Sorak-Sorak Kampanye Ibuku | Cerpen Ellyyana Said
Maju menjadi bupati bukan pilihan ibu. Setelah ayah didesak warga, ibu pun terpaksa maju. Sejak ayah jadi bupati, saya tak pernah mencicipi menjadi anak bupati. Aku tak mau diberi fasilitas, semua orang menjadi kaget dengan tingkahku. Satu hal yang saya inginkan perhatian ibu dan ayah.
Di kampung ini sosok kakekku juga yang dermawan, kakek tidak pernah lupa tetangga dan kerabatnya ketika daku. Puluhan hektar sawah dan tambak masih menjadi kekayaan turun temurun di keluarga ibuku.
Pernikahan ibu dengan ayah alasannya yaitu mereka dijodohkan. Dari kakek, ayah ibu dan kakek dari ayah, mereka sudah kerabat dekat. Dari dulu mereka selalu bersama duduk menjadi pemimpin. Keinginan keluarga besar menciptakan ibu maju menjadi calon bupati.
Sore itu ibu gres saja kembali dari lapangan berkampanye. Ibu lemas kecapean, badannya lunglai dan tidak berdaya. Saat saya liat ibu, saya murung sekali, air mataku mengalir deras terisak-isak. Kebayang ibu akan pergi tinggalkan kami. Aku menangis melihat ibu yang memaksakan diri maju, padahal saya tahu ibu bukan sosok yang diinginkan banyak orang. Meski bisik-bisik, ayahlah nanti berada dibelakang ibu.
Pintu kamar dikunci, ibu tak mau ditemani banyak orang. Ibu ingin istirahat total. Ibu sangat letih. Suara ibu parau. Aku duduk disudut kamar membaca ayat ayat suci untuk menenangkan hati ibu. Suaraku kurang jelas mendoakan ibu.
Tak usang ayah masuk kamar dan mencium ibu. Sepertinya ibu terlelap tidur, tidak mencicipi ayah datang. Di kamar hanya ada saya dan tante Mina adik ibu. Ayah menyerupai kaget mendengar ibu sakit. Ayah tipe laki setia, saya tahu itu alasannya yaitu kedekatan ayah dengan ibu selalu menjadi dongeng banyak orang.
Sore bergeser, senja tiba, bunyi adzan magrib terdengar bersahutan. Suasana kampung senyap. Warga menutup pintu, semua muslim menunaikan sholat magrib. Malam ini malam jumat terdengar ceramah di salah satu masjid.
Terlintas ada pengumuman kalau esok kerja bersih-bersih lingkungan sekitar. Kampung kami memang bersih. Semua warga sudah peduli dan mengerti kebersihan. Setiap Jumat warga silaturrahim dengan kumpul dan membawa alat sendiri.
Aku liat ibu sudah mulai bergerak dan membuka matanya. Ibu meminta saya membawanya ke kamar mandi untuk wudhu. Usai sholat magrib dan isya ibu minta saya mengaji untuk menenangkan pikirannya.
Lantunan surat Al Kahfi saya baca untuk ibu hingga selesai. Malam itu saya tidak meninggalkan kamar ibu. Aku sayang ibu. Aku tau ibu lelah tapi tak mau cerita. Ibu sosok wanita bertanggungjawab. Tapi ayah mungkin lupa kalau ibu bukan wanita yang dapat dinobatkan sebagai pemimpin kampung kita.
Di luar terdengar bunyi lelaki menyerupai berkumpul, berbicara menanyakan kabar ibu. Mereka khawatir ibu sakit parah. Suara wanita terdengar samar-samar. “Iya, ibu hanya kecapean, supaya cepat sembuh, supaya dapat aktif lagi.”
“Iyaa, kami juga berharap demikian, buat ibu.”
“Kalau dapat kita mengaji untuk ibu.” Salah seorang memotong.
Malam larut kondisi ibu semakin menurun. Dokter yang menangani hanya menyampaikan ibu kecapean. Ibu memang bukan politisi, saya sudah bilang sama ayah. Tapi semua tidak ada yang mau mendengarku. Mereka semua menciptakan ibu sakit. Kalau menyerupai ini ayah pun tak dapat bicara.
Aku melihat ayah hanya terpaku bagai patung. Seperti ada penyesalan akan tragedi ini. Detik-detik terakhir kampanye akan berakhir. Semua sudah memberi sinyal kemenangan ibuku. Tapi saya malah murka dan menangis, terbayang kalau ibu duduk sebagai bupati. Ibu hanya akan menjadi boneka yang dimainkan. Karena ibu bukan sosok menyerupai yang mereka inginkan. Ibuku, wanita yang penuh perhatian pada keluarga. Aku khawatir pekerjaannya sebagai bupati akan berantakan.
Tiga hari kondisi ibu sudah membaik. Ibu kembali ke panggung dengan teriakan-teriakan yang tidak masuk diakalku. Secarik kertas saya tulis untuk ibu. Semoga ibu paham akan perasaanku sebagai putrinya yang butuh perhatian. Sejak awal kuliah saya meminta ibu untuk tidak menggantikan posisi ayah. Cukuplah usaha ayah selama 10 tahun untuk kawasan ini.
Jelang pemilihan kepala kawasan suasana rumah semakin rame. Pagi, siang dan malam tak terasa waktu berjalan dengan mimpi-mimpi. Aku semakin bingung. Ingin rasanya meninggalkan rumah untuk menenangkan pikiran. Tapi saya kasian ibu yang niscaya akan berpikir kondisiku. Sementara saya telah berpikir keras akan kondisi ibu.
Ibu terjangkit penyakit jantung. Seminggu di rumah sakit. Semua menjadi bingung. Dua hari lagi pesta demokrasi dimulai. Aku berbisik pada ayah. Kenapa dongeng ibu menyerupai ini. Kalau saja ayah mau bijak, jangan ibu yang menjadi tumbal politik orang-orang diluar sana. Aku murka dengan ayah, alasannya yaitu semua alasannya yaitu ijinnya. Ibu hanya ikut harapan semua orang termasuk ayah lelaki yang sangat dicintainya.
Bendera politik yang mengantar ibu berkibar. Sementara ibu berbaring lemah di rumah sakit. Pendukung ibu rame-rame tiba menjenguk. Mereka memberi semangat dan berdoa untuk ibu. Aku sempat marah. Karena merekalah ibu menjadi sakit. Kalau saja ibu tidak mengikuti, ibu niscaya masih di rumah dengan segala masakan untuk kami. Meski berada disamping ayah sang bupati. Ibu tetap memperhatikan kami anak-anaknya.
Perhitungan bunyi menjadi tegang. Beberapa kecamatan menjagokan ibu. Hasil sementara ibu unggul dengan jumlah bunyi teratas. Dokter bekerja maksimal, kondisi ibu semakin kritis. Operasi jantung yang barusan dilakukan menciptakan ibu semakin lemah. Aku menangis disamping ibu. Saat-saat tegang ketika tak ada lagi sinyal yang positif. Ibu lemah dan tak dapat tertolong. Sementara total bunyi ibu unggul dan menciptakan semua orang berteriak menang. Kita menang!!
Aku jatuh dari pembaringan. Kulihat ibu didepanku membawa pisang goreng dengan teh hangat. Aku gres saja bermimpi. Sudah seminggu saya lemah, alasannya yaitu sakit. Kupeluk ibu, ada senyum yang selalu kunanti. Ibupun memelukku.
“Kamu sudah sehat, Nak?”
“Iya buu…aku gres saja mimpi, ibu jangan tinggalkan kami.”
“Iyaa, ibu selalu di sampingmu, Nak.” (*)
Ellyyana Said, penulis merupakan Staf Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Sulawesi dan Maluku KLHK, Pemerhati Lingkungan Hidup. Anggota IPIM Sulsel.