Teriakan Aluna | Cerpen Juniar Amalia
Di belakang halte tersebut, ada seorang ibu yang menjajakan dagangannya untuk sekadar mengatakan kehangatan kepada para calon penumpang bus. Kopi, susu, teh, gorengan, dan aneka minuman dan masakan lainnya siap disajikan dalam keadaan masih hangat. Para kenek angkutan antarkota berteriak-teriak memperlihatkan tujuannya kepada para penghuni halte menambah keramaian subuh kala itu.
Ketika bus tiba, saya pun bersama dengan para calon penumpang cepat-cepat merapat ke depan pintu bus yang telah dibuka. Ada yang berharap masih ada bangku kosong yang tersisa untuk diduduki. Ada juga yang sudah tahu bahwa bus di waktu subuh pastilah penuh, jangan harap sanggup bangku untuk diduduki sambil merampungkan rasa kantuk yang melanda sisa malam tadi, alasannya yaitu halte ini yaitu halte pemberhentian ketiga rute bus ini.
Desing bunyi pintu bus ditutup pun terdengar. Tak ada penumpang lain lagi yang akan masuk. Bus pun berjalan dengan kecepatan biasa meninggalkan keramaian di halte ketiga. Aku pun melihat-lihat seluruh kursi, tetapi tak kudapati satu pun yang kosong. Aku pun meraih pegangan yang menggantung di bab atas bus ini. Mencoba menjaga keseimbangan.
Kuperhatikan langit di luar. Semburat cahaya matahari mulai memperjelas pemandangan di sisi-sisi jalan. Orang-orang mulai membuka tokonya. Buruh-buruh mulai berdatangan menuju pabrik. Para pekerja berjalan cepat-cepat ke arah kantornya. Anak-anak sekolah diantar para orangtua.
Temanku bilang, semua orang dengan acara yang berbeda itu sedang menuju tujuan yang sama. Dia mencoba bermain tebak-tebakan denganku kala itu.
“Coba jawab, Na!” ungkapnya sesudah melontarkan pertanyaannya.
“Apa ya?” tanggapku sambil berpikir.
“Bahagia?” jawabku ragu. Ia hanya tersenyum menatapku.
Desing bunyi pintu bus yang terbuka kembali terdengar. Seorang ibu membawa bayi kecil di gendongannya pun masuk mendahului seorang cowok berkemeja biru langit lengan panjang yang ia lipat sesiku. Halte keempat ini hanya menaikkan dua penumpang. Ibu tersebut mendapat bangku sesudah seorang lelaki berilmu balig cukup akal dengan tas kerjanya mengatakan kawasan duduknya.
“Makasih.” Ucap ibu itu dengan senyum sopan. Kemudian ia duduk dan mengatakan sebotol susu formula untuk anaknya yang terbangun hampir menangis alasannya yaitu kedinginan memasuki bus AC di pagi hari yang dingin.
Untuk mencapai halte terakhir, rute bus ini melewati jalan yang terlintas di tengahnya rel kereta api sehingga terkadang pada jam-jam sibuk menyerupai ini kemacetan tak sanggup dihindari. Bila kereta api lewat, palang pintu kereta api akan diturunkan secara otomatis. Palang pintu kereta api yang diturunkan ini lah yang menciptakan hentinya jalur kemudian lintas sementara untuk mendahulukan kereta api yang lewat.
Sekejap angin berembus berangasan di luar bus, menambah hawa hirau taacuh pagi itu. Suara khas gemuruh kereta tiba pun terdengar selama beberapa menit kemudian hilang. Kulihat palang pintu kereta api otomatis itu telah dinaikkan kembali. Lalu lintas pun berjalan kembali. Satu per satu kendaraan maju melewati rel kereta api. Tepat saat bus melewati rel kereta api sebelah kanan, seseorang menepuk bahu sebelah kiriku. Kutolehkan kepalaku kearahnya.
“Duduk, Mbak,” seorang ibu mempersilakanku menempati kursinya.
“Saya mau turun di depan,” lanjutnya.
“Oh. Terima kasih Bu,” jawabku sembari tersenyum.
Ketika saya hendak melangkahkan kaki menuju bangku itu, kulihat seorang petugas kereta api keluar terburu-buru menyerupai meneriakkan sesuatu sambil melambai-lambaikan tangan dari pos jaganya. Saat itulah, semua tak sanggup dikondisikan lagi. Bus tiba-tiba berhenti, terjebak di tengah-tengah rel kereta api, sang sopir mengumpat marah. Semua penumpang panik bertanya-tanya apa yang terjadi. Bayi yang tertidur lelap terbangun mendengar kegaduhan. Tubuhku pun mematung, terlihat dari kejauhan kereta api berjalan ke arah bus yang kutumpangi dengan kecepatan penuh sulit untuk diberhentikan.
“Buka pintunya!!!!” saya berteriak sekencang mungkin, sambil berusaha menggerakkan kakiku yang gemetaran. Semua orang pun melongo menatapku nanar. Aku pun mengarahkan jari telunjukku ke luar jendela untuk memberi mereka penjelasan.
“Cepat buka pintunya, Pak Sopir!!!” teriakku sekali lagi. Suasana di dalam bus pun berkembang menjadi kacau. Semua orang berteriak menginterupsi konsentrasi sang supir bus. Supir bus itu masih berusaha menjalankan busnya dengan panik.
“Tak akan ada gunanya, bodoh!” Seorang bapak-bapak menghardiknya tak sabaran.
“Cepat buka saja pintunya!” Kali ini seorang perempuan paruh baya meneriakinya dengan bunyi parau.
“Hanya dengan ini kita akan selamat semuanya!” balas sang supir keras kepala.
“Sungguh kamu tidak tahu?!! Kalau sudah menyerupai ini, sekuat apapun kamu menginjak pedal gasnya bus ini tetap tidak akan berjalan!!!!” ujar seorang cowok berambut cepak dengan teriakannya.
Sang sopir bus pun menghela napasnya kasar, mengumpat kembali sambil terus menginjak pedal gasnya kuat-kuat. Jalan pikirannya tak sanggup dikendalikan, serangan panik membuatnya tak sanggup berpikir dengan jernih.
“Yang benar saja??!!!” Seorang perempuan berteriak tak tahu lagi harus melaksanakan apa sesudah melihat sang sopir masih keras kepala melaksanakan hal yang tak berguna.
Aku pun mengedarkan pandanganku kesekeliling bus, sampai kudapati di sisi bab belakang bus sebuah benda merah alat pemecah kaca. Dengan terburu-buru saya berjalan untuk mengambilnya. Dengan susah payah saya melepaskan benda itu dari tempatnya sampai jadinya sanggup ter-lepas. Cepat-cepat kupukulkan benda itu pada pintu beling bus yang berada di bab tengah bus sebelah kanan.
Prangg!! Terdengar bunyi beling pecah yang menciptakan perhatian semua orang ter-arah padaku. Kemudian seorang cowok berkemeja lengan panjang yang tadi naik di halte keempat membantuku dengan menendangkan kakinya ke arah beling yang sudah mulai retak.
Mulailah kaca-kaca tersebut berjatuhan sampai kiranya sanggup mengeluarkan satu per satu orang dari bus itu.
“Saya akan mengeluarkan para perempuan dan bawah umur terlebih dahulu. Kamu bantu saya memecahkan beling di sebelah sana,” ucapku pada cowok itu sambil menunjuk pintu beling yang sebelah kiri. Lelaki itu pun menganggukkan kepalanya.
“Pak sopir tolong cepat bukakan pintunya. Kereta api itu semakin mendekat akan menabrak kita,” seorang anak pria berkata dengan air mata yang berderai-derai sembari memegangi tangan ibunya kuat-kuat. Orang-orang di luar sudah meneriaki mereka tak sabaran, panik jikalau harus terjadi sesuatu yang tak dibutuhkan siapa pun.
“Tombol pembuka otomatisnya pun tak sanggup berjalan,” ujar sang sopir dengan kepala menunduk pasrah.
Para penumpang pun menghembuskan napas paniknya. Berteriak-teriak tak jelas. Kemudian mendekat ke arahku, berebut hendak cepat-cepat keluar.
“Ayo, Bu. Ibu duluan,” ujarku pada ibu dengan bayi yang menangis dipelukannya.
Tiba-tiba seorang bapak-bapak menyerobot tubuhku berusaha untuk keluar lewat beling yang saya dan cowok itu pecahkan.
“Pak!!” sentakku sembari menariknya sekuat tenaga untuk menyingkir.
“Tolong kerja samanya! Ini bukan waktunya untuk mendahulukan ego kita! Kau mau semuanya kacau hanya alasannya yaitu kamu terjebak dalam emosimu?!!” seruku kesal. Namun, bapak itu tak mau mendengar, sampai cowok yang membantuku tadi menariknya dengan sekuat tenaga dan menahannya.
“Lepaskan!!” Bapak itu mencoba melepaskan diri.
“Ayo, Bu. Cepat!” seruku terburu-buru.
Tepat saat ibu dan anak bayinya itu melompat keluar, kereta itu mendekat. Hanya tinggal berjarak satu meter dari bus. Decitan roda kereta api dengan relnya berdesing tak tertahankan sampai mengeluarkan percikan-percikan api.
Namun, apa mau dikata, kita tak kuasa melawan waktu yang terus berjalan. Semua berkembang menjadi gelap seketika. Usaha sekeras apapun tak sanggup merubah takdir agung yang telah ditetapkan-Nya.
“Kok senyum?” tanyaku padanya.
“Benar tidak jawabannya?” tanyaku kembali. Tatapannya beralih ke arah depan, menyerupai membayangkan sesuatu.
“Bagaimana Aluna? Sudahkah kamu bahagia?” tanyanya kembali.
“Kurasa, ya,” jawabku menatapnya yakin.
Suatu kesunyian pun menyergap suasana pagi itu. Seakan waktu berhenti, menyisakan asap pekat menutupi pandangan. (*)