Negeri Asap | Cerpen Angga T Sanjaya


Sejak kecil saya tidak pernah jauh dari asap. Pagi hari, asap membubung dari dapur ketika Emak memasak. Asap mengepul di dapur sebelum terlempar jauh tinggi ke awang-awang. Aku selalu ingin ikut Emak memasak, tapi Emak melarang. Kata Emak, asap itu tidak baik, suatu ketika sanggup membunuhku. Mendengar ucapan Emak, saya heran. Sebab, Bapak selalu menghirup asap sambil memegang rokok kretek. Toh Bapak tidak mati.

Setiap hari saya juga menciptakan asap menyerupai Emak. Sore hari, saya dan dua temanku, Enggar Cino dan Halim Kliwir, suka sekali mengkremasi uwuh di belakang rumah. Sebelumnya, kami kumpulkan uwuh berupa daun-daun kering dan sampah dari dalam rumah. Kami mengumpulkan dan mengkremasi ramai-ramai. Asap ke mana-mana, sebelum membubung ke langit.

Kami bertiga sepakat memberi nama itu negeri asap, sebab seluruh udara putih kental. Mirip negeri dongeng yang pernah Emak ceritakan.

Semua kecintaanku terhadap asap bermula dari situ. Dari sebuah rumah kecil berdinding anyaman bambu dan berlantai tanah liat.

Setiap hari jikalau Emak memasak, tanpa diperintah saya mengumpulkan kayu di belakang rumah. Emak tidak mengizinkan saya ikut memasak. Aku berulang kali menawar, merengek, semoga diberi kiprah mengkremasi kayu. Emak kesudahannya setuju. Aku bahagia sekali. Mulai ketika itu ketika Emak hendak memasak, pagi dan sore, saya menjadi tukang bakar. Aku yang menciptakan nyala api di dapur Emak.

Mulai ketika itu tugasku bertambah. Bukan hanya jadi juru kumpul kayu. Pangkatku pun naik, jadi juru bakar. Aku bahagia sekali. Setiap kali Emak bersiap memasak, kayu sudah kutata di tungku. Tungku itu terbuat dari dua watu kotak besar dengan lubang di tengah-tengah. Disitulah daerah mengkremasi kayu; asap membubung. Aku bahagia sekali, negeri asap buatanku kesudahannya jadi.

Suatu sore, sehabis menciptakan negeri asap di dalam rumah, saya pergi ke belakang rumah. Enggar Cino dan Halim Kliwir sudah menunggu. Sore itu kami bertiga akan menciptakan negeri asap lagi. Seperti biasa, sampah rumah dan daun kering kami kumpulkan. Lalu kami bakar ramai-ramai dengan korek kayu. Aku meminjam korek kayu Bapak, meski tidak minta izin. Sore-sore biasanya Bapak tidak menghirup asap. Bapak sedang tidur di dingklik bambu depan rumah.

Asap kembali mengepung kami bertiga. “Negeri asap! Horeee!” teriak kami.

Negeri asap ciptaan kami hari itu sungguh istimewa. Asap yang kami buat lebih besar daripada sebelumnya. Hari itu sampah dan daun-daun kering yang kami kumpulkan banyak sekali. Kami berburu uwuh dengan sangat baik.

Suatu ketika saya punya planning menciptakan asap lebih besar lagi. Aku segera memanggil Enggar Cino dan Halim Kliwir untuk berkumpul. Aku memberikan rencanaku. Rencana yang tiba-tiba tiba bagai inspirasi ketika saya berak. Aku mengusulkan sebuah permainan ”Pembakar Hutan dan Polisi-polisian” . Saat itu kami sepakat menciptakan undian. Dengan suit kami memilih peran. Aku kalah. Aku menerima kiprah jadi pembakar hutan, sedangkan Enggar Cino dan Halim Kliwir jadi polisi.

Dibantu mereka, saya menyiapkan sampah dan daun kering. Beberapa daun kelapa yang gres jatuh juga kami kumpulkan. Batang-batang kayu kering kami pangkas dan tumpuk. Semua serabut kelapa didalam rumah kami cerabut dari batok. Akar kering dan daun jati kami pangkas habis. Bahan bakaran sudah siap. Permainan siap kami mulai.

Enggar Cino dan Halim Kliwir berlari ke pos, tak jauh dari bebakaran. Mereka berdua siaga disana. Aku sembunyi ditempat yang tak mereka ketahui. Tugasku jadi pembakar hutan. Akulah pencuri kayu dan pembuka lahan baru. Aku si pembakar hutan harus lihai. Semua harus berjalan lancar semoga tak ketahuan. Permainan ini sungguh mendebarkan.

Aku pun berjingkat. Berjalan pelan dan sesekali menengok ke arah mereka. Aku sembunyi diantara pohon-pohon besar. Badanku yang kecil mendukung aksiku. Aman. Dengan memanfaatkan kelengahan mereka, saya mendekati lokasi. Tujuanku mengkremasi tumpukan sampah. Karena penjagaan mereka kembali ketat, tak gampang bagiku hingga ke materi bebakaran.

Sewaktu Enggar Cino dan Halim Kliwir berpencar untuk bergerilya, saya mengambil kesempatan untuk menyerang. Akhirnya, dengan gerakan cepat, saya hingga ke target. Segera ku nyalakan korek api, mengkremasi daun-daun kering, kemudian menempatkan dibagian paling bawah. Tidak usang uwuh itu terbakar. Api menyala begitu besar, melebihi tinggi badanku. Asap mengepul ke mana-mana. Jantungku berdebar. Negeri asap di belakang rumah menyala jago dan melepaskan asap begitu banyak.

Setelah kebakaran jago itu, segera saya lari sekuat tenaga semoga mereka tidak menangkapku. Terlambat. Enggar Cino dan Halim Kliwir telah mengepungku. Enggar Cino dihadapanku, Halim Kliwir sempurna di belakang. Mereka merentangkan tangan sambil menggeser kaki ke kanan dan ke kiri. Aku terdesak. Susah payah saya menghindar, berlari ke kanan. Namun Enggar Cino segera menarik lenganku. Halim Kliwir meraih kakiku. Kami bertiga jatuh di tanah. Keadaan menegangkan. Tiba-tiba bunyi Emak melengking dari dapur. Emak membentak kami yang masih terjungkal. Kami kaget bukan main. Akhirnya permainan itu berakhir dengan kemarahan Emak padaku. Kami bertiga bubar sembari tertunduk lesu. Enggar Cino dan Halim Kliwir melirikku. Kami bertiga tersenyum kecut. Setidaknya asap buatan kami membubung anggun, menerobos daun-daun, dan terbang ke langit. Dalam hati, saya memekik girang.

Sejak sore itu, ketika Emak sibuk memasak, kami bermain ”Pembakar Hutan dan Polisipolisian" lagi. Aku bertugas kembali mencuri kayu dan membuka lahan baru. Sembunyi-sembunyi kami menciptakan negeri asap dibelakang rumah. Hari berikutnya, negeri asap kami buat lebih jauh dari dapur rumah. Tentu semoga Emak tidak curiga dan agresi kami berjalan lancar.

Sejak ketika itu pula, sebab saya yang sering jadi pembakar, julukan itu makin menempel padaku. Enggar Cino dan Halim Kliwir menjulukiku Joko si Pembakar.

Setelah keluargaku dan beberapa tetangga menerima perintah pindah ke luar pulau, julukan itu berakhir. Mereka berdua pindah ke daerah berbeda. Aku murung sekali.

Ketika saya tanya, Bapak cuma berkata itu agenda pemerintah. Begitu seingatku.

*****

Negeri asap sudah berlalu. Bertahun-tahun telah lewat. Setelah dewasa, saya pun mengelana, tiba ke sebuah kota besar untuk melanjutkan sekolah. Disini, tanpa kuduga, saya menyerupai kembali ke masa kanak dulu.

Saat ini, saya bangun memimpin sebuah rombongan besar. Aku bersiap melawan siapa pun, mengkremasi apa pun. Aku menyerupai tengah berhadapan dengan Enggar Cino dan Halim Kliwir, dulu, dibelakang rumah.

Aku segera berjalan pelan, kemudian melaju, makin cepat, terus melaju. Hari ini, menyerupai dulu, saya bersiap menciptakan negeri asap lagi. Kami menembus hujan peluru, mengkremasi kendaraan dan apa pun yang sanggup kami bakar. Kami terus melawan.

Sedikit demi sedikit, kami menyerupai meruntuhkan tembok besar, menghancurkan kekukuhan kekuasaan. Bukankah perdamaian tercipta dari kehancuran dan kematian? (*)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel