Rumah Pemusnah Kenangan | Cerpen Fitri Manalu


Kau mungkin mempunyai kenangan yang sulit lekang menyerupai yang kumiliki. Salah satu kenangan itu berasal dari masa kanak-kanakku. Ketika pada suatu sore, ibu memberikanku sebatang sabun mandi dan berkata, “Mandilah dengan sabun ini semoga kamu sanggup melihat laut. Bukankah kamu selalu ingin pergi ke sana?” Setelah menyampaikan hal itu, ibu kemudian meringis, menyerupai menahan nyeri.

Kutatap ibu sedih. Lebam di pipi kirinya tampak baru. Ibu biasa menyebutnya sebagai “hadiah dari ayah”. Meski berulang kali kukatakan bahwa saya ingin sekali memprotes lelaki itu, tetapi ibu selalu melarangku untuk bicara dengan ayah. Ibu selalu menyuruhku bersabar menyerupai dirinya. Ibu tersenyum padaku. Kuterima sabun derma ibu dan berusaha mengalihkan perhatian dari lebam di pipinya.

Kata-kata ibu terbukti benar. Ketika buih-buih sabun berwarna biru itu memenuhi telapak tanganku, saya menghidu aroma asin laut. Semilir angin meniup anak rambut di keningku. Aku melihat debur ombak berkejaran dalam kolam mandi menyerupai sebuah keajaiban. Aku merasa kegirangan sebab hasilnya saya sanggup melihat laut.

Sejak ketika itu, saya selalu menantikan waktu untuk mandi. Kadang-kadang, saya sanggup melihat ikan-ikan yang berenang di antara karang atau peri bahari yang melambaikan tangan padaku dari kejauhan. Menurutku, peri bahari berniat mengajakku untuk tinggal bersamanya. Aku memang sangat ingin pergi ke laut, tetapi saya telah bersumpah takkan pernah meninggalkan ibu.

Ibulah yang kemudian meninggalkanku untuk selamanya. Suatu siang sepulang sekolah, saya melihat badan ibu telah terbujur kaku. Ibu dikelilingi orang-orang yang riuh menangisi kepergiannya. Anehnya, ayah justru tidak meneteskan air mata menyerupai orang-orang itu. Ia hanya duduk mematung di sisi ibu.

Melihat perilaku ayah, saya memutuskan untuk tidak menangis. Kutinggalkan keriuhan itu dan pergi ke kamar mandi. Tiba-tiba, saya ingin mandi dengan sabun mandi berwarna biru derma ibu. Aku sangat merindukan ibu. Namun, meski saya membuat buih-buih sabun sampai beterbangan ke udara, tidak ada lagi debur bahari atau semilir angin. Aku juga tak sanggup melihat laut, karang, atau peri. Mungkin arwah ibu telah pergi ke dunia laut. Kukira, ibu telah pergi bersama peri laut. Karena itulah, dunia bahari menghilang bersama kepergian ibu.

Setelah ibu pergi, hidupku menjadi muram. Tak ada sesuatu atau seseorang yang sanggup membuatku bahagia, baik ayah atau sabun mandi berwarna biru derma ibu yang hasilnya kusimpan baik-baik dalam lemari. Aku merasa menyerupai bunga dandelion. Rapuh. Sewaktu-waktu sanggup lenyap tertiup angin. Meski begitu, saya menentukan bertahan mengarungi waktu. Hingga ayah juga pergi meninggalkanku sebab menentukan hidup bersama seorang wanita yang tak secantik ibu.

Kupikir, keajaiban takkan pernah lagi menghampiri hidupku. Hingga pada suatu pagi, selembar seruan putih bercorak bebungaan terselip dibawah pintu rumahku. Undangan itu berbunyi: undangan untuk mereka yang ingin memusnahkan kenangan.

Aku menduga, seruan itu tak lebih dari pekerjaan orang iseng. Rasanya, tak mungkin ada seruan menyerupai itu. Kubalikkan lembar seruan dan menemukan bagan lokasi yang memperlihatkan bahwa pemusnahan akan diselenggarakan di rumah pemusnah kenangan. Setelah memikirkannya berulang kali, saya memutuskan untuk mengabaikan seruan yang berakhir di tong sampah itu. Hingga seminggu kemudian, seruan serupa kembali terselip di bawah pintu. Isi seruan kali ini berbunyi: undangan terakhir bagi mereka yang ingin memusnahkan kenangan.

Kalimat dalam seruan itu terasa mengancam. Datanglah, atau kamu akan menyesalinya. Kubawa seruan itu masuk ke dalam rumah dan memikirkannya seharian. Kalimat yang tertulis pada seruan itu terus menari-nari dalam benakku. Hingga akhirnya, kalimat itu terus berdengung di telingaku dan menghantui mimpiku.

Keesokan harinya, kuputuskan untuk memenuhi maksud seruan itu. Kubaca kembali seruan itu dengan cermat, terutama bagan jalan semoga tidak tersesat. Setelah yakin, saya meninggalkan rumah dan menuju jalan raya. Setibanya di jalan raya, saya menuju stasiun kereta api kemudian naik kereta pukul sembilan lewat lima belas menit menyerupai yang tertera dalam undangan. Kereta api yang kunaiki hanya terdiri dari empat gerbong dan dipadati penumpang. Karena penasaran, saya berniat mencari tahu wacana seruan itu dari para penumpang.

“Permisi… boleh saya bertanya?” sapaku pada seorang gadis seusiaku. Gadis berwajah muram itu duduk di sebelah kiriku. Sepasang matanya tampak bisul dan memerah. Mungkin gadis itu sedang bersedih.

Gadis itu menolehku padaku. “Ya?”

“Apakah kamu naik kereta ini sebab mendapatkan seruan untuk memusnahkan kenangan?”

Gadis itu tampak heran. Keheranannya membuatku merasa menyerupai seseorang yang gres saja mengajukan pertanyaan bodoh.

“Bukan hanya aku, tapi semua orang dalam kereta ini,” jawabnya datar.

Sudah kepalang tanggung. Kuputuskan untuk bertanya lebih lanjut. “Maaf, boleh saya bertanya lagi? Kau tahu maksud dari memusnahkan kenangan?”

Gadis itu memandangku kesal. “Kau memutuskan naik kereta ini sebab sudah mengetahuinya, kan?” Ia kemudian diam dan membuang pandangan ke luar jendela.

Aku terdiam. Benarkah apa yang dikatakan oleh gadis itu? Aku memikirkan hal itu selama perjalanan. Kereta api meliuk-liuk di antara bukit-bukit tandus dan hutan yang meranggas. Orang-orang dalam gerbong tak banyak bicara. Semuanya hanyut dalam pikiran mereka masing-masing. Hingga akhirnya, kereta berhenti di sebuah stasiun kecil.

“Kita sudah datang di tujuan. Semua penumpang diperlukan turun. Kita akan berjalan kaki menuju rumah pemusnah kenangan.” Suara pemberitahuan terdengar lewat pengeras suara.

Aku turun bersama penumpang lain dan berdesakan menuju antrean di depan stasiun. Seorang pengarah memberi isyarat semoga kami berbaris teratur. Kami kemudian berjalan kaki menuju tujuan kami, rumah pemusnah kenangan.

Rumah yang kami tuju ternyata berada tak jauh dari stasiun. Sebuah plang kayu bertuliskan “Rumah Pemusnah Kenangan” terpasang di depan rumah berhalaman luas itu. Setiap orang dipanggil memasuki rumah itu secara bergiliran. Aku menunggu giliran dengan perasaan cemas.

“Minara.” Namaku hasilnya dipanggil. Aku melangkah masuk dengan hati berdebar. Ruangan yang nyaris kosong menyambutku. Hanya ada meja hitam dan sebuah bangku kosong di depannya, serta tiga lelaki dengan lisan datar yang duduk berbaris menyerupai hakim pada persidangan di belakang meja itu.

“Duduklah.” Salah seorang dari mereka menyilakanku duduk bangku kosong. Aku duduk berhadap-hadapan dengan mereka.

“Katakan pada kami, kenangan apa yang ingin kamu musnahkan selamanya?” Salah seorang dari tiga lelaki itu bertanya padaku.

Aku mengenang ibu, ayah, dan saat-saat kehilangan dunia laut. Ketika saya menatap mata lelaki yang bertanya padaku, kutemukan tanggapan yang sesungguhnya. “Segalanya. Aku ingin menghapus segala kenangan tanpa sisa.”

Mereka tampak terkejut mendengar jawabanku. “Segalanya?” Lelaki yang duduk di tengah memastikan jawabanku.

“Ya.” Sekarang saya yakin bahwa saya harus memusnahkan segalanya semoga terbebas dari kenangan yang menyesakkan.

“Baiklah, ulurkan tanganmu,” suruh lelaki yang pertama menanyaiku. Kuulurkan tangan kananku. Ketika tanganku menyentuh telapak tangan lelaki itu, kurasakan ketenangan dalam diriku.

“Pejamkan matamu, saya akan menghapus kenangan yang kamu miliki.”

Aku memejamkan mata. Satu per satu kenangan masa kemudian melintas menyerupai pemutaran sebuah film. Lebam di wajah ibu, sabun mandi berwarna biru, orang-orang yang menangisi kepergian ibu, wajah ayah, semuanya terasa nyata. Lalu saya melihat dunia bahari yang kurindukan. Hamparan pasir, karang, debur ombak, dan peri bahari yang melambaikan tangan padaku dari kejauhan. Kali ini, sosok peri bahari terlihat lebih dekat. Aku sanggup melihat terperinci senyum di wajahnya. Aku terkejut dan berteriak. Berhenti! Terlambat. Peri bahari lenyap dari kenanganku. Peri bahari itu ternyata ibuku.

Artikel Terkait

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel