Ia tak pernah murka ataupun memaki, tetapi selalu menunjukkan cawan cinta pada siapapun. Kepada mereka yang dilalaikan hatinya oleh dunia, ia mengajak untuk mempertimbangkan keberadaan Tuhan dalam nadi-nadi mereka. Ia pula yang melindungi para penganut agama lain di desa ini. Ketika ada sebuah gereja yang akan digusur lantaran tak mempunyai ijin bangunan, ia yang meredakan dan memberi pengertian bahwa memang sudah tempatnya gereja itu ada di sana dikarenakan telah turun temurun bangunan itu berada di sana. Ia yang paling dulu menolong, bila para penganut agama lain itu mengalami kesulitan.

Lelaki itu hanya bisa makan, sehabis ia ketahui semua penduduk di desanya telah makan pada hari itu. Ialah yang paling lusuh pakaiannya di seantero desa, meski ia mempunyai sebuah pabrik tekstil di kota, yang tak terlalu jauh dari desa tersebut.

Sudah kusampaikan bukan bahwa lelaki itu pandai beretorika? Tapi ibarat yang kukatakan ia hanya bisa berkata yang benar dan baik. Ia tak pernah marah, bahkan bila difitnah. Doanya selalu tersedia bagi siapa pun, dalam jumlah yang tak bisa kamu hitung dengan kalkulator manapun. Dan lelaki itu juga tak bisa mendengar pujian. Bila kamu memuji apa yang dikenakan atau dimilikinya, ia akan berikan barang tersebut padamu secara cuma-cuma.

Tapi ada hal lain. Selain memberi, lelaki itu pun meminta dua hal kepada masyarakat desanya setiap hari. Permintaan yang selalu sama semoga mereka: “membuat Tuhan tersenyum” dan “membaca”. Mulanya para penduduk desa tak mengerti, bagaimana caranya membuat Tuhan tersenyum? Mengapa harus membaca? Apa yang harus mereka baca? Ia pun mengutip Surat Al Alaq dalam Alquran dan menyampaikan “Bacalah semua yang bisa kamu baca, yang terbaca maupun tak terbaca dengan nama Tuhanmu yang menciptakan.”

Tak ada orang yang pernah menjelekkan lelaki itu, lantaran tak ada yang tahu bagaimana cara menjelek-jelekkannya. Ia matahari dan rembulan bagi desa itu.

Sampai suatu ketika bom besar meledak di sebuah pulau di negerinya. Ratusan orang meninggal dan terluka parah. Ia menonton di televisi dengan airmata bercucuran dan hati jeri, tak habis pikir mengapa ada orang sebiadab itu. Malamnya hingga subuh tiba, ia masih mendoakan keselamatan para korban yang luka.

Tapi entah bagaimana, tiba-tiba seorang kepala negara dari negeri adikuasa menunjuk lelaki itu sebagai teroris. Lalu tangan-tangan lain juga menudingnya tanpa satu bukti pun. Tak hanya itu, ia dituduh sebagai dalang dari segala kerusuhan di dalam dan luar negeri. Ia terperangah, takjub, geli dan tergeragap sesaat lantaran sekonyong-konyong tokoh-tokoh Barat menyebut-nyebut namanya dengan cara yang sama, ibarat para tokoh hero mengecam para teroris dalam filem-filem yang mereka buat.

Ia terus bertanya-tanya atas keganjilan tersebut. Tapi pegawanegeri mulai mencari seribu cara untuk menangkap lelaki yang bahkan tak pernah memegang petasan seumur hidupnya itu.

Ah, lelaki semesta. Lelaki yang senantiasa terdepan dalam membawa kebajikan, cinta dan kedamaian bagi desanya, bagi semesta ini. Rahmat Tuhan masih turun di negerinya lantaran tersisa orang-orang ibarat dia. Mengapa mereka tak menyadari?

“Mengakulah!” seru para interogator. Bukankah kamu pernah ke Afghanistan, dan Filipina?

“Ya, tapi saya tiba lantaran diundang mengajar agama.” tegas lelaki itu.

“Tidak. Kau membawa materi peledak ke sana. Kau bisa merakit bom. Kau yaitu guru dari para teroris!”

“Ya Allah, apa yang kalian karang? Keyakinan saya mengutuk keras perbuatan keji itu!” tegasnya.

Tapi tak ada yang peduli. Bahkan secara sangat sistematis lelaki itu dipojokkan oleh analisa para pakar asing di banyak sekali media, wacana keterlibatannya dengan jaringan yang bahkan namanya pun gres didengarnya ketika itu.

Tak berapa usang kemudian, di negerinya terjadi penangkapan besar-besaran. Sasarannya para ulama berjubah putih dan berjanggut. Entah bagaimana asal muasalnya mereka dituduh sebagai teroris. Mereka sekarang menjadi target dari sebuah teror gres yang dilakukan atas nama “pembasmian terhadap gerakan terorisme”.

Iblis pun melintas di hadapanku sambil terbahak-bahak. Beberapa pihak yang merupakan perancang dan pelaku peledakan bahu-membahu menyeringai di balik kabut. Seringai yang serupa dengan yang lalu-lalu. Tapi saya mencatat wajah mereka. Begitu juga teman-temanku. Mereka sangat licik dan balasannya mungkin lepas dari aturan dunia. Tapi mereka tak akan pernah bisa lepas dari jahim yang penuh gelegak infeksi kelak.

Sementara itu, di desanya, para penduduk menangisi lelaki itu. “Kami mengenalnya!” teriak mereka. “Kami tahu apa yang ia lakukan dalam 24 jam! Lelaki itu hanya punya cinta dan kesetiaan! Apakah itu cukup untuk menahannya? Apakah kalian menahannya lantaran ia berjanggut, bersorban dan berjubah?”

Para penduduk desa meminta penguasa untuk membebaskan lelaki semesta dan menahan mereka saja. “Kami bisa membaca semua! Mengapa kalian tidak? Kami telah membaca! Kami membaca semua persekongkolan ini! Tahan kami!”

Suara-suara itu terus berderai, tapi tak bisa mengeluarkan lelaki semesta dari penjara. Bahkan lelaki itu mulai disiksa. Disundut api rokok, ditampar, ditendang, tidak diberi makan dan minum seharian, dan dipaksa untuk menandatangani ini itu.

“Siapa yang membeli C4? Dimana kamu kenal Muhammad, Usman, Abu Bakar, Umar, Ali, Usamah, para teroris itu?” Interogator menyebut semua nama sahabat nabi. “Dimana bom berikutnya akan meledak? Bagaimana kamu bisa berencana membunuh Presiden?” tanya petugas yang lain.

Tapi lelaki itu tak menjawab apa-apa lantaran ia tak tahu apa pun kecuali kebenaran. Dan ketika ia suarakan kebenaran itu, ia kembali disiksa.

Dengan langkah niscaya kudampingi lelaki yang dicintai langit itu ke dalam sel dan mendekapnya. Ia tak mengetahui, tapi saya tak pernah bisa beranjak dari dirinya hingga ia mati. Ah, ia tak boleh menangis. Sebab airmatanya dan airmata mereka yang dizalimi akan membawa peristiwa gres bagi negeri ini.

Kupandang lelaki kesegaran itu berkali-kali. Sekujur badan dan hatinya luka, tapi, mulutnya tak putus berdoa. Lirih sekali kudengar suaranya, “Allah, beri mereka petunjukMu. Cintailah mereka, cintailah mereka, cintailah mereka. Sesungguhnya mereka hanyalah kaum yang tak mengerti…..” (*)

Artikel Terkait

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel