Seribu Cahaya Di Langit Muram | Cerpen Bia R
Setelah memastikan teman-teman satu kamarnya tidur, Zain dan Buyung membuka lemari pakaian. Dua bocah sebelas tahun itu memasukkan pakaian ke dalam ransel. Zain, anak yang berwajah oriental membisu sejenak, kemudian menatap Buyung.
“Yung, sebaiknya kita tidak membawa apa pun selain lampu ini.” Zain mengacungkan untaian lampu hias.
“Memangnya kenapa?” Buyung menghentikan gerak tangannya yang tengah melipat sarung.
“Nanti Pak Ustadz curiga. Bisa gagal lagi kita,” bisik Zain.
Setelah memperhatikan keamanan, dua bocah itu mengendap-endap ke luar asrama. Lingkungan asrama memang sedang sepi dikala itu, sebab sudah hampir tengah malam dan sedang demam isu liburan. Beberapa siswa dijemput orang bau tanah mereka untuk berlibur bersama keluarga. Penghuni asrama menjadi berkurang. Bahkan hampir tiap hari, ada saja yang pulang.
Buyung dan Zain sudah tidak mempunyai orang tua. Mereka dibawa ke yayasan sekolah islami itu sebagai siswa tidak mampu. Setiap demam isu liburan, mereka tak pernah pulang. Kecuali dikala masih ada Daen.
Daen yaitu sahabat mereka yang sama-sama sekolah dan mondok gratis di sana. Daen masih mempunyai ibu dan seorang adik wanita yang masih balita. Kondisi ekonomi keluarga mereka terbilang sulit, sehingga ikut mondok gratis di sana.
Dulu, Buyung dan Zain selalu ikut berlibur ke rumah Daen dikala ibunya menjemput. Mereka selalu membujuk pengasuhnya untuk mengizinkan. Mereka berjanji tidak akan menyusahkan Ibu Daen. Disana, mereka menghabiskan liburan dengan bermain di pantai, dan membantu ibu Daen berjualan.
Setahun kemudian, Daen terpaksa keluar asrama sebab harus mengurus ibunya yang sakit. Ia tidak mempunyai famili lagi selain adiknya yang masih balita. Pihak asrama mengizinkan Daen pulang walau berat hati. Setelah usang menunggu, Daen tidak kembali dan tidak ada kabar apa pun tentangnya. Hal itu yang menciptakan Buyung dan Zain rindu pada Daen.
Di belakang asrama, ada pagar dinding yang jebol. Pihak asrama belum merenovasi, sebab dikala itu kerusakan dinding belum parah, dan jarang terkontrol. Padahal, setiap hari, ada saja siswa usil yang memperbesar lubang itu. Dari lubang yang hanya muat badan seorang anak kecil itulah Zain dan Buyung keluar. Mereka bergegas menuju jalan raya, menghentikan truk Cianjur bermuatan jagung tujuan Kota Bogor.
“Yung, saya sudah tidak sabar ingin bertemu Daen. Yung, lampu yang kita buat kemarin tidak ketinggalan, kan?”
Buyung mengacungkan kantong kresek, kemudian membuka isinya, dan mengatakan lampu-lampu kecil yang dipasang pada kabel panjang. Mereka menciptakan lampu-lampu itu dikala kiprah kesenian. Pihak yayasan yang memodali mereka. Setelah diberi nilai, lampu-lampu itu mereka amankan dengan alasan untuk hiasan kamar. Padahal mereka menyimpannya untuk Daen.
Dulu, Daen sering memperhatikan langit malam yang cerah dan lampu-lampu yang menyala di kejauhan dari jendela asrama. Katanya, lampu-lampu itu ibarat seribu cahaya yang hinggap di bangunan. Seperti bintang-bintang yang bertebaran di langit hitam. Daen ingin rumahnya yang gelap dan hanya disinari sebuah lampu lima watt di kamar kecil ibunya, bisa ibarat langit malam. Meski hitam, tetapi mempunyai seribu cahaya yang berkelip.
“Daen niscaya senang,” ucap Zain menatap langit malam.
Truk muatan menurunkan mereka di Kota Bogor dikala tengah malam. Dua bocah itu gegas mencari truk lain yang searah dengan kawasan tujuan mereka. Setelah tiga kali naik truk gratis, mereka hingga di kawasan tujuan ketika pagi menjelang siang.
“Daen! Aku kembali.” Zain berteriak dan berlari menuju permukiman warga yang carut-marut. Di belakang, Buyung mengekor dengan wajah riang. Saat itu matahari mulai terik memperabukan bumi.
Mereka mencari Daen hingga magrib, tapi tak kunjung bertemu. Sebenarnya, dua bocah itu lupa ibarat apa rumah Daen, dan di mana letak pastinya. Mereka nekat mengetuk setiap pintu rumah hanya untuk menanyakan Daen.
Bakda isya, mereka tetapkan mencari Daen ke pantai. Mereka yakin Daen ada di sana. Dulu, dikala berlibur, Daen sering mengajak mereka ke pantai untuk melihat langit berbintang, dan lampu-lampu kapal di lautan lepas.
“Daen! Kau di mana? Kami membawakan seribu cahaya untukmu, Daen!” teriak Zain, ke setiap arah.
“Daen! Lihatlah! Aku membawa hadiah untukmu!” Buyung mengacungkan kresek hitam berisi lampu hias buatan mereka.
Debur ombak membelah sunyi. Tidak banyak orang yang berlalu-lalang atau bercengkerama di sekitar mereka. Dua bocah itu terus berteriak mencari Daen yang entah berada di mana. Perut mereka telah meraung-raung ingin diisi. Setelah seharian penuh menaklukkan perjalanan, perut mereka hanya diisi roti proteksi orang dikala di masjid, ketika salat Subuh.
Dua bocah itu berlari ke arah permukiman. Barangkali Daen berjalan ke sana, berjualan gorengan hangat dan teh manis. Belum hingga mereka ke sana, gulungan ombak tinggi menghantam. Mereka terbawa arus air dan terendam di kawasan yang entah berada di mana.
*****
SETELAH beberapa menit terombang-ambing air taut, Buyung tersadar. Tubuhnya berada di atas pintu kayu yang rusak. Ia limbung mencari temannya. Air mata mengalir di pipi tirus Buyung. Dadanya berdebar kencang. Ia takut. Takut mati dan takut terpisah dari Zain.
“Zain!”
Tidak ada sahutan selain bunyi air dan teriakan orang yang lamat memecah sepi. “Zain! Kau di mana?”
Senyap. Anak lelaki itu terdiam, menatap air yang sedikit tenang. Puing-puing kayu mengambang di sekitarnya. Tubuhnya berguncang sebab tangis yang sesenggukan. Ia terus merafal nama Zain, dan Daen. Tiba-tiba tangannya menggapai untaian lampu hias buatannya yang hanyut dihadapan.
“Zain! Kau di mana?” katanya lirih, menatap lampu hias yang hambar dengan mata berkabut.
Dari arah lain, ia mendengar bunyi Zain memanggilnya. Buyung menoleh ke arah bunyi itu. Ia melihat Zain terendam air hingga leher. Buyung memanggil temannya, mendayungkan sepasang tangan biar pintu kayu itu melaju ke arah Zain yang berusaha bertahan. Saat itu Zain hampir tenggelam.
“Zain, bertahan. Ayo raih tanganku!”
Tangan hambar bocah itu menggapai tangan buyung. Ia naik ke bongkahan kayu itu. Mereka berbaring di sana, menatap langit yang hitam dan sunyi.
“Yung, lihat!” Zain menujuk ke arah langit. “Aku melihat Daen di sana. Ia tersenyum pada kita. Daen dikelilingi seribu cahaya yang bersayap.” Zain tak berkedip menatap langit. Bulir hangat keluar dari mata sipitnya.
Buyung menatap langit begitu lekat. Ia tidak melihat apa pun selain kemuraman. Ditatapnya kembali Zain yang pucat. Zain yang begitu senang menatap langit di mana ada Daen dan seribu cahaya bersayap di sana. Apakah cahaya-cahaya itu yaitu malaikat?
“Zain, kamu harus bertahan. Kita niscaya bisa.”
“Yung, saya menyayangimu dan Daen. Kalian yaitu saudaraku. Yung, saya sangat menyayangi kalian.” Zain meraih tangan Buyung. Digenggamnya tangan itu dengan erat.
“Aku pun menyayangimu, Zain. Kau dan Daen yaitu orang yang paling baik di dunia ini.” Buyung balas menggenggam tangan Zain yang dingin.
“Yung, lihat! Cahaya-cahaya itu mulai mendekat dan hampir menemui kita.”
Buyung mengalihkan kembali tatapan ke langit. Ia tidak melihat cahaya apa pun selain hujan yang mulai menyerbu. Embusan angin meniupkan sepi menyayat di dada Buyung. Ia mencicipi sesuatu yang aneh. Ia takut. Takut berpisah dengan Zain. Bocah itu berharap bahwa dirinya sedang bermimpi kini.
“Yung, cahaya itu menyentuhku hangat,” kata Zain, memejamkan mata dikala rintik hujan menghujam tubuhnya. Genggaman tangan Zain yang semakin hambar melonggar. Tak ada lagi kata yang diucap Zain. Sebelumnya ia sempat melafal tauhid kemudian tersenyum.
Sunyi. Buyung menatap Zain yang tertidur tenang. Matanya mulai hujan ibarat langit hitam yang menurunkan renai kesunyian. Ia mengguncang badan Zain yang kaku dan dingin. Sunyi. Tidak ada bunyi apa pun selain isak tangisnya sendiri.
“Zain, jangan pergi. Aku tak ingin kehilanganmu.” Buyung menggenggam erat tangan Zain yang kaku.
Buyung mengalihkan pandangan pada langit hitam. Dari langit itu ada setitik cahaya, bertambah jadi dua, tiga, dan seterusnya hingga ia tak sanggup menghitung. Cahaya-cahaya itu mengeluarkan sayap yang indah. Di antara cahaya-cahaya itu, ia melihat Daen dan Zain tersenyum padanya.
Cahaya-cahaya bersayap itu turun menghampirinya. Tetapi masih terlihat sangat jauh. Buyung tak berkedip menatap ribuan cahaya yang bergerak ke arahnya. Ia telah siap dihujani cahaya itu.
Dari arah lain, ada cahaya lingkaran yang menyentuh kulitnya. Cahaya itu semakin mendekat. Kemudian ia mendengar teriakan seorang lelaki.
“Ada dua anak kecil di sini!”
Buyung menoleh ke sumber cahaya itu, kemudian ia kembali menatap langit dan cahaya-cahaya bersayap yang mulai mendekat. Teriakan dan suara-suara itu masih sanggup terdengar sebelum jadinya menjadi pelan kemudian hening. (*)