Film-Film 'Spider-Man': Terburuk Hingga Terbaik

UlasanPilem telah menyusun daftar peringkat semua film 'Spider-Man', diurutkan dari yang terburuk hingga yang terbaik. Dimana posisi 'Spider-Man: Into the Spider-Verse'?
 UlasanPilem telah menyusun daftar peringkat semua film  Film-film 'Spider-Man': Terburuk hingga Terbaik

Dengan dirilisnya Spider-Man: Into the Spider-Verse beberapa hari lalu, maka dalam rentang waktu 16 tahun kita sudah mendapatkan 7 film solo Spider-Man, 3 Peter Parker live-action (Tobey Maguire, Andrew GarfieldTom Holland), 2 Peter Parker animasi (Jake Johnson, Chris Pine), dan banyak Spidey non-Peter Parker, mulai dari yang insan hingga yang halu macam Spider-Ham. Sudah lebih dari selusin, dan lebih dari separuhnya disumbang hanya oleh Into the Spider-Verse.

Maka, sudah waktunya bagi saya merilis daftar peringkat film Spider-Man untuk mengakhiri perdebatan mengenai film mana yang merupakan film Spider-Man terbaik... Tidak juga, sih. Opini yakni hal yang subyektif dan daftar saya takkan menjadi daftar peringkat paling definitif. Saya hanya ingin bersenang-senang menciptakan daftar sekaligus menjawab pertanyaan dari pembaca mengenai film Spider-Man terbaik versi saya.

Sebenarnya tak ada film Spider-Man yang benar-benar hancur lebur porak-poranda, menyerupai halnya Suicide Squad atau Fantastic Four 2015 misalnya. Tapi namanya daftar peringkat, saya mau tak mau harus menempatkan yang satu di daerah yang lebih jelek daripada yang lain.

Dalam daftar ini saya takkan memasukkan yang bukan film layar lebar, menyerupai serial, film lawas atau drama panggung (singkatnya, film yang tidak kita tonton); film canon spekulasi (Iron Man 2); film cameo (Captain America: Civil War alasannya ini bukan film Spider-Man, judulnya saja "Captain America"); film dimana Spider-Man hanya tampil sebagai butiran debu *uhuk* (Avengers: Infinity War), serta film Spider-Man Universe yang tak menampilkan Spider-Man (Venom).

Berikut daftarnya:

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem


#07 Spider-Man 3


Spider-Man 3 akan diingat selamanya sebagai film yang menampilkan Spider-Man emo, sesuatu yang tak kita duga dan tak tahan lama-lama kita lihat dalam sebuah film superhero. Itu, dan adegan dansa paling memalukan yang pernah saya tonton. Menyaksikan Peter gundah alasannya gres puber tidak mengecewakan sanggup dimaklumi, tapi melihatnya depresi hampir sepanjang film? Tak ada film Spider-Man yang menciptakan kita males dengan Peter Parker/Spider-Man melebihi Spider-Man 3.

Film ini berisi terlalu banyak konflik dan karakter. Ada 3 villain disini: Green Goblin, Sand Man, dan Venom (meski yang pertama hasilnya berpindah kubu). Dan itu belum termasuk kontradiksi internal antara Peter Parker Normal dengan Peter Parker Emo. Kalau saja filmnya sanggup mengurangi satu villain saja. Namun apa lacur, studio memaksa memasukkan sebanyak mungkin abjad alasannya ingin segera mengekspansi franchise. Gara-gara ini, sutradara Sam Raimi bahkan tak begitu mau mengakui Spider-Man 3 sebagai filmnya. Film ini sukses secara finansial, namun tidak demikian dengan kenangan penonton akan Spider-Man.


#06 The Amazing Spider-Man 2


Saya tidak mengecewakan menikmati The Amazing Spider-Man 2... pada awalnya. Sampai film ini melaksanakan "dosa" yang dilakukan oleh Spider-Man 3 dan mendapatkan konsekuensi yang sama dengan film tersebut: mengakhiri franchise-nya masing-masing. Jika Spider-Man 3 sanggup dibagi menjadi dua film, maka The Amazing Spider-Man 2 sanggup dibagi menjadi tiga film. Selain Electro dan Green Goblin, ada pula Rhino yang muncul sempurna di ketika saya pikir filmnya sudah berakhir. Saya lega alasannya sudah terbebas dari dongeng yang penuh sesak, tapi kemudian Paul Giamatti tiba dengan kostum badaknya... and here we go, again.

"Kenapa?" kita bertanya. Tentu saja, lagi-lagi untuk membangun universe. Setelah film ini, Sony berencana menciptakan spinoff berjudul Sinister Six. Ini menganggu, alasannya ia tak tergabung dengan organik ke dalam film, melainkan lebih terkesan sebagai afterthought. Satu hal yang saya apresiasi yakni bagaimana chemistry yang dibangun antara Peter dan Gwen Stacy semenjak film sebelumnya menerima payoff yang mengena secara emosional, meski sanggup dibilang tak sesuai impian kita. Jujur saja, anda niscaya juga tak rela. [Ulasan lengkapnya klik disini]


#05 The Amazing Spider-Man


Hanya berselang lima tahun semenjak film Spider-Man terakhir Raimi, alasan melaksanakan reboot melalui The Amazing Spider-Man lebih kepada betapa besarnya tragedi yang ditimbulkan Spider-Man 3 alih-alih kebutuhan untuk menceritakan perspektif baru. The Amazing Spider-Man intinya mengulang persis film Spider-Man kecuali beberapa detil kecil yang membuatnya lebih sentimentil daripada pendahulunya tersebut. Sang sutradara Marc Webb, yang pernah menggarap film romantis (500) Days of Summer, memperlihatkan cukup sensitivitas yang menciptakan chemistry yang besar lengan berkuasa antara Peter Parker dengan Gwen Stacy, pacar Peter sebelum berjumpa dengan Mary Jane. Didukung dengan performa dari Andrew Garfield dan Emma Stone, romansa keduanya bahkan menjadi pondasi penting bagi sekuelnya.

The Amazing Spider-Man juga sanggup dibilang lebih bersahabat ke komiknya, alasannya Peter kali ini menggunakan pelontar jaring mekanik, bukannya serat organik yang berasal dari tangan menyerupai filmnya Raimi. Sekuens aksinya tidak mengecewakan lezat dilihat alasannya Webb tak terlalu mengandalkan fast cut. Untuk Garfield sendiri, berdasarkan selera saya ia cocok menjadi Spider-Man yang hobi nyeletuk dan ngelawak gaje, tapi sebagai Peter Parker, ia terlalu gaul.


#04 Spider-Man


Untuk urusan signifikansi, tak ada yang lebih penting daripada film Spider-Man. Film ini, bersama X-Men-nya Bryan Singer, menandai dimulainya kurun superhero modern; nyaris sama pentingnya dengan Superman-nya Richard Donner. Saya ingat betapa saya terpana ketika pertama kali menonton film ini dan bagaimana teman-teman saya di sekolah membicarakannya tanpa henti. Rasanya belum ada film di jaman itu yang punya pengaruh Istimewa senekat dan sekompeten Spider-Man; Sam Raimi berani menyuguhkan film yang sebagian besar adegan aksinya yakni CGI. Casting-nya pas, terlebih Willem Dafoe sebagai Green Goblin dan J.K. Simmons sebagai bos koran, Jonah Jameson.

Film ini takkan terlupakan alasannya ia juga punya nilai historis. Siapa yang tak ingat momen ketika Peter Parker bergelayutan di tengah kota dengan jaringnya untuk pertama kali? Atau ciuman upside-down yang kini dianggap sebagai salah satu ciuman terdahsyat di dunia sinema? Tobey Maguire yakni Peter Parker yang ideal, namun tak demikian ketika menjadi insan laba-laba. Ia menangkap keluguan dan kecanggungan Peter, namun ketika di dalam kostum, ia menjelma abjad animasi satu dimensi. Meski begitu, penampilan Maguire begitu ikonik hingga orang-orang masih tak rela kostumnya berpindah tangan.


#03 Spider-Man: Homecoming


Setelah menonton Spider-Man: Homecoming, saya putuskan Tom Holland menjadi Spider-Man favorit saya. Ia yakni Peter Parker pertama yang benar-benar bersikap DAN terlihat sebagai berakal balig cukup akal puber. Hal paling menarik darinya yakni kepolosan serta semangatnya untuk mengaktualisasikan diri dan berguru lebih banyak. Spider-Man kembali pada fitrahnya sebagai pahlawan yang relatable dengan rakyat jelata. Marvel bilang bahwa film ini akan menjadi semacam film berakal balig cukup akal ala John Hughes yang bertempat di semesta superhero, dan Spider-Man: Homecoming benar-benar film yang demikian. Ringan, segar, dan asyik.

Film ini untungnya tak mengulang kembali backstory, yang berarti kita tak perlu lagi melihat Peter digigit laba-laba radioaktif atau meninggalnya Paman Ben. Kita pribadi dibawa ke Sekolah Menengan Atas Peter dengan segala dinamika khas film remaja, sekaligus memperkenalkan kita dengan Vulture (Michael Keaton), villain pertama dalam semesta Spider-Man yang punya kedalaman motif sesudah Doctor Octopus. Memang, film ini mencoba melaksanakan pengembangan dengan mengaitkannya pada Marvel Cinematic Universe, namun caranya lebih asyik dibandingkan The Amazing Spider-Man 2. [Ulasan lengkapnya klik disini]


#02 Spider-Man: Into the Spider-Verse


Awalnya saya skeptis. Dari judulnya saja, saya kira film ini akan menjadi satu lagi cara murahan dari Sony untuk mengekspansi Spider-Man Universe mereka. Namun Spider-Man: Into the Spider-Verse menciptakan saya terhenyak. Filmnya ternyata beneran seru, asyik, dan surprisingly, intim. Film ini sukses mengatasi problem utama yang menciptakan film Spider-Man sebelumnya terjerembab, yaitu terlalu banyak villain. Faktanya, Spider-Verse bahkan juga punya terlalu banyak Spider-Man. Namun, ini tak menciptakan filmnya kehilangan fokus. Banyaknya abjad ini justru dimanfaatkan untuk menyoroti nilai tematis fundamental dari Spider-Man.

Dengan penggunaan format animasi, para pembuat filmnya benar-benar mengeksplorasi mediumnya secara maksimal. Selain mencoba menggunakan plot yang barangkali terlalu gila (atau mungkin terlalu mahal) untuk ukuran film live-action, film ini juga memanfaatkan kebebasan tersebut untuk menyajikan animasi yang inovatif, koreografi yang hiperaktif, serta sudut pengambilan gambar yang spektakuler, sehingga memperlihatkan pengalaman menonton yang tak kita sanggup dari film Spider-Man yang sudah-sudah. Pembuatnya juga bermain-main dengan pengetahuan kita akan budaya pop mengenai Spider-Man, yang memperlihatkan kesempatan untuk menampilkan banyolan kocak nan cerdik. Dalam review, saya bilang Spider-Verse yakni film Spider-Man paling komplit. Saya takkan mengoreksi pernyataan tersebut. [Ulasan lengkapnya klik disini]

#01 Spider-Man 2


Saya rasa tak banyak yang akan mendebat pernyataan bahwa Spider-Man 2 merupakan salah satu film superhero terbaik sepanjang masa. Film ini berfokus kepada insan di balik persona superhero dan supervillain-nya. Kita tak hanya dibawa dalam perjalanan emosional Peter yang mulai menjauh dari pacarnya, Mary Jane dan sahabatnya, Harry Osborn, namun juga konflik batin yang dialami dosen Peter yang kemudian menjadi Doctor Octopus (Alfred Molina). Sebelum Homecoming dan Into the Spider-Verse, ini yakni film Spider-Man pertama yang sukses memperlihatkan pergulatan internal antara jati diri sebagai insan dengan persona mutan berkekuatan super, baik untuk jagoan kita maupun musuhnya.

Dan Sam Raimi melaksanakan itu tanpa menciptakan kita karam dalam kegalauan sepanjang film (saya tak tahu apa yang terjadi padanya dalam Spider-Man 3). Alih-alih, Raimi menggabungkannya dengan mulus terhadap pengaruh Istimewa yang impresif dan sekuens agresi yang involving. Tentakel robotik milik Doctor Octopus yakni sebuah pencapaian tersendiri; mereka hidup, seolah bergerak dengan pikiran masing-masing. Dan ketika Spider-Man berhasil menjegal kereta berkecepatan tinggi hanya bermodal kekuatan jaring dan ototnya, kita tak sanggup menahan diri untuk tak berseru girang sebagaimana yang dilakukan oleh para penumpang kereta.


Kaprikornus bagaimana dengan anda? Anda sanggup saja punya urutan peringkat yang berbeda, jadi silakan menuliskannya di kolom komentar. Atau ingin mengkritik daftar saya? Boleh saja, saya jinak. ■UP

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel