Tertindas Waktu | Cerpen Jihan Nabilah Yusmi



Sorot sinar mentari menerobos melalui celah-celah dedaunan. Mataku masih mengerjap malas. Aku menggeliat perlahan dari posisi tidurku, kemudian duduk. Aku harus berhati-hati kalau tak ingin tersungkur ke bawah. Dari atas pohon, kulihat pesona maritim pagi ini begitu biru dengan ombak yang begitu nyaring menghantam karang. Inilah satu-satunya caraku untuk menyegarkan pikiran. Perlu dimaklumi, pulau sempit ini dihuni tak lebih dari 40 orang. Tempat ini yaitu pulau di tengah maritim yang belum banyak diketahui orang. Sebuah daerah rahasia. Black Market. Lokasi transaksi barang elektronik selundupan.

Semua orang di sini bekerja dengan bebas. Tak saling peduli kecuali ketika saling membutuhkan suatu barang. Tempat yang sempurna bagiku. Tak akan ada orang yang mengganggu dalam menggeluti misiku. Rumahku yaitu kantorku. Kalimat itulah yang sanggup menggambarkan betapa bersepahnya rumahku dengan barang-barang elektronik dan aneka macam perkakas. Tetapi rumah ini cukup nyaman untukku.

Terkadang saya pergi ke kota untuk membeli beberapa barang yang kubutuhkan. Tapi perlu usaha biar pemerintah ataupun warga tak mengenali sosokku. Aku mem-PHK diriku sendiri dari perusahaan sains. Pembuat barang-barang teknologi masa depan. Membuat perusahaan bangkrut dalam sebulan dan investasi negara menurun. Maklum, saya berada di lantai atas. Lalu saya pergi tanpa tanggung jawab. Kemudian sosokku mulai populer dan dicari-cari.

Ah, saya jadi teringat Aidan.

Malam itu, saya melihat anakku terbujur kaku dengan wajah pucat dan senyum wajah yang sedih. Padahal dipagi hari beberapa waktu yang kemudian tawanya masih terdengar nyaring. Kanker itu tumbuh dengan cepat merusak sel otaknya, biadab!

Aku gagal menyembuhkannya. Aku merasa menjadi profesor yang tolol. Aku tertunduk memohon pada ilmuwan-ilmuwan lainnya biar membantuku mengembalikan Aidan. Namun, saya hanya melihat punggung mereka. Sampai akibatnya kuputuskan melakukannya sendiri. Ya sudahlah, bukan penyesalan. Otakku harus terus terperas untuk membuat suatu alat biar anakku kembali. Mesin waktu….

Aku menepis wajahku kasar, tersadar dari lamunanku yang memutar kronologis insiden mengapa saya hingga ada di sini. Semangat, Fredy! Semakin cepat kau menyelesaikannya, semakin cepat kau bertemu Aidan. Motivasi dari diri sendiri memang dibutuhkan, meskipun terlihat mengenaskan.



*****

Aku kembali berkutat pada pekerjaan yang telah tujuh bulan ini saya tekuni. Dengan baju apron lusuh, Google, sepatu boots navy, dan sarung tangan isolator tebal, saya mulai menyambung bagian-bagian untuk merangkai mesin waktu yang telah berhasil 70%.

“Hei, Bro, apa kau membutuhkan logam aluminium dan nanoteknologi baru? Kamp kita kedatangan kiriman dari Prancis hari ini.” Pria berkulit cokelat dengan perawakan berangasan dan baju tanpa lengan pribadi menerobos rumahku tanpa permisi, saya sanggup mengenali suaranya tanpa melirik.

“Ayolah, Ten, ketuk pintu dulu. Aku sedang bermain dengan api, jangan coba membuat tanganku menghilang dengan membuatku terkejut.” Api putih yang berkobar dari mesin di tanganku masih menyala. Tanpa menghiraukan Tendy, dua logam setengah bulat telah menyatu membentuk bulat dengan diameter 2,5 meter. Pintu masuknya sudah siap.

“Kuperhatikan kau selalu memakai api putih. Bukankah itu api tanggapan reaksi fusi matahari? Api itu hanya sanggup didapat memakai alat di perusahaan ‘La Teqno’-mu.” Belum sempat Tendy menyesaikan celotehnya, telingaku sudah panas.

“Ten, kau selalu bertanya hal yang jawabannya sama. Bukankah selalu kukatakan semua alat itu saya yang menciptakan? Aku masih sanggup membuatnya kembali dengan mudah.”

“Oke oke… saya tau kau profesor ulung.”

“Tutup pintu! Jangan merusak engselnya lagi!”

Otot lengannya yang kekar sering kali menutup pintu rumahku dengan kasar, membuatnya seketika ambruk. Untunglah ia temanku satu-satunya yang selalu membantuku di sini. Dia masih kondusif dari amarahku.

*****

Empat bulan yang sepi berlalu tanpa kurasa.

Masih tidak percaya apa yang ada di hadapan kami, saya dan Tendy tetap mematung ke arahnya.

“Apa sudah 100%?”

“Aku yakin masih 97%.” Tendy menolehku dengan satu alisnya terangkat.

“Aku belum mencobanya dan belum membuktikannya. Namun sehabis hal itu terjadi, akan menjadi 100%,” ucapku dengan kepercayaan diri yang tinggi.

Jika diamati, benda ini berbentuk tabung dengan pintu masuk bulat yang di depannya terdapat sensor elektromagnet modern. Sepanjang bodinya terlihat menyerupai beling tembus pandang yang sesungguhnya sangat besar lengan berkuasa dan tahan banting. Begitu glamor dengan warna bubuk di seluruh bab bodi dan warna maroon di pintu yang berbentuk lingkaran. Di bab dalam tabung terdapat sebuah bangku empuk yang di depannya penuh tombol warna-warni dengan aneka macam fungsi. Kerja kerasku setahun penuh, inilah yang saya hasilkan. Kuseka keringatku dengan bangga. Ingin menangis rasanya, saya berhasil.

“Aku tau wajah tololmu itu sedang sangat bahagia. Aku ikut senang misimu untuk pindah ke sini terlaksana.” Tendy merangkul pundakku.

Sejak pagi hingga langit bersepuh warna oranye, Tendy membantuku menuntaskan mesin waktu. Aku sangat berterima kasih padanya hingga saya sendiri galau bagaimana cara mengungkapkannya.

Kulukiskan segores senyum padanya dan berlari menuju kamar mandi. “Aku ingin membersihkan diri. Akan kucoba alat itu secepatnya,” teriakku pada Tendy.

“Punggungmu akan patah, Fred! Istirahatlah dulu.”

Aku mendengarnya tapi saya tidak akan mengikuti sarannya. Aidan, kita akan segera bertemu. Aku sangat merindukanmu.

Kupilih pakaian terbaik dari yang terbaik dan mulai berdandan mema merkan wajahku yang rupawan. Kulihat pantulan diriku di depan logam. Ketampananmu memang tidak berkurang. Dari logam, saya sanggup melihat wajah Tendy yang sedari tadi tersenyum ke arahku.

“Sudah siap lepas landas kawan?”

Aku menghampiri dan merangkulnya.

“Terima kasih, Ten. Aku bersyukur bertemu denganmu, kau sangat membantuku. Sekarang semuanya telah usai. Saat bertemu Aidan nanti, saya akan membawanya kemari, kita akan tinggal bertiga. Oh oh… atau kita pergi ke suatu daerah saja? Tempat yang lebih baik dari pulau perkakas ini.” Ia hanya mengangguk dan tersenyum.

Aku masuk ke dalam tabung waktu. Memberikan posisi ternyaman di pantatku dan mulai menekan tombol-tombol untuk lepas landas. Aku akan pergi ke masa tujuh hari sebelum Aidan meninggalkanku. On dan Oke. Aku melihat ke arah Tendy dan tersenyum, ia membalas senyumanku. Alat ini bergetar. Gelap, kemudian ada aneka macam spektrum warna di luar tabung kemudian berubah menyerupai galaksi. Aku rasa saya mulai berjalan mundur. Tanganku berair oleh keringat.

*****

Getarannya berhenti. Sampaikah? Di luar tabung terlihat sangat gelap. Jujur saja, saya takut keluar. Takut kalau impianku hanya sekadar angan. Takut yang terjadi tak sesuai harapan. Takut semua hanyalah khayalan. Lalu saya terluka dalam ilusiku sendiri.

Aku mencoba mengatur napas dan detak jantung. Pintu terbuka. Ternyata saya berada di ruang bawah tanah rumahku. Aku melangkah ragu. Sekian detik kemudian kupercepat langkah kakiku menuju kamar anakku. Aidan’s Private Room.

Perlahan tapi niscaya kubuka pintu kamarnya. Aku melihatnya, ia tengah tertidur pulas di ranjang. Apa ini mimpi? Apakah ilusiku semata? Tidak! Dia memang Aidanku. Aku berlari memeluknya.

“Ayah? Ada apa? Bukannya kau tadi pergi ke kantor? Kenapa cepat sekali datangnya?” Ia terbangun kaget dan bertanya dengan polos. Aku semakin memeluknya erat. Takut ia tiba-tiba menghilang.

Aku menjadi sosok ayah yang lemah ketika ini. Air mataku begitu deras, tenggorokanku tercekat dan isakanku mulai terdengar nyaring.

“Ayah ada apa?” Aku menggeleng dan tetap mendekapnya erat.

“Aidan, Ayah minta maaf. Maaf tak sanggup membahagiakanmu, maaf. Kau sangat berarti untuk Ayah. Tak sia-sia usaha ibumu ketika melahirkanmu hingga ia mempertaruhkan nyawanya. Jangan pergi lagi. Ayah begitu hancur tanpamu, Nak. Kau satu-satunya harta yang saya miliki.”

Aku mulai melepaskan pelukan yang mungkin membuatnya sesak. Kurengkuh kedua pundaknya dan menatapnya wajahnya lekat. Wajah yang selalu ceria ini sangat kurindukan. Ia menyentuh daguku pelan.

“Hahahaha, gres kemarin saya membantu ayah cukur, ehh kini sudah gondrong lagi.”

Ah, putra 8 tahunku ini begitu polos. Aku hanya mengangguk dan sesegera mungkin mengemasi beberapa pakaiannya. Aku tau Aidan sangat bingung, tapi ia tidak bertanya sepatah kata pun. Aku menggandeng tangannya dekat menuju ruang bawah tanah dan segera membawanya pergi dari sini.

“Wah, Ayah, apa ini alat canggih buatanmu yang baru? Wah, menyerupai mobil-mobilan. Keren. Ayahku memang hebat!” Ia begitu antusias dan memamerkan formasi gigi putihnya.

Aku menyuruhnya duduk di bangku dan saya berdiri di belakangnya. Aku akan membawanya bertemu dengan Tendy.

Aidan tampak begitu semringah. Tangan kirinya tak melepaskan genggaman tanganku sama sekali. “Aidan, Ayah akan membawamu jalan-jalan. Kamu niscaya suka.”

“Asyiiik. Aku akan pergi bersama Ayah!” ia berteriak dengan lantang. Mataku memanas kembali, rasanya saya ingin menangis. Masih tak percaya siapa yang kini bersamaku. Alat ini kembali bergetar, dan kami menelusuri waktu bersama menuju 1 tahun yang akan datang.

*****

“Ayah? Apa kita sudah sanggup keluar? Aku tak sabar bermain denganmu. Sudah usang kita tak main petak umpet.” Aku menggendongnya, tangan kananku membawa tas ransel miliknya. Kami keluar dari mesin waktu.

Selangkah, dua langkah. Aku kembali ke pulau ini. Suasana pantai menyambut kami.

“Ayah, terima kasih telah mengajakku ke sini. Aku suka pantainya.”

Aku memandang Aidan, ada yang aneh. Tubuhnya seolah membias, namun ia tetap dengan tawanya. Aku sangat panik.

“Ayah yaitu ayah terhebat sedunia!” Perlahan ia lenyap dari gendonganku. Aku membuang kasar ranselnya dan berbalik mencari ke tabung waktu. Kosong. Aku berlari ke sana kemari meneriakkan namanya.

“Aidannnn, Aidannnn! Ke mana kamu? Aidannnnnn! Ayah belum memulai permainan petak umpetnya. Ayolah keluar!”

“Aidan!!!” Aku berteriak dengan frustasi. Ia tak ada, ia menghilang.

Aidanku tak kembali.

Aku tertunduk. Pasir hangat ini tak lagi saya sukai. Aku meraih ranselnya dan menarik paksa sepotong bajunya. Aroma badan Aidan menyeruak. Langitku kembali mendung, dan hujannya kembali terurai nyata.

Aidan, Ayah gagal. Aku tak sanggup mengembalikanmu. Mungkin sesuatu yang hilang harusnya memang tak kembali, atau sesuatu yang telah kemudian harusnya tak diungkit lagi. Dan memang intinya hidup tak menentu pada satu hal di masa lalu. Aku terlalu berpacu untuk merengkuh yang telah usai yang berakibat menyakiti diriku sendiri. Luka ini begitu nyata. Aku kehilanganmu lagi. (*)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel