Malam Ini Tidak Ada Susu, Rocky | Cerpen Oxandro Pratama


RAMADHAN tinggal menunggu hari. Hampir seluruh siaran televisi lokal tak henti-hentinya mengulas info wacana perdebatan tanggal yang akan ditetapkan untuk memulai bulan suci yang mewajibkan seluruh umat muslim di dunia untuk menunaikan ibadah puasa. Begitu juga halnya di Pasar Atas. Masyarakat yang lebih banyak didominasi ialah pedagang sudah mempersiapkan diri menyambut kedatangan bulan penuh berkah itu. Dikenal sebagai sentra perbelanjaan di seantero Sumatera Barat, maka para pedagang di Bukittinggi sudah mulai mencukupi persediaan barang dagangan mereka—khususnya bagi pedagang pakaian—karena hanya di bulan ramadhan mereka sanggup mencicipi panen uang dari penjualan yang tak henti-hentinya terjadi dari awal bulan ramadhan sampai lebaran. Hal itu merupakan kesempatan bagi para pedagang untuk sebanyak-banyaknya.

Saat bulan Ramadhan, hampir seluruh masyarakat yang berdagang di pasar mencicipi kebahagiaan yang tiada tara: dari pedagang, tukang angkat, penjahit, dan penjaja makanan, semuanya merasa bahagia, lantaran hanya sekali setahun—tepatnya di bulan Ramadhan-lah—mereka sanggup mencicipi pasar begitu ramai dan sesak dikunjungi oleh orang-orang yang bukan hanya sekedar melihat-lihat, namun bisa dikatakan niscaya membeli.

Tetapi, kebahagiaan sepertinya tak terasa oleh sepasang suami-istri yang mempunyai kios di tengah-tengah pasar. Sepasang suami-istri yang mengontrak kios di daerah ramai lalu-lalang pengunjung itu berjulukan Adeng dan Gina. Mereka menjual beraneka macam jilbab—barang yang pastinya akan menjadi buruan para ibu-ibu di ketika bulan nan suci ini. Namun kenyataan tersebut justru tak menciptakan mereka bersyukur layaknya pedagang lain.

Pada siang yang terik itu, Gina duduk di dingklik plastik petak sambil bersandar ke etalase-nya, menikmati pemandangan yang menciptakan mulutnya menjadi ternganga. Tepat di depan kedua mata Gina, bangun sebuah toko dengan empat pintu berjulukan Lolly Boutique. Toko itulah sekarang yang menjadi tontonan Gina, lantaran sedari tadi toko itu tak henti-hentinya dipenuhi oleh ibu-ibu yang saling berdesakan ingin belanja. Lolly, perempuan pemilik kios itu, tampak kewalahan melayani ibu-ibu yang mencoba baju gamis dagangannya, sehingga suaminya pun terpaksa turun tangan membantu melayani mereka.

Pemandangan itulah yang menciptakan lisan Gina menjadi terbuka setengah, ternganga. Pada pinggiran mulutnya tampak air liur berwarna putih yang telah mengering, seakan tak pernah dibasahi. Tatapannya kosong, sehingga tak sekali pun bola matanya beranjak dari toko itu.

Tak usang berselang, ia lihat jam tangan yang melingkar di tangannya. Jarum jam sudah memperlihatkan pukul setengah dua belas. Setengah jam lagi adzan Dzuhur akan berkumandang, namun belum juga seorang pun singgah ke kiosnya untuk membeli—jangankan membeli, melihat atau menanya-nanya pun tidak. Sementara, ia telah membuka kiosnya sedari pukul setengah delapan pagi tadi, ketika semua kios di sekelilingnya masih tutup.

Pemandangan itu benar-benar memburu hati Gina. Sedemikian singkat muncul dalam benaknya akan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi kepada dirinya andai kata ialah yang berada di posisi Lolly ketika ini. Betapa senang dan tentram hatinya mengimajinasikan dirinya yang bangun di depan ibu-ibu yang bersemangat menentukan barang-barang dagangannya. Asalkan pakaian-pakaian di kiosnya sesuai dengan selera mereka, maka uang-uang berwarna merah dan biru itu akan mengalir tak henti-henti.

*****

ADZAN telah berkumandang. Seperti biasa, suaminya pun pergi menuju mesjid tanpa meninggalkan sepenggal kata untuknya. Ia lihat ke arah arloji emas yang melingkar di tangannya yang kecil. Sudah hampir pukul setengah satu. Jantungnya mulai berdebar. Imajinasi yang membuatnya tersenyum-senyum itu seketika buyar. Ia mulai khawatir. Hari ini ia harus membayar angsuran harian uang arisan Kak Ana dua kali lipat, lantaran kemarin ia mogok membayarnya. Untuk membayar cicilan itu, ia harus menyediakan uang tiga ratus ribu. Andai kata ia ingin bermain kondusif biar besoknya ia tidak akan begitu pusing memikirkannya, maka ia harus mendapat uang satu juta hari ini, lantaran hari rabu ialah jatuh tempo cicilan koperasi dan motor. Keduanya berjumlah satu juta. Sedangkan besok ia juga harus mengangsur cicilan uang arisan hariannya sebesar seratus lima puluh ribu. Total semuanya berjumlah sejuta seratus lima puluh ribu. Berarti setidaknya ia harus menyediakan uang sebesar sejuta lima ratus untuk hari Rabu besok.

Gina menghela nafasnya. Imajinasinya seketika sirna. Semakin kering dan pucat bibirnya, persis seseorang yang mendapat perlawanan ketika sedang berpuasa. Sementara pemandangan di hadapannya masih tak berubah-ubah, dan bahkan semakin ramai saja ibu-ibu itu mengantri di sana. Kenyataan pahit itu semakin tak terbantahkan oleh Gina. Air matanya lari ke dalam.

Satu rombongan ibu-ibu yang gres saja keluar dari kedai Lolly Boutique sekarang berjalan ke arah kios Gina yang sempurna berada di hadapan mereka. Mereka menetapkan singgah ke kios yang belum disinggahi orang semenjak pagi itu, dan merekalah rombongan pertama yang masuk ke kiosnya.

Hanya beberapa orang yang tertarik meraba barang-barang yang terpajang di patung. Sedangkan sisanya hanya bangun sejengkal di luar lantai kios itu. Sambil berbisik-bisik, para ibu-ibu itu mengomentari kios itu: rak barang yang terlihat kosong, patung model yang sudah tanpa kepala, dan beberapa baskom yang diletakkan sempurna di bawah plafon yang bocor. Kios itu benar-benar tampak berbeda dari kios lainnya. Membuat mereka semakin enggan untuk masuk.

Satu demi satu beberapa dari rombongan itu keluar lantaran tidak mempunyai ketertarikan. Satu-satunya yang masih memilih-milih ialah si pemimpin rombongan. Ia sepertinya mempunyai ketertarikan dengan barang dagangan Gina, meskipun Gina hanya bisa diam melihat kenyataan yang terpampang sempurna di depan mata kepalanya. Betapa jelasnya cacian yang dilakukan oleh rombongan itu, dan dalam hatinya muncul prasangka yang tak bisa ia redam: prasangka akan betapa tidak berharganya ia sebagai pemilik kios di mata rombongan ini. Namun, tiba-tiba tersentak hatinya. Ia berfikir, bahwa seharusnya ia bersyukur masih ada orang yang tertarik untuk singgah ke kebunnya walaupun tak dihiasi oleh wortel-wortel yang segar, stroberi yang merah merekah, atau sayur-sayuran hijau nan segar, menyerupai yang sanggup dijumpai di kebun sebelah atau kebun yang sempurna berada di hadapannya, kebun tercerah yang Gina sendiri pun akui. Seharusnya ia memperlihatkan senyuman kepada si calon pembeli, biar semakin tertarik ia, biar semakin terhipnotis ia untuk merogoh dompet di tasnya. Ketertarikan itu bukan lagi lantaran kualitas atau model barang yang menggoda, namun lebih kepada keprihatinan pembeli terhadap derita yang ia alami sebagai pemilik kios.

Entah atas dasar apa, si pemimpin rombongan balasannya merogoh dua lembar uang berwarna merah dari dalam dompetnya dan memberikannya kepada Gina. Barang yang ia beli ialah jilbab Pasmina yang tergantung sempurna di dinding potongan kiri. Ibu itu sama sekali tak menawar harga yang disebutkan oleh Gina. Hati Gina benar-benar senang, lantaran balasannya ia pecah telur juga. Setelah melaksanakan pembayaran, si pemimpin rombongan menjelaskan mengapa jilbab itu ia beli. Ternyata lantaran jilbab tersebut sudah lebih dulu laris terjual di kios Lolly Boutique. Lolly juga menyampaikan bahwa ahad ini suaminya akan berangkat ke Jakarta untuk membeli beberapa seri jilbab yang sudah banyak dipesan.

Hati Gina kembali remuk mendengar hal itu. Seketika ia meratapi apa yang telah ia perbuat beberapa tahun yang lalu, “Andai dulu saya tidak rakus akan uang, maka mungkin sekarang saya akan tetap tentram dengan keluargaku. Ketika matahari mulai tenggelam, saya akan menutup kios ini dengan senyum dan hati yang damai. Ketika waktu makan siang tiba, saya akan makan dengan lahap tanpa memikirkan apa yang akan tiba setiap jam empat sore.” Namun kata-kata tersebut hanya bersuara dalam hati dan pikirannya. Ia pendam seorang diri.

*****

HARI sudah memperlihatkan pukul tiga sore. Suaminya tiba membawa anak mereka yang masih berumur lima tahun. Anak itu berjulukan Rocky. Nama itu diberikan oleh suaminya lantaran kelak nanti, ia ingin anaknya menjadi langsung yang sekuat dan seberani Rocky Balboa. Ia ingin kelak nanti, ketika anaknya telah dewasa, ia bisa menjaga martabat keluarganya dari orang-orang yang senang menindas, menyerupai apa yang mereka alami kini, pasangan suami-istri yang terlilit hutang oleh inang-inang peternak uang. Sekali saja meminta keringanan untuk tidak membayar angsuran harian, maka yang akan mereka terima bukan sebuah pengertian, melainkan caci-maki yang amat menyiksa hati.

Suaminya tak bertahan usang duduk di kios itu. Setelah lima belas menit kedatangannya, ia meminta diri kepada istrinya dengan alasan pergi ke masjid. Istrinya tahu betul bahwa ia takkan mungkin melarang suaminya akan hal-hal yang berkaitan dengan agama, walaupun jauh dalam hatinya ia sangat menyadari siasat itu, siasat menghindari kontak muka dengan si inang penagih angsuran uang harian yang akan segera tiba sebentar lagi. Dengan raut wajah dingin, ia paksakan untuk mengangguk, dan suaminya pun berlalu.

Benar saja. Tak usang berselang, si inang dengan tas kecil menyilang di badannya yang gemuk berjalan melenggak-lenggok ke arah kiosnya. Langkah yang cepat itu menciptakan darah Gina semakin berdesir. Kemarin ia sudah meminta dispensasi, maka hari ini ia harus membayar penuh, sedangkan sekarang ia hanya mempunyai dua ratus ribu hasil penjualan jilbab Pashmina tadi, “Ya Allah, apabila saya berikan semua uang ini, maka sekali lagi malam ini Rocky tidak minum susu lagi, Ya Allah.” Mata Gina berkaca-kaca sesudah ia berbicara dalam hatinya.

“Gin, tidak mogok lagi kamu hari ini, kan?” Tanya Inang Ana sambil membuka tasnya.

“Tii..tidak, Nang. Tapi dua ratus dulu ya, Nang. Sepi, Nang.” Lunak bicara Gina. Penuh permohonan.

Inang Ana melirik dengan tajam dan penuh sinis kepada Gina. Ketakutan Gina semakin menjadi dan dengan segera ia berikan dua lebar uang merah itu. Rocky yang duduk di dekatnya menyaksikan Gina memperlihatkan uang itu kepada Inang Ana. Sekali lagi dalam hati, Gina berkata, “Maafkan Ibu, Rocky. Lagi-lagi, malam ini tak ada susu, Rock.” (*)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel