Mencari Imam Mushola | Cerpen Makanudin
“Mushola ibarat rumah renta tak berpenghuni.”
“Ya, mushola kita itu serupa kendaraan yang teronggok tak bersopir.”
“Kalau memang harus begitu mengkhawatirkan mengapa harus dibangun.”
Sebagai ketua warga, Pak Revolino merasa pikirannya terganggu mendengar omongan masyarakat perihal mushola. Pasalnya. Ia yaitu yang berwenang memberi keputusan siapa yang menjadi imam mushola. Lelah rasanya. Bahkan, ketergangguan pikiran itu pernah terjadi sehabis pembangunan mushola rampung lima tahun lalu, keluhan warga atas keterlambatannya memilih seseorang menjadi imam mushola yang tentu juga pengurusnya pun, tersiar di warganya.
Namun, ia lebih banyak diam. Belum bisa menentukan. Hingga karenanya ia segera menetapkan Pak bulan puasa menjadi Imam.
Pak Revolino mengunjungi tokoh yang pernah mencar ilmu di Madrasah Aliyah itu untuk diminta menjadi imam di mushola. Tentu semua warga pun setuju. “Sudah, segera! Biar terang saja imamnya,” begitu kata mereka.
Lalu ia segera mendaulat Pak bulan puasa menjadi Imam. Pak bulan puasa sempat menolak. Selain suntuk mengasuh anak kembarnya yang gres masuk SD, ia juga harus mengantar jemput istrinya jualan klontong di perempatan kota. “Tidak ada yang siap jadi imam, Pak,” kata Pak Revolino.
Pak bulan puasa hanya mencurahkan pandangan. “Buat apa membangun mushola jikalau tidak ada imamnya, Pak?” sambut Pak Niko yang menemani Pak Revol.
Keesokannya, dikala melihat Pak bulan puasa gres pulang mengantar istrinya, dengan memboncengi kedua anaknya, Pak Niko segera mengejarnya hingga hingga di rumah dan ia menemuinya. Mengerti maksudnya, Pak bulan puasa mengatakan, “ Rahmat siap imam, Pak,” begitu ia memanggil Rahmat Sugiarto, salah seorang warganya.
Sore sehabis mendengarnya dari Niko, di kali kedua itu Pak Revolino ke rumah Pak Ramadan. Ia tetap memintanya menjadi Imam.
Menduga Pak Rahmat yang lebih aktif di lingkungan warga dalam aneka macam acara dan perhelatan apa pun, ia kembali berkata, “Pak Rahmat saja, Pak.”
Pak Revol membisu beberapa jenak. Ia meragukannya. Meski pernah mencar ilmu di madrasah sore hari sepulang dari SD, ia juga jarang, bahkan tidak pernah mendengar Pak Rahmat yang tinggal di rumah yang bersebelahan dengannya itu membaca Alquran. “Warga sudah sepakat bapak yang mengimami kami di mushola.”
Akhirnya ia pun menerima. Siap meski tetap diam, tak memberi tanggapan dikala itu. Setelah Pak bulan puasa meninggal akhir kelelahan, dan jantungnya terasa meledak hingga ia tergeletak tanpa tertolong sebelum dibawa ke rumah sakit, Pak Revolino kembali dibentuk bingung. Siapa yang menjadi imam.
*****
Sore itu masih panas. Matahari barat cerah. Istrinya bergegas masuk dikala Pak Revolino sedang duduk dengan sarung dan peci di kepalanya. Ia gres akan siap melakukan sholat asar. “Imam mushola diserahkan ke Pak Maulana saja, Pak.”
Ia tidak segera menjawab. Beberapa hari kemudian di antara warga kampungnya yang kecil itu ia sudah mendengar informasi pria enam puluhan itu akan menjadi Imam. Lalu, tak ingin hanya informasi yang semakin santer, ia segera menemui Pak Maulana. “Saya minta bapak siap menjadi imam.”
Pak Maulana Hafiz diam. “Saya ingin bapak tidak memberi alasan kampung atau lainnya.”
Belum mendapat jawaban, ia pulang sehabis memastikan Pak Maulana akan tetap siap. Mengimami warga di mushola. Kemudian ia gres memastikan dikala istrinya meminta lelaki satu-satunya yang bacaan Alqurannya baik itu untuk menjadi imam, “Aku juga menginginkannya imam, Nung.”
“Bagaimana, Pak?” memastikan imam mushola.
Ia mengangguk. “Ya.”
Pak Maulana Hafiz siap menjadi imam mushola. Ia yaitu warga kampung sebelah. Tapi, alasannya mereka membutuhkan, maka ia pun bersiap. Sebelumnya, ia juga menyerahkan kepada Pak Rahmat.
“Aku gak bisa apa-apa, Pak.”
“Tapi, bapak lebih bisa dari warga lainnya.”
“Warga sudah mendukung Bapak,” balas Rahmat.
“Aku bukan warga sini, Pak Rahmat.” Ia beralasan.
“Tidak kenapa, Pak. Sama saja.”
*****
Sejak janjkematian Pak Maulana Hafiz akhir penyakit sesak napasnya, mushola sepi. Tak ada yang mengimami. Bukan hanya maghrib yang biasa dipenuhi jamaah, setiap waktu sholat sehari semalam pun tak terlihat mushola ramai oleh mereka. Tak ada yang berjamaah. Atau sekadar shalat sendiri. Warga pun belum bisa memilih siapa yang siap menjadi imam sehabis belum juga mendapatkan seorang pun.
Pagi-pagi itu biasanya Nurjanah membicarakan mata pelajaran anaknya sebelum suaminya mengantarnya ke seko lah, ia juga sibuk bicara mushola. “Memangnya tidak ada pria apa di kampung ini!” kesal Nurjanah. Entah ke siapa.
Revolino lebih merapikan buku-buku anaknya yang masih SD dan memasukannya ke tasnya. Bukan hanya warga, atau istrinya, ia juga ingin mushola segera mempunyai imam. Apalagi bisa mengajari bawah umur membaca Quran sembari menunggu waktu isya. Tapi, siapa? “Masa iya orang-orang di kampung ini al-Fatihah saja tidak ada yang bisa!” lagi, Nurjanah bergumam masih dengan nada kesal.
Revolino hanya diam. Tak menghiraukan. Ia lebih mempersiapkan keberangkatan anaknya. Itu tugasnya. Lalu sehabis rapi, ia menuju sepeda motor yang terparkir di depan rumah, dan meninggalkannya. Mengantar anaknya.
*****
Menjelang maghrib, Revolino duduk di ruang keluarga. Waktu mulai gelap sehabis matahari pelan tertarik ke barat. Tapi, kamar-kamar rumahnya terang oleh lampu yang sudah terpasang.
“Pak… mushola harus segera mempunyai imam,” kata Nurjanah yang gres saja mengambil air wudu.
“Tapi, keputusan imam itu harapan warga juga, Nung.” Begitu ia memanggil Nurjanah, istrinya.
“Sampai kapan mereka memilih seorang imam.”
“Sampai dapat.”
“Ya, kapan. Hampir sebulan mushola sepi.”
“Kita tunggu saja.”
“Bapak biasanya memilih sendiri kan.”
Ia diam. Seakan tak menghiraukannya.
“Aku ingin warga di sini yang menjadi Imam.” Istrinya masih berdiri, menggunakan mukena akan sholat.
Ia kembali dibentuk bingung. Siapa? Tanya hatinya. Pak Rahmat? Ia tak pernah memperlihatkan dirinya siap menjadi imam. Tapi, pantas atau tidak ia imam? pikirnya.
Namun, tanpa disengaja, ia pernah bertemu Pak Nikodi warung Pak bulan puasa yang dikelola anak sulungnya, Rizki. Ia hanya mendengarkan dikala mereka menyampaikan ingin secepatnya ada yang jadi imam di mushola. “Siapa, Pak,” tanya Rizki.
“Dari kampung kita saja.”
“Warga yang harus memintanya, Pak.”
“Ya, meski bacaannya tak bagus-bagus bangat,” kata Pak Niko.
Revolino hanya diam. Tapi, belum mengerti siapa yang mereka maksud, hatinya bertanya-tanya. Siapa…? Pertanyaan itu terus mengusik pikiran. Hingga istrinya juga menyarankan imam dari warganya.
“Siapa yang siap, Nung.”
Tanpa menuju kepada siapa pun, Nurjanah berkata, “Ya, Allah, Pak, jikalau saya jadi pria ni…” Ia menuding ke dirinya. “Saya sudah siap menjadi imam.”
Revol tersenyum. Memandanginya dengan bahagia atas perkataannya.
“Dari pada sepi begitu. Mushola ibarat tak terurus.” Ia juga memandanginya.
Lalu Revolino mengalihkan pandangan ke setiap kamar yang pintunya terbuka. Ke ruang keluarga. Ruang yang juga untuk shalat. Lalu ia berpikir. Ia mengira Nurjanah menunjuk seseorang dari warganya yang lebih bisa menjadi Imam.
Memang itu yang ia inginkan. Mengapa tidak semenjak janjkematian Pak Ramadan, atau bahkan semenjak dibangun mushola ia berbicara denganku seorang imam mushola, hatinya.
Ia mengerti. Banyak warga mencurigai Rahmat sebagai Imam. Namun, ia juga mengingat beberapa hari sehabis menjadi imam, merasa tak yummy badan, Pak bulan puasa meminta Rahmat mengimami. Hanya sekali itu saja.
Pak Maulana juga pernah menjelaskan, di darul abadi nanti mushola akan menuntut warganya yang tidak mengisi dan menghidupkannya. Maka biar tidak sengsara di akhirat, dengan alasan yang cukup besar lengan berkuasa itu, ia bersiap memilih seorang imam.
Tadinya ia akan shalat di ruang keluarga sehabis istrinya sudah siap lebih dahulu. Tapi, perkataan istrinya itu juga mengharuskannya memilih imam mushola. Ia segera keluar rumah. Menoleh ke kanan-kiri jalan depan rumahnya. Di sepanjang jalan, selain Pak Niko dan Pak Rizki, ia melihat bapak-bapak lainnya. Tanpa mengerti maksudnya, mereka menuruti dikala ia meminta mereka menemani ke rumah Pak Rahmat. (*)