Ayat Kopi | Cerpen Joko Pinurbo


Kedai kopi bermunculan di mana-mana, tetapi warung kopi Bu Trinil tetap menjadi favorit saya. Kopi bikinan Bu Trinil tetap paling jos rasanya; saya sudah mencicipi khasiatnya bagi kesehatan jiwa saya.

Di warung Bu Trinil saya sanggup berkenalan dan mengobrol dengan banyak sekali macam orang. Petang itu, misalnya, saya berkenalan dengan seorang laki-laki berbaju batik biru, namanya Marbangun. “Panggil saja Bang Bangun,” ujarnya.

Marbangun bercerita, ketika ini beliau sedang menata hidupnya. Sudah bertahun-tahun beliau mencari peruntungan di dunia politik, tetapi belum juga membuahkan hasil. Dia pernah dua kali nekat ikut mencalonkan diri sebagai anggota DPR di kotanya dan kedua-duanya gagal.

“Semoga sampean tidak terjerumus ke dalam kancah politik. Politik itu keras, penuh muslihat. Orang lugu menyerupai sampean akan celaka,” katanya.

Untuk menuruti ambisinya, banyak harta benda yang telah beliau korbankan. Dia sudah menjual tanah dan sapi di kampung, mobil, perabotan furnitur, dan barang-barang berharga lainnya. Bahkan, katanya, “Seandainya saya punya kucing, mungkin saya akan jual kucing juga.”

Setelah didera banyak sekali kegagalan, Marbangun memutuskan untuk berserah kepada Tuhan, menjauhkan diri dari godaan duniawi. Dia ingin ikut membangun masyarakat yang bertakwa dan berakhlak mulia.

“Tak ada lagi yang sanggup saya jual,” katanya. “Satu-satunya yang masih sanggup saya jual ialah…”

Dengan agak tergesa-gesa Marbangun beranjak dari duduknya, membayar jajanannya, kemudian pamit pergi; katanya beliau akan menengok dan mendoakan temannya yang sakit. Pada ketika bersamaan merebak amis kentut yang menyengat. Saya dan beberapa orang saling memandang curiga, seolah-olah saling menyelidik siapa yang telah melepaskan kentut tanpa suara itu. Sambil memencet hidungnya, Bu Trinil mengarahkan telunjuknya kepada Marbangun yang sedang melangkah pergi. “Orang itu memang suka kentut sembarangan,” cetusnya.

*****

Sepulang dari warung Bu Trinil, saya bersiap menyambut kedatangan Paman Yusi, senior saya. Saya dan teman-teman menyebutnya “paman” alasannya yaitu sifat kebapakan dan dedikasinya yang besar sebagai guru dan penasihat spiritual penulis-penulis muda.

Paman Yusi gres saja pulang dari Amerika. Seusai menjalani residensi selama enam bulan di sana, beliau berhasil menyelesaikan sebuah novel yang telah bertahun-tahun di kerjakannya—sebuah novel yang tebalnya melebihi Alkitab, yang untuk membacanya dengan khidmat dan meresapkannya ke dalam kalbu dibutuhkan retret minimal sebulan.

Paman Yusi mengajak beberapa sahabat merayakan rezeki dengan pesta puisi dan kopi di kos saya. Tentu saja Paman Yusi yang bertanggung jawab atas ketersediaan kopi, rokok, kacang rebus, singkong, dan pisang goreng.

Kegiatan iseng yang diprakarsai Paman Yusi ini menarik perhatian beberapa dewasa setempat. Mereka bergabung dengan kami dan kami oke-oke saja.

Para dewasa itu sepertinya ikut terjangkit virus puisi. Mereka jadi hafal baris puisi saya: Kurang atau lebih, setiap rezeki perlu dirayakan dengan secangkir kopi. Entah siapa di antara mereka yang mengubahnya menjadi Rayakanlah setiap rezeki dengan ngopi semoga senang hidupmu nanti. Kata-kata ini mereka kumandangkan dan dendangkan di mana-mana. Kami bangga alasannya yaitu perjuangan kami menghaluskan jiwa melalui sastra di kalangan belum dewasa muda mulai membuahkan Hasil.

Paman Yusi kembali mengadakan pesta kopi dan puisi di kos saya ketika novelnya yang lebih tebal dari Injil itu terbit. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini tidak ada dewasa setempat yang tiba dan bergabung. Mereka niscaya sedang sibuk mencar ilmu untuk menghadapi ujian sekolah.

Di tengah kegembiraan kami merayakan rezeki Paman Yusi, serombongan perjaka setempat tiba-tiba mendatangi kami sambil menyerukan kata-kata bernada ancaman. Ternyata mereka mau menemui dan meringkus saya. Saya dianggap dan dituduh telah berbagi fatwa sesat.

Saya bingung, fatwa sesat mana yang saya sebarkan. Komandan perjaka setempat memperlihatkan sesobek kertas bertuliskan Rayakanlah setiap rezeki dengan ngopi semoga senang hidupmu nanti.

“Oh, itu puisi, kak, bukan ajaran,” saya menjelaskan.

Komandan perjaka setempat: “Pokoknya, gara-gara ayat yang anda sebarkan ini, belum dewasa di sini jadi rusak kerohaniannya.”

“Puisi itu menghaluskan jiwa, kak, bukan merusak,” timpal saya.

“Menghaluskan jiwa bagaimana? Karena terpengaruh oleh ayat ini, orang-orang di sini jadi keranjingan kopi. Dikit-dikit ngopi. Anak-anak jadi betah melek semalaman, kemudian bangun kesiangan. Kita jadi susah ngebangunin mereka buat sekolah. Dikasih duit buat bayar sekolah malah dipake buat ngopi-ngopi.”

Paman Yusi melirik ke arah saya sambil akal-akalan batuk-batuk, entah maksudnya apa.

Yang tua-tua ikutan keranjingan juga. Suami-suami habis gajian sibuk ngopi. Istri-istri dikasih uang belanja malah dipake ngopi. Rusaklah pokoknya.”

Subagus, sahabat kami yang sering berperan sebagai “seksi keamanan”, menyimak dengan tegang. Untung beliau menggunakan kacamata gelap sehingga kegalauan matanya tidak kelihatan.

“Kalau sanggup rezeki, mestinya kan berdoa dan bersyukur kepada Tuhan, bukan malah ngopi-ngopi. Yang sanggup kasih kebahagiaan kan cuma Tuhan, bukan kopi.”

Saya tak tahu lagi harus bilang apa.

“Intinya kami minta pertanggungjawaban. Bisa jadi urusan polisi nih.”

Mendengar “urusan polisi”, hati saya terguncang. Saya membayangkan hal-hal jelek akan menimpa saya.

Paman Yusi memperlihatkan isyarat kepada Subagus semoga segera menangani komandan perjaka setempat

Subagus bangkit, mengajak komandan perjaka setempat bicara empat mata. Oleh komandan perjaka setempat, Subagus dibimbing untuk menemui pemimpin gerakan yang menunggu di seberang sana, di bawah pohon mangga. Ya ampun, ternyata itu Marbangun, laki-laki tampan berbaju batik biru itu.

Saya tak tahu negosiasi macam apa yang mereka lakukan. Saya hanya melihat Subagus berbicara dengan pemimpin gerakan dan komandan perjaka setempat sambil memiringkan telunjuk di jidatnya. Pasti beliau bilang saya ini sinting, tidak waras. Saya juga sempat melihat beliau merogoh saku celananya.

Setelah melalui negosiasi yang cukup alot, pemimpin gerakan memerintah komandan perjaka setempat membubarkan rombongan.

Mungkin alasannya yaitu dianggap sinting, sesudah itu saya dicuekin orang-orang. Hanya beberapa dewasa yang tetap segan kepada saya. Saya sempat bertanya, benarkah orang-orang jadi keranjingan kopi gara-gara puisi saya. Mereka bilang tidak tahu.

Ketika suatu sore saya keluar untuk cari angin dan beli rokok, saya melihat Marbangun sedang duduk manis menyeruput kopi dan melahap pisang goreng di warung Bu Trinil.

*****

Pada suatu kangen, sesudah berhari-hari pergi mengerjakan proyek penulisan naskah film dokumenter, saya singgah ngopi di warung Bu Trinil. Bu Trinil senang saya muncul lagi. Dia mengira saya pergi untuk tidak kembali.

Bu Trinil bercerita bahwa selama saya pergi telah terjadi sesuatu yang menggemparkan.

“Ada sosok laki-laki enggak pake celana muncul di gardu ronda. Ngeri deh. Kelaminnya luka, berdarah. Dia merintih Sakit, Jenderal! Sakit, Jenderal!”

“Oh, eltece,” saya menyela.

“Eltece?”

“Iya, itu namanya eltece, laki-laki tanpa celana.”

Bu Trinil tertawa mantap.

“Saat mau ditangkap, hantu itu lari ke gang, dikejar, dikepung, tapi lolos.”

Saya menyeruput kopi.

“Malam berikutnya ia nongol di rumah Marbangun. Marbangun teriak-teriak ketakutan, ia malah ketawa-ketawa.”

Eltece konon menghadang Marbangun malam-malam dalam perjalanan ke kamar mandi. Marbangun digertak: Piye kabare? Ngeri zamanku to? Eltece kemudian mencubit-cubit pipinya sambil berseru Beri saya kopi! Beri saya kopi!

Saya tidak terkejut mendengar kisah Bu Trinil.

Pada suatu malam, ketika sedang bermain ketoprak, ayah saya dijemput oleh beberapa orang tak dikenal dan semenjak itu saya tak pernah lagi melihatnya. Waktu itu sedang berlangsung gerakan pencucian terhadap orang-orang yang dianggap kiri. Di kemudian hari saya mendengar kisah wacana para seniman dan penggagas yang diculik, disiksa, bahkan ada yang dikerat kem*l*annya. Ayah ikut diciduk atas rekomendasi seorang temannya yang merasa punya kasus pribadi dengan Ayah. Sesungguhnya Ayah hanyalah orang lugu yang punya hobi bermain ketoprak.

Saya pernah dihadang eltece—dengan darah mengental di ujung kelaminnya—saat mau menyepi di kamar mandi menjelang dinihari. Dia merintih Sakit, Jenderal! Saya tatap wajahnya yang memelas. Ia memandang saya dengan heran. Saya membungkuk dan mengucapkan kalimat, Kita yaitu cinta yang berjihad melawan trauma. Setelah itu ia menghilang.

Sosok eltece sepertinya benar-benar menghantui Marbangun sehingga beliau tak bisa tidur dan tidak berani ke kamar mandi sendirian. Atas proposal Bu Trinil, secara rahasia beliau menemui saya. Dia menduga, kemunculan eltece di rumahnya ada hubungannya dengan saya.

“Hantu itu teriak Beri saya kopi! Beri saya kopi! Saya lantas teringat ayat kopi yang sampean bikin dan disebarkan belum dewasa dewasa itu.”

Marbangun bertanya, apakah saya tahu cara mengusir hantu eltece.

“Wah, Bang Bangun salah alamat. Masak orang sinting menyerupai saya ngerti cara mengusir hantu.”

“Sudahlah. Yang bilang sinting itu kan bukan saya.”

Ya sudah, saya katakan saja kepada Marbangun, “Kalau eltece muncul lagi, sambutlah dengan ramah, kasih hormat, kemudian bikinkan kopi. Setelah itu, berjanji akan bertakwa secara benar, mencari rezeki secara halal, dan tidak kentut sembarangan.”

Marbangun terdiam.

*****

Saya pikir, sesudah Marbangun menemui saya, persoalannya dengan eltece selesai. Ternyata ada kelanjutannya.

Malam itu orang-orang di warung Bu Trinil geger melihat Marbangun berlari kencang sambil berteriak-teriak minta tolong menyerupai sedang dikejar seseorang. Katanya beliau mau ditangkap eltece. Orang-orang resah alasannya yaitu tidak melihat sosok yang memburunya.

Marbangun terus berlari menuju kos saya. Dia minta perlindungan. Dia sembunyi di kamar saya. Sesaat kemudian Eltece datang: “Mana Marbangun? Marbangun mana?” Saya terima beliau dengan baik. Saya tanya, mengapa beliau mau menangkap Marbangun. Ternyata beliau cuma mau memperlihatkan dompet Marbangun yang beliau temukan di depan ATM. Saya terima dompet Marbangun dari eltece seraya mengucapkan banyak terima kasih. Setelah itu, beliau pergi sambil tertawa.

Marbangun tertegun sembari menenangkan jantungnya. Saat itulah beliau merasa mantap untuk menempuh jalan kerohanian yang higienis dan mewartakan hal-hal baik kepada sesama. Saya mendukung niat sucinya.

Niat suci Marbangun mulai kelihatan ketika keesokan harinya beliau mengajak saya ngopi di warung Bu Trinil. Bu Trinil heran melihat saya tiba berdua dengan Marbangun. Namun, rahasia saya tetap waspada. Siapa tahu kebaikannya hanya modus.

Sikap saya untuk tetap waspada terbukti tepat. Di tengah kenikmatan kami—para pengunjung warung Bu Trinil—minum kopi dan menyantap pisang goreng, tiba-tiba merebak amis kentut yang menyengat. Meskipun aromanya agak berbeda, saya sudah yakin itu niscaya kelakuan Marbangun. Seketika itu pula saya kehilangan respek lagi terhadapnya. Orang semacam itu memang sulit berubah.

Sewaktu saya bergegas pergi, Bu Trinil dengan cepat menggamit lengan saya dan berkata pelan, “Aduh, maaf ya tadi. Saya sudah enggak besar lengan berkuasa nahan. Perut saya kembung. Untung enggak bunyi.” (*)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel