Lelaki Kabut Dan Boneka | Cerpen Helvy Tiana Rosa
“Siapakah… lelaki… itu? Di… di… mana… dia?”
Orang-orang bertanya-tanya. Mengeluarkan bunyi gagap dengan badan meremang gemetar. Wajah mereka pasi, serupa lilin-lilin di keheningan demam isu dingin. Ya, mereka mencicipi keberadaannya, tetapi mereka tak yakin ia benar-benar ada. O, adakah lelaki yang bertahan hidup di balik kabut selama itu? Dan sang lelaki, hanya ia sendiri yang mengetahui bahwa ia sungguh ada.
Kelam merangkaki belukar malam. Kini lelaki itu kembali untuk menebarkan nyeri dalam pekat. Di bawah sebuah pohon yang telah meranggas, tangannya mengacung-acung ke udara, ”Akulah semesta!”
Langit merah. Tanah pecah dan angin rebah. Kengerian berhembus menerjang kabut, melewati lorong-lorong peradaban yang tergali oleh waktu, membongkar kebiadaban diri di dasar yang paling sunyi. Ah, walau Socrates hidup lagi, tak akan bisa untuk membawanya kembali ke jalan perundingan.
“Aku akan menyiapkan semua,” kata lelaki itu pelan sambil menyepak-nyepak kepala insan yang awut-awutan di mana-mana. Diambilnya sebuah tengkorak kepala kecil. Diamatinya beberapa saat. Pasti bayi yang sangat mungil, pikirnya. Lalu dilemparnya tengkorak itu, ibarat seorang pelajar tanggung melempar kerikil pada pelajar lain di tengah kota. Angin meniup benda itu, menerbangkannya hingga jatuh kembali entah di mana.
Ya, angin memang selalu menerbangkan segala, juga kenangan. Bahkan semua kenangan indah perihal diri dan keluarga. Tentang tanah airnya. Kini yang tersisa yaitu kebencian dan amarah. Dendam yang membelit-belit, kabut dan tentu saja para boneka itu.
Tak akan ada yang bisa menghentikannya sekarang. Tidak juga Tuhan, pikirnya pongah. Lelaki itu tertawa. Terbahak-bahak hingga keluar airmata. Sebentar lagi ia akan menjadi insan dambaannya: Si Pemusnah. Ya, sebentar lagi ia akan hingga di puncak tujuannya: memusnahkan tanah airnya sendiri!
Lelaki itu menatap ribuan boneka seukuran dirinya yang berada di hadapannya. Boneka-boneka sekabut dirinya, dengan mata berwarna warni: biru, merah, coklat, hitam dan hijau.
Dulu sekali boneka-boneka itu pernah menjadi manusia. Namun banyak hal, terlalu banyak hal, yang menciptakan insan ingin berhenti jadi insan dan berkembang menjadi boneka.
Ia telah mengumpulkan banyak sekali jenis boneka semenjak lama. Jenis preman, perusak, pembunuh, pemerkosa, pembakar, penggantung, pengadu domba, pembuat bom, pembisik, perayu hingga penyebar obat-obatan terlarang. Mereka ditemukannya di tong-tong sampah, di hotel-hotel mewah, juga di gedung-gedung yang penuh berisi pejabat. Ya, selalu ada boneka di setiap tempat.
Meski boneka, sosok-sosok tersebut bagai manusia. Bahkan insan yang orisinil akan terkecoh bila menatap para boneka yang amat ibarat dengan mereka itu! Satu-satunya yang tak ada pada boneka itu hanyalah hati.
Dulu ketika masih manusia, hati-hati mereka berada di tempat yang paling tersembunyi dari diri mereka. Lalu dalam keterpencilan, gumpalan-gumpalan darah itu rontok digerogoti jamur dan lumut yang tak bernama. Dan tanah masa silam telah menguburnya begitu rapat.
Maka sang lelaki pun akan terkekeh-kekeh. Juga dikala para bonekanya menebar teror di banyak sekali tempat. Meninggalkan kubangan darah, reruntuhan gedung, basi daging insan yang terbakar, aroma curiga, serta distributor diam-diam liar di mana-mana.
Dan lelaki itu mencicipi kenikmatan yang aneh. Indah. Pedih. Damba. Benci. O, ia telah memindahkan letupan-letupan angkara itu, gelegak maritim dalam dirinya. Darahnya telah maritim dan lautnya berdarah dan….
“Berhentilah, Angkara! Berhentilah!”
Suara itu! Hanya bunyi itu yang berani memanggilnya demikian. Perempuan itu! Perempuan yang bersamanya bertahun-tahun. Yang menempati hati dan mengecup semua lukanya setiap saat, namun tak sekali pun pernah memanggil namanya. Perempuan yang selalu membuatnya sadar betapa berkuasanya ia, sang Angkara.
“Sunyi?”
“Ya, aku.”
Sosok wanita itu melayang dalam pandangannya, ibarat gres saja turun dari langit. Wajahnya masih pias ibarat dahulu dan ia masih saja menyukai baju-baju berwarna pucat dengan motif kembang-kembang merah.
Lelaki itu mengucek matanya sekali lagi kala melihat kembang-kembang itu mencair sebagai darah dan menetes-netes jatuh ke tanah.
“Mengapa kamu kembali? Mengapa?”
“Aku tak kembali, lantaran saya tak pernah pergi, Angkara.”
“Kau sudah mati, Sunyi.”
“Kau salah, Angkara. Kau yang telah usang mati.”
“Mati? Aku tak bisa mati, bahkan bila saya mati!” bunyi lelaki itu terdengar parau sesaat namun tetap menggelegar. “Kau tahu, Sunyi. Kalau pun saya mati, saya akan mati bersama semua kehidupan di tanah ini.”
“Dendam selayaknya hanya berhenti pada kata atau bergelinjang dalam pikiran yang kerdil, tetapi ia tak boleh hadir di permukaan. Kau tahu mengapa? Sebab Dia dan seluruh mahluk-Nya akan berpaling dari dirimu. Jejak-jejakmu sebelumnya, bayanganmu pupus oleh kelam dendam yang kamu ukir pada seonggok darah dalam tubuhmu….”
Angkara mendesah. Mereka, seluruh orang di negeri ini pantas mendapat itu, teriak batinnya. Bukankah selama bertahun-tahun mereka merejam dan membunuh kemanusiaannya? Ya, bahkan tanpa berpikir sedikitpun akan jasa-jasanya bagi negeri. Kaprikornus mereka yang menyulut peperangan ini. Orang-orang yang berbuat semaunya itu telah merekayasa segala hingga ia berkembang menjadi orang sepotong. Kaprikornus jangan tanya ke mana perginya jiwa ataupun kemanusiaannya! Mereka telah mencerabut itu semua dari dirinya dan menenggelamkannya dalam jelaga lara tak berkesudahan yang mengkremasi dada dan mencuatkan dendam dalam langit-langit kepala.
Lalu ketika ada orang yang memberinya uang untuk membeli kepulauan di luar negeri asalkan ia menciptakan tanah kelahirannya menjadi api, ia tergeragap sesaat namun kemudian menganggapnya sebagai suatu kiprah suci. Ya, sebuah kiprah suci untuk membersihkan segala yang ada dalam negerinya dengan api. Hanya dengan api.
“Sunyi…,” lelaki itu mendesah, memanggil wanita yang selalu dirindukannya.
Tetapi tiada jawaban.
“Kau tak pernah benar-benar ada, bukan?”
Sepi. Hanya kabut pekat menyelubungi.
“Kau hanyalah bayangan yang menarikan tari kebajikan untukku. Memahatkan senyap yang menggigil dalam kalbu…,” Lelaki itu mengusir perih yang sesaat menusuk batinnya. Ia menarik napas panjang beberapa lama.
“Sunyi! Sunyiiiii!” Ia terus memanggil wanita tadi dengan bunyi yang kian usang kian sengau. Sungguh, ia mengasihi wanita yang hidup di batas khayal dan kenyataannya. Ia ingin wanita itu melahirkan bawah umur mereka. Tetapi bukankah ia hanyalah keindahan yang tiada?
“Ayah! Ayah!”
Lelaki itu menoleh dan menatap ribuan boneka yang menghampirinya dari banyak sekali penjuru, bagai kumpulan bocah taman kanak-kanak menyongsong kedatangan ayah yang menjemput mereka dari sekolah.
“Aku telah melakukannya, ayah!”
“Kita berhasil, ayah!”
Mereka dengan mata menyala menggamit lengannya manja. Meyakinkannya untuk melihat sesuatu yang telah mereka lakukan di seluruh negeri. Dan dalam sekejap, lelaki itu merasa berada dalam sebuah galeri yang memamerkan lukisan mahakarya yang tak seorang pun bisa berkata kala memandangnya.
Dari kejauhan ia kembali mendengar gemuruh teriakan manusia, suara-suara ledakan, tangisan bayi dan lirih para jompo memanggil-manggil nama ilahi mereka. Ia sanggup mencicipi gedung-gedung yang runtuh dan tubuh-tubuh yang pecah membentuk potongan yang hampir sama di udara. Ia mencium basi gosong dan mencicipi geliat galau dan kesah para pemimpin itu.
Hidung lelaki itu bergerak-gerak, menghirup dengan rakus aroma basi darah pada cakrawala, seolah itu yaitu wangi kesturi.
Fffhuuihh, sebentar lagi ia akan keluar dari negeri yang poranda ini. Ya, tak usang lagi, dikala semua menjadi arang, hingga tak menyisakan sejumput asa pun.
Ia bergegas ke tempat persembunyiannya yang jauh dari sentra kota. Membaca semua koran yang diantarkan pesuruhnya. Hampir semua mewartakan karya besarnya. Ia menyetel televisi. Matanya picing menatap kegemparan yang menjadi mini di layar kaca. Rahangnya mengeras dan gigi-giginya saling menggigit.
“Saudara, pelaku kerusuhan dan pemboman di sejumlah tempat telah sanggup ditangkap oleh abdnegara keamanan. Mereka adalah….”
Bibir lelaki itu melengkung ke bawah, sesaat kemudian ia terbahak-bahak hingga airmatanya berlinangan. Ia menggoyang-goyangkan pantatnya di depan wajah para abdnegara dan pejabat yang entah mengapa sesaat merasa lega. Ia berjingkrak-jingkrak dan menarikan tarian aneh yang dulu hanya bisa dibawakan oleh Calon Arang.
“Tuhan tak pernah tidur, Angkara…,” bisikan-bisikan Sunyi menerobos setiap lubang udara yang ada di kediaman lelaki itu. Sesaat lelaki tersebut merasa angin yang begitu kencang menampar-nampar wajahnya, entah dari mana.
Tetapi lelaki itu tak peduli. Baginya Sunyi, Tuhan dan semua yang indah hanyalah imaji risau yang menempel sesaat pada rona hitam hidupnya. Dan dengan sekali kibasan, ia sanggup mengusirnya.
Lelaki itu masih terbahak-bahak, masih berlinangan airmata.
Kabut terus bergerak membentuk gumpalan yang semakin pekat membungkus dirinya. Di segenap penjuru negeri, para boneka bertepuk tangan.
Sementara itu orang-orang tak berhenti menggigil. Mereka tak bisa lagi berjalan, hanya merangkak pada genangan merah dan tergelincir berkali-kali. Setiap pagi, siang dan petang mereka menemukan lagi tubuh-tubuh terbongkar yang membujur panjang, bagai jembatan tak bertepi yang menghubungkan tiap tempat di negeri itu. Dan mereka masih saja bertanya dengan badan meremang dan bunyi darah: “Si… siapa… dia? Me… mengapa kalian belum juga… menangkapnya?” (*)